Mohon tunggu...
Amel Widya
Amel Widya Mohon Tunggu... Asisten Pribadi - PPNASN

Perempuan Berdarah Sunda Bermata Sendu. IG: @amelwidyaa Label Kompasiana: #berandaberahi

Selanjutnya

Tutup

Hobby Artikel Utama

Hati-hatilah Memajang Tulisan di Blog atau Media Sosial

4 September 2018   23:06 Diperbarui: 5 September 2018   13:06 2447
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Kadang ada sesuatu yang menurut kita penting ternyata dianggap remeh oleh orang lain.

Saya mengalaminya. Tiga tahun belakangan ini, semenjak saya serius menekuni dunia penyuntingan, saya selalu berusaha membiasakan diri menulis sesuai aturan tata bahasa. Tidak ada kata yang disingkat secara serampangan, menghindari kata takbaku, dan memperhatikan struktur tulisan dengan cermat.

Dampaknya ajaib. Saya dianggap aneh oleh teman-teman, yang justru sehari-hari berkecimpung di dunia bahasa Indonesia, dan dituding terlalu kaku. Ada yang memprotes penggunaan tanda baca, ada yang menyindir pemakaian huruf kapital. Menulis sesuai kaidah malah dianggap aneh.

Bisa saja saya jelaskan kepada teman-teman bahwa saya tengah membiasakan diri menulis secara baik dan benar. Maksud saya, baik dalam penyampaian dan benar menurut tata bahasa. 

Mungkin sebagian orang nyaman saja menulis pesan pendek dengan menyingkat kata, seperti yang menjadi yg; dalam ditulis dlm; sepertinya ditulis sepertix; jalan-jalan menjadi jalan2; atau sekali disingkat menjadi sex. Saya tidak. Entah mengapa saya selalu merasa janggal jika melakukan hal seperti itu.

Pada kesempatan lain, seorang rekan saya mengajukan sebuah rancangan cerpen. Ada ringkasan cerita, tokoh dan penokohan, serta konflik yang akan dikupas. Ia meminta tanggapan saya. Karena banyak penulisan kata dan struktur kalimat yang rancu maka spontan saya protes.

Apa yang terjadi? Saya tersentak mendengar jawabannya. Itu baru konsep, Kak Amel. Jawaban itu sangat menggelitik. Ada sisi seolah-olah konsep tulisan adalah sesuatu yang bisa disepelekan atau diremehkan. Jadi, tidak apa-apa kalau ditulis seadanya. Tidak begitu. Konsep tulisan bagaikan pondasi bagi rumah yang akan dibangun. Tidak bisa seadanya.

Sekali lagi, manusia memang unik. Isi kepala berbeda-beda. Cara pandang atas satu persoalan pun tidak pernah sama. Namun, protes teman-teman terhadap kebiasaan saya menulis sesuai kaidah ejaan dan jawaban yang, bagi saya, meremehkan konsep tulisan ternyata mengalirkan banyak ide.

Pada kesempatan berbeda, seseorang yang selama tiga tahun terakhir sangat sering berdiskusi dengan saya, terkait dunia tulis-menulis, menasihati saya supaya berhati-hati sebelum memajang tulisan apa pun di blog atau media sosial. Sebut saja namanya Si Sengak. Beberapa saat lalu, ia menuai kritik lantaran data dalam artikelnya keliru. Ia tidak ingin hal serupa menimpa saya.

Berkaca dari ketiga kasus tersebut, ide-ide berbaris seperti iring-iringan semut di kepala saya. Apa gunanya membaca ulang tulisan sebelum diunggah ke media sosial? Seberapa pentingkah aktivitas membaca ulang tulisan sebelum tulisan itu dibaca oleh netizen? Mengapa setelah letih menulis kita masih harus berlelah-lelah membaca tulisan kita sendiri?

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hobby Selengkapnya
Lihat Hobby Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun