Mohon tunggu...
Amelia Nur Fauziah
Amelia Nur Fauziah Mohon Tunggu... Human Resources - Public Relations

hello, its me!

Selanjutnya

Tutup

Puisi Pilihan

Untuk Pertama Kalinya, Izinkan Logika ku Bekerja

23 April 2021   20:37 Diperbarui: 26 April 2021   13:31 259
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi wanita sedih. (freepik)

Kamu bercerita keluh kesahmu padaku.

Menceritakan dengan sangat jelas tentang dia yang kamu puja. 

Menjelaskan dengan sangat detail tentang bagaimana rasa sayangmu padanya

Dan aku? Seperti orang bodoh yang dengan semua sisa keikhlasanku

Berpura -- pura seolah aku mendukung perasaanmu padanya. Berpura -- pura untuk terlihat bahwa aku benar baik -- baik saja

Tidak ada yang bisa aku lakukan selain bersikap tegar dihadapanmu. 

Bukan untuk pujianmu, atau dinilai baik olehmu. Aku melakukan itu hanya karna ingin membuatmu nyaman. 

Aku memberikan rasa nyaman ini dengan totalitas perasaan. Rasa nyaman yang sampai kapanpun akan kamu anggap pertemanan.

"Pada akhirnya aku akan selalu memilih obat yang pahit namun menyembuhkan, daripada berdiam diri menikmati luka yang mendalam"

Bisakah kamu bayangkan, dia yang sangat kamu sayang selama bertahun -- tahun dengan mudahnya mengatakan bahwa dia sedang berjuang mendapatkan orang lain? 

Simpelnya, "It's never easy when you have to see the one you love's sad about someone else."

Dengan sesukanya hadir dan meminta cara bagaimana mendapatkan sosok wanita lain? 

Aku tak punya kuasa untuk menangis. Air mataku sudah terlalu kering untuk hal seperti ini.

Jika aku mengedepankan egoku, mungkin aku akan meninggalkanmu. 

Jelas, meninggalkanmu untuk menyelamatkan diriku sendiri. 

Karna bagaimanapun, Itu bukanlah suatu hal yang mudah untuk dilakukan.

"Hati wanita tetaplah hati. Sekalipun sudah terbiasa dengan keadaan patah hati, wanita tetap memiliki titik lemah."

Aku sudah terlalu sering menjadi baik untukmu. Aku kerap kali sudah selalu hadir untukmu. 

Berkali -- kali aku berada didekatmu. Berulang --ulang aku mengerti semua tentangmu.

Tapi apa yang ku dapatkan? Kamu tak pernah berbalik arah. Kamu tak pernah melihat keberadaanku. 

Dan kamu, tak pernah mengerti rasaku.

Jadi, sudah sepantasnya aku memberi sekat. Sekat untuk membatas semuanya. 

Membatasi apa yang perlu dibatasi. Membatasi semua yang akan berujung pada penyesalan.

Sudah seharusnya aku memberi jarak. Jarak yang akan membuatku bisa melakukan semuanya tanpa hadirnya kamu.

Sampai kapan entahlah. Kukira sampai masing -- masing dari kita bisa menemukan bahagianya masing - masing. 

Jika membutuhkan waktu lama, tak masalah. 

Karna memilih untuk bertahan denganmu dan menyakiti hatiku sendiri bukanlah bagianku.

Waktu yang akan memberitahu semuanya. Apakah aku masih akan tetap menyayangimu atau tidak.

Biarlah waktu yang menentukan. Apakah kita pantas untuk bertemu lagi atau tidak.

Dan waktu juga yang akan menyadarkan kita apa arti hubungan kita selama ini. 

Untuk apa terbentuknya hubungan ini dan apa yang harus diperbaiki dari hubungan ini.

Untuk melupakanmu bukan hal yang mudah tapi juga bukan suatu ketidakmungkinan.

"Melupakanmu, aku hanya butuh semalam saja. Ya, hanya semalam. Semalam yang tak pernah didatangi pagi."

Dan sekarang, berbahagialah..

Kejarlah bahagiamu itu, selayaknya aku mengejar kamu. 

Seperti aku yang berlari untuk mencari kemungkinan kamu akan menyayangiku kelak.

Tunjukkan padaku,  bahwa dengan aku melepaskanmu tidak akan menjadi penyesalanku nanti.

Tunjukkan padaku, bahwa aku memang bukan bahagiamu. Kejar bahagiamu, agar usahaku selama ini membuatmu bahagia tidaklah sia -- sia.

"Karna aku akan selalu menjadi orang pertama yang akan mengedepankan kebahagiaanmu. Bahkan jika aku harus kehilangan kebahagiaanku."

Sekali lagi, maafkan aku. Karna aku, tetap manusia yang pada umumnya memiliki titik lemah. 

Dan titik lemahku, adalah saat ini. 

Titik terakhir aku berjuang untukmu, untuk mempertahankan rasa ini, dan untuk menyakiti diriku sendiri.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun