Mohon tunggu...
Amel Widya
Amel Widya Mohon Tunggu... Asisten Pribadi - PPNASN

Perempuan Berdarah Sunda Bermata Sendu. IG: @amelwidyaa Label Kompasiana: #berandaberahi

Selanjutnya

Tutup

Gaya Hidup Pilihan

Bom Atom, Bandit Idiot, dan Politik Korup Indonesia di Mata Allan Karlsson

27 Juni 2019   23:52 Diperbarui: 28 Juni 2019   08:07 259
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Allan Karlsson melarikan diri. Ia tidak suka ulang tahunnya yang keseratus dirayakan di panti jompo. Ia tidak suka karena pesta ultah di panti jompo alamat jauh dari sengit vodka. Maka ia melompat dari jendela kamarnya. Bekalnya cuma sandal kencing, sebab air seninya tidak pernah sejauh ujung sandalnya sejak ia renta. 

Kalau kamu lelaki berusia satu abad, jangan berharap air kencingmu lebih jauh dari ujung sandalmu, sebab kemaluanmu sudah layu dan kehilangan energi pipis. Ia melarikan diri dengan lutut yang mudah nyeri. Kalau kamu lelaki berusia seabad, jangan harap dengkulmu kuat dan tangguh.

Namun, Allan bukan kakek-kakek biasa. Ia memang sudah tua, malah sangat renta dan amat rentan terserang penyakit, tetapi ia menolak kodrat menua atau mati di panti jompo. Ia bosan menyelinap dari panti demi vodka yang harus ia sesap diam-diam. Ia bertindak sesuai keinginan dan harapannya.

Allan persis tokoh dalam bayangan Soren Kierkegaard, seseorang yang yakin pada dirinya sendiri (Either/Or 1, 94), pergulatan batinnya sendiri, dan gejolak kehidupannya sendiri.

Allan menolak berada di luar dirinya gara-gara memenuhi "apa kata orang" atau "yang menurut orang lain benar". Maka larilah ia dari penjara batin bernama panti jompo. Itu sebentuk tindakan spontan (immediate) dalam tilikan Kierkegaard.

Tibalah Allan di Stasiun Malmkoping, sebuah stasiun bus sepi di sebuah kota yang selalu sunyi bahkan pada Senin yang cerah. Orang pertama yang ia temui dalam babad pelariannya adalah pencinta sunyi. Lelaki Penjaga Loket. Lelaki yang setiap hari sepanjang hidup menghabiskan waktu di stasiun sepi.

Orang kedua yang Allan lihat adalah lelaki kerempeng berjaket denim dengan tulisan "Never Again" di bagian punggung. Orang itu menyeret-nyeret sebuah koper hingga pintu toilet. Orang itu celingak-celinguk seperti tengah kebelet kencing dan bingung mau di mana kopernya ditaruh. 

Orang itu pula yang tertatih-tatih mendekati Allan. Hanya basa-basi berupa sapaan "hei". Tidak ada kesopanan dengan analisis sosial mendalam (hlm. 7) ketika lelaki itu berkata, "Aku mau berak!"

Dari sini petualangan Allan bermula.

Meraut Ketajaman Mata Batin
Allan kesal. Bus Nomor 22 tiba di stasiun hanya beberapa detik setelah si pemuda berjaket "Never Again" menutup pintu toilet. 

Sedetik kemudian, Allan menyeret koper beroda ke bus dan segera menentukan tujuan. Stasiun Byringe. Ia harus segera meninggalkan Malmkoping demi menjauhi Direktur Alice--Komandan Jaga di panti jompo yang tidak suka kepadanya.

Lantaran Allan merasa bertanggung jawab atas koper yang dititipkan kepadanya, ia pun membawa koper tersebut. Sebagai orang tua yang sarat pengalaman hidup, ia tahu bahwa ada tanggung jawab yang harus dipenuhi. Tentu dengan caranya sendiri, dan sesuai bayangannya sendiri.

Terkait koper yang dibawa serta tanpa memeriksa isi koper itu, Allan seolah tidak punya prinsip moral. Ia juga seakan mengabaikan pertimbangan baik dan buruk. Malahan, tidak memperhitungkan risiko. Namun, Allan memang bernyali. Ia punya pengalaman masa muda yang sangat hebat, yakni sepeminuman teh dengan Presiden AS, Henry Truman.

Pada satu sisi, lewat anggitannya yang berjudul Palace of Death, Najib Mahfouz menandaskan bahwa "orang bijak adalah orang yang mengetahui di mana kakinya akan jatuh sebelum ia menggerakkannya". Jonas menyajikan karakter Allan yang berlawanan dengan bayangan Najib, peraih Nobel Sastra dari Mesir. Justru inilah serunya.

Tokoh Allan, dalam novel The 100-Year-Old Man Who Climbed Out of The Window and Disapperead, adalah tipe orang yang tiba masa tiba akal. Hasilnya luar biasa. Tidak tertebak. Setidaknya, susah ditebak. Selaku pengarang, Jonas Jonasson memosisikan Allan sebagai tokoh yang "jalan saja dulu". Tipe orang yang setiap dibelit masalah baru kelimpungan. Tipe tokoh yang nanti bertemu risiko baru berpikir keras.

Konflik demi konflik lahir dari tingkah Allan yang konyol dan keputusannya yang naif. Allan memperlihatkan usaha lelaki berumur seabad dalam mencari kebenaran dan mengungkapkan hasil pencariannya dengan benar dan berani. Allan berusaha mengurai isyarat yang ditemuinya sepanjang pelarian, baik isyarat alam (kauniyah) maupun isyarat kebudayaan (nafsiyah).

Mula-mula ketika Allan bertemu Julius, preman kambuhan, dan mereka memeriksa isi koper. Ternyata uang sejumlah 50 juta krona. Lalu muncul bandit idiot, lelaki dengan jaket bertuliskan Never Again. Bandit idiot ini mengalami nasib sial. Ia dikurung oleh Julius di dalam kamar pendingin daging hingga mati membeku.

Allan dan Julius kemudian membawa jasad si bandit di sebuah troli. Jasad itu kemudian dimasukkan ke dalam peti kemas. Dan, kelak jasad si bandit akan ditemukan di benua yang jauh. Petualangan Allan kian mencekam. Semua bermula dari ulang tahun yang dihindari, melompat dari jendela, membawa kabur sebuah koper beroda yang bisa diseret, lalu bersengkongkol dengan Julius.

Semua aksi merupakan tindakan spontan. Yang penting ada jalan ke luar. Yang penting masalah selesai. Pendek pikir yang berpangkal dari panjang akal. Singkatnya, semua aksi adalah reaksi atas masalah yang dihadapi.

Keliling Dunia Bersama Akal Bulus
Novel anggitan Jonas ini sejatinya adalah cermin raksasa atas peristiwa-peristiwa di dunia. Jonas juga menciptakan karakter-karakter unik, termasuk menggunakan sosok tenar dalam sejarah, untuk membidik fenomena sosial secara luas.

Bukan hanya meledek temuan bom atom, novel ini juga mengacak-acak ketengilan Uni Soviet, keangkuhan AS, kesombongan Tiongkok, keserakahan Korea Utara, dan wabah korupsi di Indonesia. 

Hampir seluruh tokoh masyhur ditempatkan sebagai tokoh jenaka, semacam gambar lucu dalam komik, dan dibubuhi adegan penuh humor absurd dan satire. Franco, Truman, Nixon, Stalin, Mao Tse-tung, Kim Il Sung, de Gaulle, dan Soeharto secara samar atau terang diolok-olok sebegitu rupa.

Malah ada adegan tentang keluarga Albert Einstein. Jonas, lewat sosok Allan, seakan-akan ingin memastikan bahwa seorang genius belum tentu dikelilingi keluarga yang semuanya genius. Herbert Einstein adalah adik Albert Einstein. Wajah mereka serupa, tetapi otak mereka bagai langit dan bumi.

Novel ini juga mengurai peristiwa dengan cara yang unik. Jonas tidak berupaya menyiratkan kritiknya lewat kalimat bersayap, tetapi menyuratkan kritiknya lewat pernyataan pedas. Seperti keripik, gurih sekaligus pedas. Meskipun tidak semua keripik terasa pedas, sebagaimana tidak semua kritik berasa pedas. Jonas seolah-olah tidak peduli pada pepatah Indonesia: di mana kaki berpijak di situ langit dijunjung.

Selaku pengarang, Jonas mengungkap dua hal dalam ini, yakni keperihan sosial dan kepedihan spiritual. Dua tema tersebut sekilas tampak bertentangan, seperti api dan air, tetapi pembaca dapat menemukan ikatan kuat antara keperihan sosial dan kepedihan spiritual itu.

Kepedihan spiritual itu tergambar pada sosok buta huruf, Amanda Herbert, yang terpilih menjadi Gubernur Bali, lalu diangkat oleh Soeharto sebagai Duta Besar Indonesia untuk Prancis. Padahal, si tokoh buta huruf bahkan tidak tahu di mana letak Paris dan seberapa jauh kota itu dari Denpasar.

Dari sini, Jonas menandaskan bahwa kalau kamu punya uang, kamu bisa menjadi apa saja di Indonesia. Sekalipun kamu bodoh sebodoh-bodohnya. Artinya, apa pun bisa kamu beli di Indonesia. Termasuk jabatan. Begitulah. Jonas menyajikan karakter Allan yang konyol dan usil untuk lelaki seusianya. Lelaki berumur satu abad.

O ya, novel ini merupakan dwilogi. Sebelumnya, saya sudah mengulas seri kedua. Jika kalian belum membaca ulasan tersebut, silakan klik dan baca tilikan saya di artikel Petualangan Pria 101 Tahun, Allan Karlsson, dan Politik Omong Kosong.

Sebagai penutup, saya kutip pendapat Jonas Jonasson dalam novel ini. Balas dendam itu seperti politik, satu hal akan diikuti hal lain sehingga yang buruk menjadi lebih buruk dan yang lebih buruk akan menjadi paling buruk. Maka jauhilah keinginan balas dendam meski sesakit apa pun hatimu. 

Dan, pada akhirnya, kamu bisa membeli apa saja di Indonesia kalau kamu punya banyak uang. 

Amel Widya

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Gaya Hidup Selengkapnya
Lihat Gaya Hidup Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun