Kuturuti ajakannya, seolah akupun adalah bagian dari rumahnya yang telah menghamba tanpa syarat. Setelah kami masuk, dan setelah dia mengunci pintu, kami lalu duduk pada sofa yang terletak di ruang tamu. Terdapat sebuah sofa yang cukup panjang, ditambah dua buah sofa lagi dengan ukuran lebih kecil, melingkari sebuah meja kaca tembus pandang. Ruang tamu itu begitu kecil untuk rumah dengan ukuran seluas ini. Kekontrasan antara ruang tamu yang begitu kecil dengan luasnya ruangan itu membuatku semakin penasaran. Jika aku tak salah lihat, pada lantainya seperti bertaburan intan-intan berwarna menyilaukan, dan banyaknya lampu-lampu yang bergantungan membuat langit-langit rumah itu begitu menawan. Pilar-pilar penyangga rumah terbuat dari batang pohon yang sangat besar dan terukir indah, dan jika itu benar-benar berbahan kayu, kemungkinan besar pasti diambil dari hati hutan Borneo ataupun Papua. Dinding rumahnya bersih bagai kapas, tanpa pajangan gambar-gambar seni ataupun pemandangan alam.
"Seperti yang kamu lihat, rumahku cukup besar. Pekerjaan menyelesaikan rumah ini cukup lama, dan banyaknya tangan-tangan orang yang menyentuh dasar sampai atap rumah ini membuat siapa saja akan terkejut. Emas-emas ini didatangkan dari Pulau Cendrawasi, dan kayu-kayu besar ini dari Borneo. Awalnya aku berencana membangun sebuah istana, seperti yang selalu diinginkan setiap manusia luar biasa, tapi pada akhirnya rumah ini berdiri sebagai monumen semata. Pada bagian belakang rumah ini, terdapat hutan yang sangat luas. Jika kamu mau, kita bisa menghabiskan malam ini dengan bercerita tentang hutan. Tapi aku rasa membahas hutan tidak akan membuatmu nyaman. Kita membahas 'rumahmu' saja."
Dia diam. Lalu lanjutnya, "Mau minum apa? Kopi? The? Kopi saja? Baik. Ina, hidangkan dua cangkir kopi!"
Selang beberapa saat, seorang perempuan cantik mendekat, langsung meletakkan dua cangkir kopi di atas meja. Segalanya terasa begitu otomatis, terlalu cepat, dan tanpa disadari. Si Menteri berkepala porno itu kembali melanjutkan, "Karena kamu sudah mengenal isi rumahku, dan supaya kamu tidak kelihatan terlalu bingung seperti orang bodoh, kuceritakan saja perjalanan membangun rumah megah ini."
Masih sepenuhnya diliputi rasa penasaran, aku hanya bisa mengangguk. Rasa lapar seolah telah pamit, lalu diganti dengan kenyamanan yang sungguh tidak kentara, karena membahas 'rumah' adalah kerinduan terpendamku selama ini. Sebagian lampu tiba-tiba dipadamkan, tinggal beberapa bola berpijar, tampak seolah tak mampu menerangi ruangan superbesar ini.
"Rumah yang indah, haruslah disentuh oleh banyak tangan. Dan rumah yang indah, haruslah dibutuhkan juga pengorbanan. Siapa saja yang berkorban itu tidak terlalu penting. Yang penting adalah rumahnya," katanya dalam setarik napas memecah keheningan.
"Aku mengenal seorang bocah bernama Tun, bocah penjual koran. Pada awal melihatnya, aku seolah melihat salah seorang dari saudara serahimku, dan padaku timbul rasa iba yang dalam. Dengan kesempatan yang ada, aku menggali setiap kisah yang melekat di matanya. Dari pertemuan itu pula, kusandingkan hidupku dengannya, mencoba menyerahkan segala imajinasi pada kehidupannya. Apa yang telah aku pelajari selama ini menghantarkanku pada sebuah gua yang dalam, yang mesti kusisiri. Dalam gua yang kusisiri itu, kutemukan diriku sebagai manusia," kalimat yang panjang itu kuucapkan seperti pada diriku sendiri.
"Membangun rumah itu pekerjaan yang mengasyikan, Gerson. Sebagian besar orang yakin bahwa membangun sebuah rumah adalah wujud nyata dari hukum semesta. Namun rumah ini, rumah yang kamu duduki sekarang ini, terbangun bukan karena hukum sialan itu. Pertemuan kita juga bukan lantaran pengaruh hukum tidak jelas itu. Oh, alangkah naifnya aku jika harus mengatakan ini padamu: rumah haruslah memiliki dasar yang kuat. Dasar yang tercampur antara zat-zat yang lembut dengan yang kasar." Si Menteri berkepala porno itu melahap kopinya. Dari caranya melahap kopi itu (yang bunyi seruputannya bisa didengar oleh orang-orang di luar rumah), terbuka kemungkinan bahwa aku bisa dengan sangat cepat meninju kepalanya.
Kulanjutkan gumamanku, "Maka kukenal dia sebagai bagian dari sari-sari rahim bunda yang mesti kunaungi. Tapi seberapa kuat aku akan membelanya? Di tanah ini, orang seperti Tun adalah hasil dari sebuah hukum semesta yang kekal. Ada penguasa dan ada budak. Hukum itu begitu kuat, nyaris menjadi dasar negeri ini. Sebagian orang tidak terlalu yakin dari hukum biadab itu. Namun apalah artinya berjuang di tanah yang payah ini? Setiap orang yang terjerumus dalam liang itu, telah dengan sendirinya memisahkan diri dari ayahnya."
Si menteri berkepala botak itu melahap lagi kopinya. Rumah besar ini begitu sunyi, menjelmakan rupa malam dengan wajah yang sungguh asing. "Gerson, aku membangun rumah ini dengan uang yang banyak. Setiap orang yang sempat melihat, bahkan sedikit saja dari keseluruhan rumah ini, harus membayangkan sesuatu yang sama seperti aku bayangkan: uang. Apalah arti sebuah rumah jika tidak ada uang? Iya kan? Maka untuk membangun sebuah rumah yang nyaman, tempat di mana anak-anakmu menghabiskan sisa hidupnya, haruslah didahului dengan 'uang'. Karena soalnya sederhana: uang bisa sekali menjawab semua kebutuhan dalam hidup."
Entah muncul dari mana, cerita tentang dongeng dan syair beberapa penyair tua kembali menghinggapiku. Maka kututurkan saja apa yang muncul di kepalaku barusan itu. "Dongeng kepada anak-anak kita tidak lagi kita dengungkan. Penyair-penyair kita harus mati di tanah yang subur ini, seolah-olah kita hidup dalam zaman yang penuh dengan keputusasaan. Anak-anakmu mestinya kamu dongengkan tentang leluhurnya, atau tentang penyair-penyair kita yang sekarang sebagian besar telah mati muda. Rumahmu yang indah ini mestilah dihiasi dengan beberapa lukisan, atau beberapa sajak dari penyair-penyair kita itu, bukan hanya menawarkan suatu aura kegersangan dalam nurani. Kecuali jika kamu ingin menjadikan anak-anakmu sebagai robot."