Mohon tunggu...
Amel Widya
Amel Widya Mohon Tunggu... Asisten Pribadi - PPNASN

Perempuan Berdarah Sunda Bermata Sendu. IG: @amelwidyaa Label Kompasiana: #berandaberahi

Selanjutnya

Tutup

Hobby Artikel Utama

Petualangan Pria 101 Tahun, Allan Karlsson, dan Politik Omong Kosong

23 Juni 2019   20:30 Diperbarui: 24 Juni 2019   00:34 492
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik


Jangan mengira protagonis dalam novel ini, The Accidental Further Adventures of The 100-Year-Old Man, adalah eksekutif muda yang tampan dan memesona. Dari judulnya saja, pengarang Jonas Jonasson sudah membocorkan usia tokoh utamanya. Buang jauh-jauh harapan bahwa Allan adalah kakek yang menyenangkan. Ia sosok yang menyebalkan. Meski begitu, ia punya kecerdasan luar biasa untuk mencengangkan pembaca.

Petualangan Allan bermula pada hari perayaan ulang tahunnya yang ke-101. Sahabat karibnya, Julius Jonsson, memberikan kejutan baginya berupa hadiah menikmati pemandangan Bali dari balon udara. Sahabatnya itu, Julius, mantan penjahat kambuhan yang sudah bertobat dan menikmati masa tua sebagai petani asparagus di Pulau Dewata.

Setelah seperempat abad menghabiskan uang hadiah dari Mao Tse-dong, pada sebuah pertemuan tak disengaja, dengan berleha-leha di sebuah hotel bintang lima di Bali, Allan dan Julius dihantui tagihan hotel sebesar 150.000 dolar AS, setara dengan 2,1 miliar rupiah, pria 101 tahun itu mencoba peruntungan dengan memakai rumus "panjang akal banyak ide".

Balon udara melayang di udara tanpa pilot dan persiapan gas secukupnya. Terus melayang di atas Samudra Indonesia tanpa kompas atau alat GPS. Hanya sebuah tablet berlogo apel sedikit tergigit dan empat botol sampanye. Arah angin meniup balon ke tengah lautan alih-alih ke arah Australia. Dan, nasib nahas tiba satu demi satu.

Wajah Masam Kim Jong-un
Semua orang (termasuk Allan, saya, dan kalian) selalu berhadap-hadapan dengan serangkaian pilihan. Tentu saja kita merdeka dalam menentukan apa yang mau kita pilih. Kemerdekaan memilih itu sesungguhnya menegaskan keterbatasan pilihan. Ada yang membatasi pilihan kita. Batasan itu sering kita sebut takdir.

Jonas, selaku pengarang, menyuguhkan fakta tentang kemerdekaan dan keterbatasan itu. Allan, sang protagonis, bisa memilih tetap terkatung-katung dipermainkan ombak atau bertahan hidup di kapal perang Korea Utara yang sedang mengangkut empat kilogram uranium diperkaya. Pilihan pertama disertai ancaman hiu ganas, pilihan kedua diikuti bayangan kematian di tangan Pemimpin Tertinggi Korea Utara.

Kemerdekaan memilih tetaplah kebebasan, sekalipun sangat terbatas. Allan bebas memilih bagaimana ia bertahan hidup, tetapi ia tidak tahu di mana ia mati atau bagaimana ia mati. Di sinilah tragisnya. Ia tidak punya pengetahuan apa pun soal Kim Jong-un, Pemimpin Tertinggi Korea Utara, kecuali secuil berita yang dapat ia korek dari tabletnya. Akan tetapi, itu sedikit lebih menjanjikan dibanding dibuang ke laut dan bertarung melawan hiu.

Di dunia ini, menurut Albert Camus dalam The Myth of Sisyphus and Others Essays (1961, 18), segala sesuatu diberikan tanpa keterangan apa-apa. Suka tidak suka, Allan mesti menentukan pilihan. Sepahit apa pun. Kendatipun ia setiap saat direcoki Julius yang nyinyirnya makin menjadi-jadi. Berbekal teori tekanan hitosostat yang mendadak muncul di kosmis imajinasinya, ia pertaruhkan nyawanya sebagai ahli nuklir tanpa tanding.

Dalam novel ini, Jonas berhasil memadukan realitas "nasib di ujung tanduk" dengan "jalan keluar yang konyol". Keduanya bersumber dari aliran kesadaran (stream of consciousness). Mungkin juga dari tekanan kecemasan (anxiety pressure). Perhatikan nukilan di bawah ini.

Sebenarnya sangat sedikit yang Allan ketahui tentang hal-hal yang dilakukan oleh Kim Jong-un--tidak lebih dari yang dibacanya di tablet hitam. Dan, berita-berita itu tidak selalu menyenangkan. "Aku mengetahui semuanya," ujarnya. "Tetapi, untuk duduk di sini dan memuji semua pencapaianmu akan memakan terlalu banyak waktumu yang berharga." (Hlm. 86)

Jajak pendapat ulas novel di Cerita-Instagram saya | Dokpri
Jajak pendapat ulas novel di Cerita-Instagram saya | Dokpri
Bayangkan pria 101 tahun kalang kabut di depan Pemimpin Tertinggi Korea Utara yang dingin dan ketus. Bayangkan pria renta yang mati-matian mencari upaya selamat. Bayangkan "Pria Muda yang Dingin" yang sampai hati memasukkan seorang jenderal ke dalam akuarium untuk dilahap piranha. Bayangkan akal bulus seperti apa yang dapat menjauhkan Allan dari incaran maut.

Pada akhirnya, sang protagonis memiliki panggungnya. Lewat rencana kabur yang ceroboh dan sekadarnya, Allan dan Julius berhasil menyusul Utusan PBB ke Bandara Pyongyang. Tidak sekadar menyusul. Keduanya sukses mengelabui Direktur Nuklir dan menggondol empat kilogram uranium diperkaya. 

Kim Jong-un murka. Sopir pengawal Allan sengaja menabrakkan diri ke truk kontainer, sebab ngeri menghadapi hukuman Pemimpin Tertinggi. Direktur Nuklir menggantung diri di laboratorium, sebab tidak sanggup membayangkan nasibnya setelah dikelabui Allan. 

Senyum Kecut Donald Trump dan Senyum Manis Angela Merkel
Trump mengamuk. Penguasa AS itu tidak ingin melihat Korea Utara berhasil mengembangkan nuklir. Utusan PBB dan ahli nuklir dari Swiss (sebenarnya Swedia) harus menemuinya di New York. Ia bahkan tidak mau tahu bahwa Allan, ahli nuklir tersebut, ternyata pernah menerima dua Medali Kebebasan Kepresidenan dari dua Presiden AS yang berbeda.

Adapun Allan, bertemu dengan Presiden AS bukan lagi peristiwa istimewa. Sebelumnya ia sudah sepeminuman teh dengan Truman dan Nixon. Hanya saja, Trump sosok presiden yang unik. Presiden AS itu rajin mengumbar kata-kata. Ia bisa memicu perang jika diperlukan. Perang sungguhan dan perang kata-kata (hlm. 169). 

Meski begitu, Allan sangat percaya diri. Bagaimanapun, ia bukan lansia biasa. Ia melompat dari jendela kamarnya beberapa sebelum hari lahirnya yang ke-100 dirayakan, dan melarikan diri dengan balon udara ketika ulang tahunnya yang ke-101 dipestakan.

Perang dingin gara-gara nuklir jadi pemicu kemarahan Trump. Menteri Luar Negeri Swedia, Margot Wallstrom, mewanti-wanti Allan agar tidak asal bicara. Adapun Allan, seperti lansia lainnya, peduli setan dengan siapa saja yang berada di depannya. Ia ceramahi Trump. Ia kritik lelaki pemarah yang sering mengumpat di media sosial itu.

Lagi-lagi Allan berhadapan dengan pilihan. Pernyataan Jean Paul Sartre dalam Existentialim and Humanism (1965, 24) benar adanya. Kata Sartre, karena manusia yang memiliki kesadaran maka manusialah yang mendatangkan ke-ada-an dan ke-tidakada-an ke dunia ini.

Bayangkan sekarang betapa sukar pilihan yang mesti dihadapi oleh Allan. Bayangkan juga kemungkinan Perang Dunia III terjadi kalau uranium diperkaya ia serahkan kepada Trump. Bayangkan pula sungguh mustahil bagi Julius apabila terus-terusan menenteng koper berisi uranium diperkaya, sekalipun ia mengantongi paspor Diplomat Khusus Swedia.

Maka kekonyolan baru terjadi. Perang kata-kata antara Allan dan Trump pecah. Kejadiannya berlangsung secepat kilat di lapangan golf. Trump merasa terpojok dan mengusir Allan.

Pria 101 tahun itu dikembalikan ke Markas PBB. Di sana, Allan dan Julius terkulai. Mereka lapar dan tidak punya uang. Mereka baru saja selamat dari terkaman Kim Jong-un dan terdampar di wilayah kegeraman Trump. Mereka menenteng uranium diperkaya yang tidak mudah dibawa ke mana-mana. Dua orang tua renta dengan pilihan hidup yang tidak mudah.

Namun, hidup punya alur sendiri. Alur itu sering tidak tertebak. Pertemuan dengan Duta Besar Jerman untuk PBB menjadi jalan bagi Allan. Empat kilogram uranium diperkaya kini sudah berpindah tangan. Kanselir Jerman, Angela Merkel, dipilih Allan sebagai tuan baru bagi bahan bom nuklir berbahaya itu.

Trump tersenyum kecut, Merkel tersenyum manis.

Jonas Jonasson dan Petualangan Allan Karlsson
Ketegangan yang konyol sekaligus lucu mewarnai novel setebal 500 halaman ini. Ketegangan itu memaksa saya tidak berhenti membaca hingga halaman terakhir. Rentetan kejutan berpadu dengan kecerdasan pria tua renta. Ledekan atas pemimpin dunia memperkaya lelucon. Politik seperti badut yang ditertawakan ketidaklucuannya.

Selaku pembaca, saya menikmati tualang menegangkan bersama dua pria tua (Allan dan Julius). Menegangkan sekaligus menggelitik. Mengesalkan sekalipun mengesankan.

Pada halaman 496, misalnya, terjalin dialog antara Kim Jong-un dan Vladimir Putin. Pada halaman 498 terpilin kisah cinta antara Meitkini (sopir wisatawan) dan Fredrika (agen rahasia Jerman). Meitkini menyiapkan nama ala Kenya, Uvuvwevwevwe, jika bayinya lelaki. Dan, Fredrika berharap janin di dalam rahimnya adalah perempuan.

Dengan kata lain, novel terjemahan terbitan Bentang ini bukan sekadar meledek elite politik, melainkan sekaligus mengejek anak-anak muda yang mudah dikuasai rasa putus asa. 

Kisah dalam novel ini berawal dari Indonesia dan berakhir di Kenya. Membaca novel ini juga semacam tualang mengitari bumi. O ya, novel ini sebenarnya merupakan sekuel dari novel The 100-Year-Old Man Who Climbed Out of The Window and Disapperead. 

Nah, ulasan saya atas novel seri pertama akan saya sajikan pada tulisan berikutnya. Salam riang dari Allan Karlsson, Jonas Jonasson, dan saya.

Amel Widya

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hobby Selengkapnya
Lihat Hobby Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun