Dalam 'Menit-menit yang Luput dari Catatan Sejarah Indonesia', Kafil Yamin menulis bahwa lepasnya Timor Timur dari pangkuan Ibu Pertiwi diawali oleh krisis moneter yang melanda negara-negara Asia Tenggara dari tahun 1997-1999. Indonesia pun turut terjiprat nilanya.
Ini, menurut Yamin, dimanfaatkan pihak Barat. IMF dan Bank Dunia siap membantu dengan memberikan dana bailout sebesar US$43 miliar, asal Indonesia melepas Timor Timur. Sekarang Timor Timur sudah lepas, namun bailout tersebut tak sampai seperempatnya dicairkan pada tahun 1999-2000.
Lepasnya Timor Timur dari pangkuan ibu Pertiwi itu meninggalkan luka yang dalam, bahkan sampai sekarang. Agus Malo bercerita, sewaktu masih di Timtim, ia memiliki rumah, istri, juga kebun. Setelah referendum, ia kehilangan segalanya. Yang paling disesali, ia kehilangan istrinya.
"Setelah referendum, banyak orang melarikan diri ke mana saja. Kapal laut datang, mengangkut orang-orang, membuang mereka di mana saja tanpa orang-orang itu tahu di mana mereka dibuang. Begitu juga dengan mereka yang melarikan diri melalui jalan darat. Bus-bus datang, angkut mereka, dan mereka tidak tahu ke mana mereka akan diturunkan. Istri saya juga hilang waktu itu," katanya mengenang kejadian itu.
Ia sampai sekarang terus mengenang istrinya. "Tapi mau bagaimana lagi? Semua orang kehilangan miliknya. Sewaktu terjadi tembak menembak, kami menyembunyikan diri di hutan. Dalam suasana begitu, apa kamu bisa berpikir fokus seperti ketika kamu berada dalam kamar rumahmu sendiri?" ungkapnya bertanya.
Ketika ratusan ribu orang berbondong-bondong meninggalkan tanah Timor Lorosae waktu itu, ia masih bertahan di sana. Ia kembali ke rumahnya, berkebun sebagaimana biasanya, dan hidup beberapa tahun lagi di sana.
Merah Putih
Tiga tahun lalu, menurut kisahnya, ia meninggalkan Timor Leste. Kehidupannya selama 45 tahun di tanah Timor Lorosae itu ia tinggalkan. Alasannya, ia ingin mencari kehidupan yang tenang, aman dan damai.
"Saya tidak merasa aman lagi di sana. Orang-orang saling memusuhi, saling berkelahi bahkan membunuh. Bukan karena sebuah persoalan yang besar. Orang bisa saja pergi ke rumahmu untuk berkelahi denganmu, hanya karena persoalan sepeleh. Hanya karena ketersinggungan sepele," ceritanya.
Karena alasan itu, ia pergi dari tanah yang telah ia tinggali selama 45 tahun itu, dan kembali ke tanah di mana ari-arinya ditanam, Kefa.
"Tiga tahun lalu saya ke Kefa. Saya berjumpa kembali dengan keluarga-keluarga di sana. Di Kefa, saya tinggal dua tahun," katanya.