Revolusi Industri 4.0 di depan mata. Kini kita berada di tengah zaman yang bergantung pada kemajuan teknologi. Suka atau tidak, kita mesti menjalin kemitraan dengan mesin. Hampir seluruh aktivitas keseharian kita pilin-memilin dengan data, internet, dan mesin.
Teknologi digital pun sudah merambah sektor ekonomi. Pasar, bank, dan layanan transportasi kini ada dalam genggaman kita. Mau beli apa saja tinggal mengeklik toko daring (e-commerce); mau pinjam uang tinggal mengontak penyedia layanan pinjam-meminjam uang (financial technology); mau ke mana-mana dan apa saja tinggal membuka aplikasi layasan sesuai permintaan (on-demand service).
Transaksi berlangsung dalam sekejap tanpa ke luar rumah. Sekali klik, beberapa jenak kemudian sudah kelar. Pendek kata, hidup kita kian dimudahkan dan dimurahkan oleh kemajuan teknologi. Dalam sektor ekonomi, kebaruan teknologi itu kita kenal dengan sebutan ekonomi digital.
Bibit Unggulan Bernama Ekonomi Digital
Pertumbuhan ekonomi digital di Indonesia sedemikian lesat selaras dengan pertambahan pengguna internet yang sangat pesat. Berdasarkan Data Statistik Pengguna Internet di Indonesia pada 2017 yang dirilis oleh Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia (APJII), pertumbuhan pengguna internet meningkat pesat.
Pengguna internet di Indonesia pada 2017 sekisar 143,26 juta jiwa atau 54,68% dari 262 juta orang penduduk Indonesia. Pada 2016, pengguna internet mencapai 135,70 juta. Dengan demikian, terjadi peningkatan sebanyak 10,56 juta pengguna atau naik sebesar 7%. Itu jelas potensi besar!
Kita akan semakin terperangah dan berdecak-decak keheranan jika mundur ke tahun 2010. Kala itu, pengguna internet di negeri tercinta ini masih pada kitaran 42 juta. Jumlah pengguna internet bertambah tiga kali lipat hanya dalam rentang tujuh tahun. Lebih mencengangkan lagi, sepuluh tahun sebelumnya (2007) malah baru pada kisaran angka 20 juta pengguna.
Meski begitu, ada satu perkara yang dapat memicu kerutan di kening kita. APJII menyuguhkan data terkait ketimpangan jumlah pengguna internet berdasarkan wilayah pengguna. Sebanyak 83,20 juta atau sekira 58,08% dari seluruh pengguna internet di Indonesia berada di Jawa.
Sekarang mari kita tilik pengguna internet di pulau lain di Nusantara. Pengguna internet di Sumatera mencapai 27,35 juta orang (19,08%); di Kalimantan sebanyak 20,88 juta (7,97%); di Sulawesi sebanyak 17,63 juta jiwa (6,73%); di Balu-Nusa Tenggara mencapai 14,75 juta orang (5,63%); dan Maluku-Papua sebanyak 6,52 juta jiwa (2,49%).
Andai kata seluruh pengguna internet di luar Jawa disatukan, jumlahnya masih kalah dibanding pengguna internet di Jawa. Tentu saja banyak aspek yang memengaruhi, di antaranya sebaran jumlah penduduk, tetapi sisik-melik ketimpangan itu tidak akan diulas dalam tulisan ini.
Apa yang dapat kita tengarai dari data itu? Seandainya jumlah pengguna internet kita ibaratkan lahan, maka tersedia lahan yang sangat luas untuk menumbuhkembangkan ekonomi digital. Lahan itu tidak hanya luas, tetapi sekaligus subur dan menjanjikan.
Tidak bisa dimungkiri bahwa pengguna internet kerap "lapar mata". Ada produk menarik di Instagram sontak ngiler, ada yang memukai di lapak daring kontan "meneguk ludah", ada yang menarik dari tayangan iklan di Youtube atau mesin peramban mendadak "panas dingin".
Apalagi pengguna internet pada rentang usia 19-34 tahun jumlahnya tidak tanggung-tanggung, yakni sebanyak 49,52% atau sekitar 70,94 juta jiwa. Itu adalah lahan subur yang seakan-akan melambaikan tangan untuk digarap, diolah, dan disebari komoditi bernama ekonomi digital.
Tunggu dulu. Masih ada fakta menarik lain yang tidak terbantahkan. Laki-laki memang lebih doyan mengulik-ulik internet dibanding perempuan, tetapi selisihnya tidak seberapa jauh. Laki-laki sebanyak 73,67 juta orang (51,43%), sedangkan perempuan sebanyak 69,58 juta jiwa (48,57%). Data sajian APJII tersebut memang memperlihatkan dominasi laki-laki atas perempuan dalam perkara memakai internet.
Akan tetapi, kita dapat membayangkan keampuhan "relasi kuasa cinta" apabila 69,58 juta perempuan itu merengek kepada lelaki di sekitarnya--seperti bapak, kakak, suami, atau kekasihnya. Ihwal "relasi kuasa cinta" ini dapat kita lihat sebagai guyonan belaka sekaligus sebagai petunjuk samar atas "kesuburan lahan" tempat kita dapat menebar benih komoditi "ekonomi digital".
Merawat Bibit "Ekonomi Digital"
Jadi, potensi lahan subur bernama pengguna internet di Indonesia mestinya membuat kita mencelangap dan menganggut-anggut untuk memikirkan benih "ekonomi digital" apa yang cocok kita tebar, kapan benih itu harus ditebar, bagaimana merawat dan menjaga benih itu hingga tumbuh subur dan kita segera memetik buahnya.Â
O ya, istilah benih atau bibit dan lahan subur merupakan amsal semata.
Mari kita pilah dulu jenis bibit ekonomi digital yang potensial untuk kita budi dayakan. Setidaknya ada tiga bibit unggulan yang dapat kita pilih. Pertama, Layanan Sesuai Permintaan atau on-demand service; kedua, Layanan Belanja Daring atau e-commerce; dan ketiga, Layanan Pinjam-meminjam Uang atau financial technology.
Awalnya cuma Go-Ride untuk transportasi antar-jemput dengan ojek, lalu muncul Go-Car untuk transportasi antar-jemput dengan mobil, lalu tumbuh Go-Food untuk pesan-antar apa saja yang dipesan, dan terus beranak-pinak.Â
Semula tarif layanan terang-benderang berdasarkan jarak tempuh, kemudian bertumbuh seiring pertumbuhan teknologi sehingga mengalami penyesuaian. Bisa berdasarkan jam padat pemesanan, bisa juga berdasarkan bonus pemesan. Itulah ciri ekonomi digital--tumbuh sesuai perkembangan teknologi.
Jiwa kewirausahaan orang Indonesia memang tidak perlu diragukan. Tatkala peluang "lahan subur ekonomi digital" semakin memesona, bisnis rintisan berbasis teknologi (start-up) tumbuh laksana jamur di musim hujan. Bisnis rintisan itu terutama merambah layanan penyedia tempat berniaga apa saja.
Sederhananya begini. Pelaku bisnis rintisan bagai pengembang yang membangun pasar besar di internet, dengan banyak lapak, yang terbuka untuk ditempati oleh siapa saja yang ingin menjual apa saja.Â
Dari barang bekas hingga barang baru, dari barang murah hingga barang mahal, dari barang jamak yang mudah ditemukan hingga barang langka yang sukar ditemukan.
Pemilik pasar atau toko atau mal di internet itu tentu saja meraup untung, walaupun ada juga yang mangkrak bahkan bangkrut. Namun, kita akan tercengang malah tercengung melihat perkembangan toko-toko daring di Indonesia.
Perusahaan rintisan yang omzet--istilah lain dari valuasi--mencapai sekitar Rp13 triliun sudah ada di Indonesia. Dalam ranah ekonomi digital, bisnis rintisan dengan omzet sedemikian akan dinamai unicorn.Â
Kita pasti terpangah melihat data yang disajikan oleh Crunchbase. Betapa tidak, Indonesia punya dua unicorn di bidang perusahaan rintisan, yakni Tokopedia dan Bukalapak. Valuasi Tokopedia kini mencapai Rp15 triliun, sementara Bukalapak sudah menjangkau Rp13,7 triliun.
Patut kita camkan bahwa, sesuai temuan BBC, hanya ada tujuh perusahaan rintisan di Asia Tenggara yang valuasinya melewati ambang unicorn. Dari ketujuh perusahaan rintisan tersebut, empat di antaranya berasal dari Indonesia. Selain Tokopedia dan Bukalapak, ada Traveloka (Rp26,6 triliun) dan Go-Jek (Rp53 triliun). Angka yang sungguh mencengangkan, bukan?
Bagaimana dengan bisnis rintisan di bidang teknologi finansial--tekfin (financial technology--fintech)? Sama saja. Benih dalam kategori pinjam-meminjam uang ini juga berkembang pesat di Indonesia. Jenis bibit yang paling ramah kuping adalah peer to peer lending.Â
Otoritas Jasa Keuangan (OJK) melalui Peraturan OJK No. 77/POJK.01/2016 mendefinisikan peer to peer lending sebagai Layanan Pinjam-meminjam Uang Berbasis Teknologi Informasi.
Bisnis ini memesona banyak pengguna internet karena mereka tidak perlu berpayah-payah ke bank konvensional untuk mendapatkan kucuran dana segar dalam hitungan dua atau tiga hari. Dengan kata lain, sangat cepat. Itulah daya pikat utana yang ditawarkan oleh pelaku start-up di bidang pinjam-meminjam alias penyelenggara investasi keuangan digital (IKD).
Potensi bisnis tekfin sangat cerah dan cukup menjanjikan. Kita bisa melihat fakta jumlah penyelenggara IKD yang terus bertambah. Ada yang legal, ada pula yang ilegal. Pihak OJK menemukan 227 penyelenggara layanan IKD yang tidak terdaftar dan tidak berizin usaha atau ilegal.Â
Padahal, berdasarkan Peraturan OJK No. 77/POJK.01/2016 yang dimaklumatkan pada Desember 2016, penyelenggara tekfin wajib mengajukan pendaftaran dan perizinan kepada OJK. Akan tetapi, kita tidak perlu khawatir. Pengelola layanan IKD yang legal juga ada. Ada 64 perusahaan yang terdaftar atau mengantongi izin operasi dari OJK.
Â
Hama yang Mengancam Komoditi Ekonomi Digital
Persis apel atau anggur atau apa saja yang kita tanam di kebun sewaktu-waktu terancam hama, pertumbuhan ekonomi digital kita juga punya tantangan serupa hama bagi tanaman. Wirawan Agahari, peneliti di Centre for Innovation Policy and Governance (CIPG) Jakarta, punya paparan apik terkait tantangan bagi pertumbuhan ekonomi digital kita.
Pertama, kesenjangan digital di Indonesia. Pemerintah harus memastikan bahwa masyarakat Indonesia di mana pun mereka berada bisa mengakses layanan telekomunikasi. Hal ini harus ditangani dan diantisipasi secepat-cepatnya, mengingat infrastruktur adalah syarat utama kesuksesan ekonomi digital.
Kedua, sumber daya manusia yang mumpuni. Pertumbuhan ekonomi digital harus diimbangi dengan ketersediaan talenta yang berkualitas dan sesuai kebutuhan industri. Jika tidak, tradisi sikat-menyikat atau sabet-menyabet tenaga ahli akan terus berlangsung di antara para pelaku bisnis rintisan.
Ketiga, regulasi yang melindungi. Faktanya, regulasi memang selalu tertinggal dibandingkan dinamika pertumbuhan teknologi yang sangat pesat. Pemerintah dan pihak-pihak terkait dapat menyusun regulasi yang "memupuk" dan "bukan mematikan" inovasi digital.
Ketiga saran Wirawan Agahari itu perlu disikapi dengan cermat dan tepat. Namun, masih ada "hama lain yang tidak kalah garang" dan harus segera ditangani.
Keempat, kepaduan antarlembaga Pemerintah. Bahwa Pemerintah saat ini telah menunjukkan tren yang positif dalam hal penyusunan regulasi, itu benar dan harus diakui. Namun, kadang-kadang terjadi perbedaan perspektif di antara lembaga-lembaga Pemerintah dalam menanggapi atau menangani permasalahan ekonomi digital.
Kelima, perlindungan konsumen. Belum lama ini santer tersiar di media sosial tentang pelecehan pengemudi terhadap pengguna jasa antar-jemput. Ingatan kita juga masih hangat menyimpan berita tentang barang yang dibeli di pasar daring tidak sampai-sampai bahkan setelah berhari-hari. Itu sebabnya regulasi yang melindungi dan pelaksanaan regulasi yang istikamah harus terus dilakukan.
Keenam, kebocoran data. Peristiwa kebocoran data pengguna Facebook di Indonesia yang mencapai angka 1,3 juta pengguna masih terngiang-ngiang di telinga, masih pula ditambah dengan gerutuan konsumen peminjam uang di media sosial yang datanya tersebar kepada sanak dan kerabatnya--gara-gara telat mengangsur uang yang dipinjamnya.
Layaknya hama yang mengganggu tanaman, tantangan yang mengadang pertumbuhan ekonomi digital di negeri kita tentu bukan sesuatu yang mustahil untuk diselesaikan.Â
Komisi I DPR RI harus segera merampungkan Rancangan Undang-Undang Perlindungan Data Pribadi. Skandal Cambridge Analytica di Facebook mestinya menyadarkan kita akan pentingnya perlindungan data pribadi.
Alasan bahwa pengguna internet dan konsumen ekonomi digital harus ketat menjaga privasi di ruang maya tidak bisa dijadikan perisai atau dalih.
Jika hama-hama yang mengusik "ekonomi digital" berhasil kita tanggulangi, niscaya mimpi besar menandur ekonomi digital di lahan subur akan tercapai. Mungkin lambat, mungkin cepat.
Mari merawat bibit unggulan bernama ekonomi digital!
Amel Widya
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H