Dadaku bergetar aneh bahkan hingga beberapa hari setelah ia mencium keningku. Aku tidak pernah jatuh cinta. Tidak seperti teman-teman perempuanku yang gonta-ganti pacar sesering mengedipkan mata. Bagiku, laki-laki seusiaku hanya ingin memoroti hartaku.
Setahun setelah mencium keningku, Damon mencium bibirku. Ia lelaki pertama yang memagut bibirku. Hanya kami berdua di balkon di depan kamarku. Ia meminta sesuatu dariku yang sangat kujaga, tentu saja kutampik keras-keras. Aku meraung-raung ketika ia main paksa. Paman Codet hampir menghabisinya andai kata pengasuhku itu tidak kucegah.
Tetapi, aku menyesal telah mengusirnya. Keesokan harinya, Paman Codet mengantarku ke rumahnya. Gerbang dan pintu rumahnya tidak terkunci. Ia tidur lelap di sofa, di ruang tamu, tanpa sehelai benang pun, berpelukan dengan perempuan seksi yang sering kulihat di layar teve.
Ia tersentak ketika mendengar pas bunga berdebum dan pecah berkeping-keping di lantai. Ia masih mengucek-ucek mata ketika aku berlari ke luar bersama cucur air mata. Ia mengejarku dengan kemeja dililitkan seadanya di pinggang, tetapi Paman Codet sudah melajukan mobil.
Aku merutuk di mobil. Kusumpahi dia agar kemaluannya membusuk. Ia sempat meneleponku, tapi kuabaikan. Ia mengirim pesan, tidak kuhiraukan. Menjelang senja, ketika mataku masih berlinang air mata, televisi mengabarkan kematian Damon.
Aku suka makanan lezat. Itu alasan mengapa hatiku terjatuh lagi. Seorang koki yang sering masuk televisi adalah lelaki yang amat tepat.
Semenjak kematian Damon, kututup hatiku rapat-rapat. Harta warisan ayah jelas-jelas memikat minat banyak lelaki. Wajah jelitaku menawan banyak hati. Tetapi aku tidak mau terluka dua kali. Apa artinya cinta jika akhirnya dicucuk-cucuk duri.
Dua tahun setelah kematian Damon, aku menyibukkan diri di perusahaan. Seminggu sekali kuhibur diri dengan makan-makan di restoran termasyhur di kotaku. Kokinya amat tenar. Pernah memenangi kompetisi internasional. Namanya Devito. Nama yang sangat laki-laki. Sebagai sosialita yang cukup disegani, mudah bagiku memesan tempat dan makanan kesukaan di restorannya.
Aku suka matanya. Seteduh mata ayah. Itu sebabnya aku selalu berdandan rapi sebelum bertandang ke restorannya. Aku cukup bangga dengan penampilanku sendiri. Sebuah lembaga riset pernah meneliti tentang perempuan lajang, muda, dan cantik di kotaku. Hanya tiga persen dari dua puluh persen perempuan itu yang tajir. Aku termasuk di antara yang tiga persen itu.
Tidak banyak yang tahu mengapa aku menutup diri dari lelaki. Paling-paling Paman Codet dan istrinya. Minggu lalu, ketika kurayakan ulang tahunku yang ke-20, Devito mempertanyakan kesendirianku.
"Terkenal, kaya, cantik, tapi sendirian."