Mohon tunggu...
ambuga lamawuran
ambuga lamawuran Mohon Tunggu... Jurnalis - Pengarang

Menulis novel Rumah Lipatan, novel Ilalang Tanah Gersang dan antologi cerpen Perzinahan di Rumah Tuhan.

Selanjutnya

Tutup

Trip Pilihan

Agus Malo, Lelaki Senja antara Timor Leste dan 'Merah Putih'

24 Mei 2019   17:59 Diperbarui: 24 Mei 2019   18:04 216
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Catatan Kopong Bunga Lamawuran


Terletak tepat di muka kantor Pengadilan Agama Kelas 1 B, Jalan Kejora, Kota Kupang; berjarak hanya beberapa ratus meter di belakang gedung DPRD Provinsi NTT; dikelilingi petak-petak sayur kangkung yang luas; rumah hunian itu terlihat seperti sebuah pondok yang tumbuh begitu saja di tengah kota. Di rumah itu, Agus Malo, seorang lelaki tua tinggal dan hidup dari menanam sayur.

Kamis (25/1/2018) siang, hari baru saja habis gerimis. Penuh kehati-hatian, Agus Malo keluar dari rumah itu, berjalan sambil memegang pohon Reo yang baru setinggi dua kaki, masuk ke petak-petak sayur yang berlumpur, memotong sayur kangkung, mengisinya dalam karung, kembali ke samping rumahnya, mencucinya, lalu menaruhnya begitu saja di atas sebuah ember dari ban oto: mengangininya.

"Ada yang beli," katanya dalam dialek Dawan, lembut.

Sebagai seorang warga eks-Timor Timur (Tim-tim) yang kini bekerja sebagai penanam sekaligus penjual sayur, ia hanya bisa hidup dari seberapa banyak sayuran yang dibeli dalam sehari.

"Lumayan," katanya. "Satu bedeng biasanya mereka kasih Rp. 150.000."

Kalau ada yang datang membeli hanya Rp. 5.000, ceritanya, ia biasa memberi mereka sayur lebih banyak. "Soal untung rugi itu sudah ditentukan Tuhan. Orang yang takut rugi berarti ia tidak percaya kepada Tuhan," katanya dengan nada pasti.

Sebenarnya ia bukan warga asli eks-Timtim yang memilih Merah Putih sebagai bendera kebangsaannya. Ia lahir di Kefa dalam tahun yang tidak mampu diingatnya. Tahun 1969, ia hijrah ke Timor Leste (waktu itu masih Timor Timur) untuk mencari penghidupan.

"Saya lahir di Kefa. Tahun lahir saya tidak ingat," katanya tersenyum simpul. "Tahun 1969, saya ke Timor Timur. Saya sudah kerja di sana, beristri, punya rumah dan kebun."

Namun, seiring bergantinya tahun, semua berubah. Tahun 1999, Timor Timur akhirnya melepaskan diri dari NKRI, dan kisah-kisah permusuhan sampai pembunuhan antara pro-kemerdekaan dan pro-Merah Putih, masih terjadi sampai sekarang.

Dalam 'Menit-menit yang Luput dari Catatan Sejarah Indonesia', Kafil Yamin menulis bahwa lepasnya Timor Timur dari pangkuan Ibu Pertiwi diawali oleh krisis moneter yang melanda negara-negara Asia Tenggara dari tahun 1997-1999. Indonesia pun turut terjiprat nilanya.

Ini, menurut Yamin, dimanfaatkan pihak Barat. IMF dan Bank Dunia siap membantu dengan memberikan dana bailout sebesar US$43 miliar, asal Indonesia melepas Timor Timur. Sekarang Timor Timur sudah lepas, namun bailout tersebut tak sampai seperempatnya dicairkan pada tahun 1999-2000.

Lepasnya Timor Timur dari pangkuan ibu Pertiwi itu meninggalkan luka yang dalam, bahkan sampai sekarang. Agus Malo bercerita, sewaktu masih di Timtim, ia memiliki rumah, istri, juga kebun. Setelah referendum, ia kehilangan segalanya. Yang paling disesali, ia kehilangan istrinya.

"Setelah referendum, banyak orang melarikan diri ke mana saja. Kapal laut datang, mengangkut orang-orang, membuang mereka di mana saja tanpa orang-orang itu tahu di mana mereka dibuang. Begitu juga dengan mereka yang melarikan diri melalui jalan darat. Bus-bus datang, angkut mereka, dan mereka tidak tahu ke mana mereka akan diturunkan. Istri saya juga hilang waktu itu," katanya mengenang kejadian itu.

Ia sampai sekarang terus mengenang istrinya. "Tapi mau bagaimana lagi? Semua orang kehilangan miliknya. Sewaktu terjadi tembak menembak, kami menyembunyikan diri di hutan. Dalam suasana begitu, apa kamu bisa berpikir fokus seperti ketika kamu berada dalam kamar rumahmu sendiri?" ungkapnya bertanya.

Ketika ratusan ribu orang berbondong-bondong meninggalkan tanah Timor Lorosae waktu itu, ia masih bertahan di sana. Ia kembali ke rumahnya, berkebun sebagaimana biasanya, dan hidup beberapa tahun lagi di sana.

Merah Putih

Tiga tahun lalu, menurut kisahnya, ia meninggalkan Timor Leste. Kehidupannya selama 45 tahun di tanah Timor Lorosae itu ia tinggalkan. Alasannya, ia ingin mencari kehidupan yang tenang, aman dan damai.

"Saya tidak merasa aman lagi di sana. Orang-orang saling memusuhi, saling berkelahi bahkan membunuh. Bukan karena sebuah persoalan yang besar. Orang bisa saja pergi ke rumahmu untuk berkelahi denganmu, hanya karena persoalan sepeleh. Hanya karena ketersinggungan sepele," ceritanya.

Karena alasan itu, ia pergi dari tanah yang telah ia tinggali selama 45 tahun itu, dan kembali ke tanah di mana ari-arinya ditanam, Kefa.

"Tiga tahun lalu saya ke Kefa. Saya berjumpa kembali dengan keluarga-keluarga di sana. Di Kefa, saya tinggal dua tahun," katanya.

Oleh pemerintah, akunya, mereka dijanjikan akan dibuatkan rumah.

"Tapi sampai sekarang rumah yang dijanjikan itu belum ada juga. Saya pernah baca di koran, pemerintah akan buatkan rumah buat orang-orang eks-Timtim. Tapi sampai sekarang belum ada," katanya.

Karena alasan ingin mencari penghidupan juga -- sama seperti ketika ia meninggalkan tanah kelahirannya ke Timor Timur -- setahun lalu ia datang ke Kota Kupang.

"Katanya ada kerjaan di sini. Sewaktu datang, saya ingin kerja bangunan. Tapi orang-orang tidak mau. 'Saya sudah tua', kata mereka. Akhirnya saya kerja di sini, tanam dan jual sayur," jelasnya.

Soal kenyamanan, dia akui, dirinya aman di sini. Namun ia ingin memiliki rumah, layaknya seorang warga sebuah negara.

"Karena itu yang dijanjikan pemerintah Indonesia. Bukan hanya kepada saya. Tapi kepada semua orang yang telah rela meninggalkan semua miliknya di tanah Timor Lorosae, untuk bernaung di bawah Merah Putih. Kami hanya minta, tolong perhatikan kami," katanya.

Kini, di usia senjanya, Agus Malo masih menanam sayur untuk dijual, masih tinggal di rumah yang tampak dari kejauhan seperti sebuah pondok, juga masih memberi sayur yang banyak kepada orang yang datang hanya membawa uang Rp. 5.000,00. Dari Kefa ke Timor Timur, dari Timor Leste ke Kefa, dari Kefa ke Kota Kupang. Walau tidak dibuatkan rumah oleh pemerintah 'Merah Putih', ia mengakui, ia merasa tenang, aman dan damai di sini.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Trip Selengkapnya
Lihat Trip Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun