Sejak awal 2015, Si Sengak berhasil menyeret saya menyelam lebih dalam ke dunia buku. Menurutnya, jika saya hanya membaca lalu menulis, tidak ada ciri khas yang menonjol. Saya dianjurkan sekalian menggeluti dunia penyuntingan. Terjun sekalian, tidak tanggung-tanggung.
Akibatnya fatal. Saya pasti menghela napas panjang setiap membaca buku, artikel, atau pamflet yang gagasannya tidak terstruktur, kalimatnya rancu dan membingungkan, atau penulisannya amburadul. Sesekali saya menggerutu sambil menunjukkan kesalahan itu kepada Si Sengak. Ia biasanya tersenyum simpul dengan tampang yang sangat menyebalkan. Kadang senyumnya seakan-akan menyatakan "rasakan sekarang", kadang ia seperti ingin mengatakan "saya puas".
Sepanjang tiga tahun terakhir, ia sodorkan rupa-rupa buku. Padahal, menyantap bacaan-bacaan berat yang ia anjurkan bukanlah hal menyenangkan. Tidak semenyenangkan ketika menyeruput vanilla frappucino di kedai kopi favorit. Pada mulanya begitu. Lambat laun tidak lagi.
Belakangan ini saya malah ketagihan. Tepatnya, kecanduan. Mencium aroma buku-buku tua dengan paparan materi (isi bacaan) yang berat memang mengasyikkan, malah konon, menurut sebagian orang, aroma buku-buku tua bisa menenangkan pikiran.
Tidak heran jika saya keranjingan membaca ulang tulisan sendiri sebelum dipajang di blog atau di media sosial. Membaca tulisan sendiri, yang sudah telanjur diunggah di media sosial, lalu menemukan kalimat atau tanda baca yang salah, rasa malunya luar biasa. Ya, malu pada diri sendiri.
Itulah alasan kedua mengapa membaca ulang tulisan penting saya lakukan.
Kesalahan dalam tulisan yang sudah telanjur dibaca oleh warganet akan sukar diperbaiki. Bisa saja kita sunting khusus di bagian yang keliru, namun jejak digital sukar dihapus.
Pengalaman adalah guru terbaik dalam hidup. Saya pernah menggunakan pisau cukur Si Sengak untuk merapikan alis. Ternyata kulit saya sangat sensitif. Alis saya memang rapi, namun menyisakan gatal-gatal dan bintik-bintik merah. Digaruk sakit, tidak digaruk menyebalkan.
Dampaknya, saya lebih berhati-hati. Saya sekarang tidak menganggap remeh hal kecil. Begitu pula dalam menulis. Semula saya biarkan gagasan-gagasan seperti bunga-bunga yang diterbangkan angin dan ditebarkan di atas tanah. Tumbuh sendiri, berkembang sendiri.
Saya biarkan ide-ide berlompatan ke dalam tulisan, bergelimpangan berantakan, dan akan terus begitu selama tidak terlalu menyimpang dari konsep awal.Â
Adapun membaca ulang tulisan seperti berdiri di pintu kamar, memandang seisi kamar dan berpikir "bagaimana jika posisi ranjang dipindahkan", menatap rak buku dan melamunkan "seandainya buku-buku ditata tidak menurut klasifikasi fiksi-nonfiksi tapi secara alfabetis", dan beberapa menit kemudian saya sibuk membenahi kamar.