Mohon tunggu...
Amel Widya
Amel Widya Mohon Tunggu... Asisten Pribadi - PPNASN

Perempuan Berdarah Sunda Bermata Sendu. IG: @amelwidyaa Label Kompasiana: #berandaberahi

Selanjutnya

Tutup

Financial Artikel Utama

Menabur Benih Ekonomi Digital di Ladang Harapan

12 Desember 2018   18:00 Diperbarui: 19 Desember 2018   14:16 1135
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi: thegrcinstitute.org

Jiwa kewirausahaan orang Indonesia memang tidak perlu diragukan. Tatkala peluang "lahan subur ekonomi digital" semakin memesona, bisnis rintisan berbasis teknologi (start-up) tumbuh laksana jamur di musim hujan. Bisnis rintisan itu terutama merambah layanan penyedia tempat berniaga apa saja.

Sederhananya begini. Pelaku bisnis rintisan bagai pengembang yang membangun pasar besar di internet, dengan banyak lapak, yang terbuka untuk ditempati oleh siapa saja yang ingin menjual apa saja. 

Dari barang bekas hingga barang baru, dari barang murah hingga barang mahal, dari barang jamak yang mudah ditemukan hingga barang langka yang sukar ditemukan.

Pemilik pasar atau toko atau mal di internet itu tentu saja meraup untung, walaupun ada juga yang mangkrak bahkan bangkrut. Namun, kita akan tercengang malah tercengung melihat perkembangan toko-toko daring di Indonesia.

Perusahaan rintisan yang omzet--istilah lain dari valuasi--mencapai sekitar Rp13 triliun sudah ada di Indonesia. Dalam ranah ekonomi digital, bisnis rintisan dengan omzet sedemikian akan dinamai unicorn. 

Kita pasti terpangah melihat data yang disajikan oleh Crunchbase. Betapa tidak, Indonesia punya dua unicorn di bidang perusahaan rintisan, yakni Tokopedia dan Bukalapak. Valuasi Tokopedia kini mencapai Rp15 triliun, sementara Bukalapak sudah menjangkau Rp13,7 triliun.

Patut kita camkan bahwa, sesuai temuan BBC, hanya ada tujuh perusahaan rintisan di Asia Tenggara yang valuasinya melewati ambang unicorn. Dari ketujuh perusahaan rintisan tersebut, empat di antaranya berasal dari Indonesia. Selain Tokopedia dan Bukalapak, ada Traveloka (Rp26,6 triliun) dan Go-Jek (Rp53 triliun). Angka yang sungguh mencengangkan, bukan?

Dokpri
Dokpri

Bagaimana dengan bisnis rintisan di bidang teknologi finansial--tekfin (financial technology--fintech)? Sama saja. Benih dalam kategori pinjam-meminjam uang ini juga berkembang pesat di Indonesia. Jenis bibit yang paling ramah kuping adalah peer to peer lending. 

Otoritas Jasa Keuangan (OJK) melalui Peraturan OJK No. 77/POJK.01/2016 mendefinisikan peer to peer lending sebagai Layanan Pinjam-meminjam Uang Berbasis Teknologi Informasi.

Bisnis ini memesona banyak pengguna internet karena mereka tidak perlu berpayah-payah ke bank konvensional untuk mendapatkan kucuran dana segar dalam hitungan dua atau tiga hari. Dengan kata lain, sangat cepat. Itulah daya pikat utana yang ditawarkan oleh pelaku start-up di bidang pinjam-meminjam alias penyelenggara investasi keuangan digital (IKD).

Potensi bisnis tekfin sangat cerah dan cukup menjanjikan. Kita bisa melihat fakta jumlah penyelenggara IKD yang terus bertambah. Ada yang legal, ada pula yang ilegal. Pihak OJK menemukan 227 penyelenggara layanan IKD yang tidak terdaftar dan tidak berizin usaha atau ilegal. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Financial Selengkapnya
Lihat Financial Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun