Mohon tunggu...
Amel Widya
Amel Widya Mohon Tunggu... Asisten Pribadi - PPNASN

Perempuan Berdarah Sunda Bermata Sendu. IG: @amelwidyaa Label Kompasiana: #berandaberahi

Selanjutnya

Tutup

Financial Artikel Utama

Menangkal Diskon Akal Bulus dan Tragedi Teknologi Finansial

14 Desember 2018   16:38 Diperbarui: 15 Desember 2018   11:09 1001
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi: portcalls.com

Jika ada yang menyatakan bahwa budaya membaca kita rendah, itu ada benarnya. Berapa orang yang membaca buku petunjuk ketika membeli barang tertentu? Jika ada yang mengatakan bahwa budaya mendengar kita tinggi, itu tidak sepenuhnya benar. Berapa banyak orang yang mendengarkan pengumuman petugas di stasiun kereta tentang pemakain eskalator--sisi kanan untuk yang berjalan cepat dan sisi kiri bagi yang berdiri diam?

Itu ilustrasi saja. Meski begitu, ilustrasi tersebut sejatinya merupakan alarm atau pertanda agar konsumen belanja daring di Indonesia lebih berhati-hati. Perangai konsumen di Indonesia memang ajaib. Kalau membeli makanan jarang diperiksa masa kedaluwarsa, lalu mengeluh dan menggerutu ketika diserang menceret. Kalau membeli kosmetik jarang dibaca petunjuk penggunaan, kemudian meradang dan menggerunyam ketika kulit bermasalah.

Sementara itu, teknologi terus berkembang. Ekonomi digital maju demikian pesat, termasuk teknologi finansial (financial technology), niaga daring (e-commerce), dan layanan sesuai pesanan (on-demand service). 

Mereka yang semula berletih-letih ke bank, berperang melawan bosan saat mengantre, serta berharap-harap cemas menanti keputusan pengajuan pinjaman, kini boleh menghela napas lega dan berleha-leha karena "bank daring" sudah tersedia di gawai.

Mereka yang memendam kesal karena jalanan macet saat menuju toko langganan, yang tidak henti-henti menyeka peluh di pasar tradisional, yang menahan pengar karena mal dipadati pengunjung, kini sudah bisa senyam-senyum karena leluasa membeli barang tanpa ke luar rumah.

Mereka yang sering mendongkol saat menunggu angkutan umum, yang kerap mengeluh ketika kendaraan yang ditunggu tidak kunjung muncul, yang suka merenyet akibat tagihan argometer taksi jauh di luar perkiraan, kini bisa bersenandung riang karena kehadiran kendaraan daring.

Walau demikian, kemudahan sering kali seiring sejalan dengan kesulitan. Konsumen ekonomi digital tidak luput dari serbuan kesulitan di balik kemudahan yang mereka terima. Semacam "jebakan batman" yang memerangkap konsumen.

Keluhan Konsumen di Simpang Jalan

Jika kita membeli barang di toko maka kita bisa memilih sesuai model, kualitas, atau harga yang diinginkan. Jika barang belian itu bermasalah, kita bisa mengembalikannya ke toko lengkap dengan omelan dan desah kecewa.

Bagaimana kalau kita belanja daring? Apakah ada yang sudi menyimak keluhan kita setabah pramuniaga di toko? Apakah kita boleh mengembalikan dan menukar barang yang ternyata bercacat atau tidak sesuai keinginan?

Penting bagi kita untuk menemukan jawaban atas ketiga pertanyaan itu. Konsumen yang sudah memeras otak saat memilih barang, menguras rekening ketika membayar barang, serta mengeruk kerak-kerak tabah sewaktu menunggu pesanan tiba di rumah, sejatinya berhak mengeluhkan pelayanan pelaku niaga daring.

Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI), dikutip dari CNNIndonesia, membeberkan data yang cukup mencengangkan terkait aduan konsumen. Pada 2017, pengadu terbanyak berasal dari konsumen niaga daring. Jumlahnya tidak tanggung-tanggung, yakni sebanyak 101 aduan.

Pelaku niaga daring yang paling sering diadukan konsumen adalah Lazada (18 aduan); Akulaku menempati peringkat kedua (14); disusul Tokopedia (11), Bukalapak (9), Shopee (7), Blibli (5), JD.ID (4), dan dipungkasi Elevania sebanyak 3 aduan.

Apa saja yang dikeluhkan oleh konsumen belanja daring kepada YLKI? Tulus Abadi, Ketua YLKI, mengungkap tiga jenis keluhan yang paling sering dilaporkan oleh konsumen. Pertama, barang yang dikirim tidak sesuai pesanan. Kedua, pengiriman yang telat atau tidak tepat waktu. Ketiga, sukar komplain jika ada masalah atas pesanan.

Di luar paparan Tulus, pelaku niaga daring terkadang--entah sengaja entah tidak--mengecoh konsumen. Kasus terheboh yang masih melekat di benak kita adalah "diskon akal bulus". Pelaku niaga daring menawarkan diskon besar-besaran kepada konsumen, padahal akal-akalan saja.

Diskon akal bulus ini bisa dihindari dengan cara mengecek kewajaran harga di pasaran sebelum memesan barang di lapak daring. Contoh sederhananya begini. Jika harga pasaran sebuah ponsel Rp2.500.000, jangan terkesima pada label diskon 80% ketika ponsel itu dijual Rp2.350.000.

Berkenaan dengan diskon akal bulus, konsumen mestinya memakai "tiga strategi menapis diskon". 

Pertama, bandingkan harga daring yang didiskon dengan harga pasaran. Jika ada indikasi harga barang dinaikkan dulu baru dicantumi diskon, itulah diskon akal bulus. Kedua, jangan mudah terkecoh. Kemaruk gara-gara diskon itu menyakitkan. Ketiga, periksa kredibilitas toko daring. Biasakan membaca dan budayakan mendengar.

Pendek kata, jangan mudah tergoda oleh diskon akal bulus yang dibalut rayuan gombal. Camkan selalu bahwa keluhan atas pesanan sangat sulit disampaikan. Etiket pelaku niaga daring kadang-kadang menjengkelkan: cepat tanggap saat proses pembelian, lambat respons tatkala dikomplain.

Data Diri Berserakan Gara-gara Utang Digital

Sejak memasuki 2018, kisah duka lara konsumen tekfin sudah berkeliaran di media sosial. Bahkan bukan cuma pengutang, melainkan keluhan dan sungutan juga disampaikan oleh teman kerja atau keluarga dekat si pengutang. Tagihan "salah kamar" gara-garanya.

Ketika konsumen mulai tersendat-sendat saat membayar cicilan, ketika konsumen mulai terlambat melunasi angsuran, ketika pembayaran sudah melewati tenggat sebulan, pada saat itulah data konsumen dikeruk habis-habisan.

Si Penagih, biasanya pihak ketiga yang dibayar pelaku bisnis tekfin, akan menghubungi kontak yang diserahkan konsumen ketika verifikasi ajuan dan penagihan. Kasus heboh antara konsumen Rupiah Plus, seperti dikutip bisnis.com, dapat dijadikan cermin. Si Penagih membuat Grup WA, memasukkan teman gaul, rekan kerja, dan sanak kerabat konsumen, lalu mengungkapkan kabar tentang utang yang belum dibayar.

Mengapa hal sedemikian terjadi? Farzikha Sooreno, pemerhati ekonomi digital, mengatakan bahwa ada unsur kelalain peminjam sehingga hal tersebut terjadi. Syarat dan ketentuan yang diajukan sebelum transaksi pinjam-meminjam uang terjadi jarang dibaca sedetail-detailnya.

"Jika peminjam membaca syarat dan ketentuan dengan teliti, peminjam pasti akan maklum bahwa data pribadinya akan digunakan oleh pihak peminjam," ungkap Farzikha saat diwawancarai oleh penulis.

Sayang, konsumen kadang main setuju saja sebelum tuntas membaca syarat dan ketentuan. Dalam industri tekfin memang ada kepentingan akses data untuk tujuan verifikasi dan penagihan. Data yang disedot peminjam mestinya sesuai dengan ketentuan saja, misalnya hanya mengakses data kontak "panggilan darurat" yang lazimnya keluarga terdekat untuk memudahkan penagihan.

Hanya saja, ada juga pelaku bisnis tekfin yang bengal dan berani melanggar etiket penggunan data pelanggan. Penagihan dengan cara penyebaran kabar utang dalam satu Grup WA, misalnya. Bahkan data lain berupa kontak, pesan, galeri foto dan video, serta aktivitas di medsos ikut dicocor. Tidak heran apabila ada konsumen yang mendongkol.

Bertumpu pada kemungkinan tersebarnya data pribadi, saran Farzikha agar konsumen cermat dan teliti membaca syarat dan ketentuan sangat layak kita camkan. Tentu saja, tidak ngoyo atau lamban saat membayar angsuran. Jangan gesit ketika meminjam, tetapi lambat saat membayar.

Upaya Melindungi Konsumen

Tidak bisa dimungkiri bahwa pertumbuhan ekonomi digital kita sangat cerah dan menjanjikan. Farzikha menyingkap kisah kesuksesan empat bisnis rintisan digital di Indonesia yang sudah meraksasa sebagai unicorn. Jika digarap dengan serius dan simultan, banyak keuntungan yang akan kita reguk--baik di kalangan konsumen maupun bagi pelaku ekonomi digital.

Selain dukungan kebijakan bagi pelaku ekonomi digital, regulasi untuk melindungi konsumen juga harus terus disempurnakan. Bagi pelaku bisnis tekfin, misalnya, tentu butuh kepastian pemulangan pinjaman. Pada sisi lain, konsumen juga tidak ingin data pribadi yang diserahkannya ternyata disalahgunakan.

Mari kita lihat regulasi untuk perlindungan konsumen. 

Deputi Komisioner Edukasi dan Perlindungan Konsumen OJK, Sarjito, mengatakan bahwa POJK No. 1/POJK.07/2013 tentang Perlindungan Konsumen Sektor Jasa Keuangan belum memasukkan pelaku bisnis tekfin sebagai pelaku usaha jasa keuangan. Dengan demikian, tekfin mesti mengacu dan menaati ketentuan perlindungan konsumen yang sudah ada.

Sementara itu, Kepala Biro Humas Kementerian Kominfo, Fernandus Setu, menguraikan ketentuan dalam Peraturan Menteri Nomor 20 Tahun 2016 tentang Perlindungan Data Pribadi dalam Sistem Elektronik. Menurut Fernandus. seperti dilansir bbc.com, peraturan tersebut mewajibkan setiap penyelenggara sistem elektronik untuk mengelola data pribadi para pelanggan dan penggunanya dengan baik, mulai dari perolehan, proses, penyimpanan bahkan sampai penghapusan.

Dengan kata lain, ada tiga konduite yang harus dipenuhi. Pertama, proses pengambilan data harus sesuai dengan yang telah disepakati. Kedua, penyimpanan dan penggunaan data tidak boleh keluar dari kesepakatan. Ketiga, data yang disedot harus dihapus setelah transaksi selesai.

Jikalau ketiga parameter tersebut dijalankan dengan baik niscaya konsumen terlindungi. Manakala konsumen merasa nyaman dan aman bertransaksi di dunia digital, alamat laju pertumbuhan ekonomi digital akan kian pesat.

Selain itu, Bank Indonesia juga menerbitkan Peraturan Nomor 19/12/PBI/2017 tentang Penyelenggaraan Teknologi Finansial. Pada Pasal 8 ayat 1 terlihat kewajiban penyelenggara tekfin untuk melindungi konsumen.

Penyelenggara Teknologi Finansial yang telah terdaftar di Bank Indonesia wajib:
(a) menerapkan prinsip perlindungan konsumen sesuai dengan produk, layanan, teknologi, dan/atau model bisnis yang dijalankan; (b) menjaga kerahasiaan data dan/atau informasi konsumen termasuk data dan/atau informasi transaksi; (c) menerapkan prinsip manajemen risiko dan kehati-hatian.

Meski begitu, sejalan dengan pesan Farzikha Soerono, kejelian dan ketelitian konsumen juga penting supaya data diri terlindungi. Artinya, perisai terbaik bagi konsumen adalah diri sendiri. Jika memenuhi syarat dan ketentuan, terutama taat membayar cicilan, semuanya akan baik-baik saja. Pelaku bisnis ekonomi digital senang, konsumen pasti tenang.

Masalahnya, seberapa besarkah kepedulian konsumen dalam membaca dengan cermat ketentuan yang ada? Ini pertanyaan terakhir yang mestinya dijawab sendiri oleh konsumen.

Sebenarnya, aturan mainnya tidak rumit: jika merasa berat memenuhi ketentuan, jangan ajukan pinjaman; jika bertemu diskon akal bulus, batalkan belanja daring; jika bersua pengendara kendaraan layanan sesuai pesanan yang menyebalkan, urungkan pesanan. Kelar! 

Amel Widya

#amanbertransaksi 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Financial Selengkapnya
Lihat Financial Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun