"Menteri?"
"Hahaha. Sudahlah. Anggap saja kita telah berkenalan cukup lama. Dan anggap saja kita sudah membuat janji pertemuan ini bertahun-tahun sebelumnya," katanya santai. Lanjutnya, "Dan aku ingin membahas satu persoalan denganmu. Harimu akan lebih menyenangkan jika kauturuti saja permintaanku ini."
Rasa lapar dalam perutku semakin menjadi. Ini di luar perencanaan. Tapi mudah-mudahan saja aku mendapatkan makanan yang enak di rumahnya. "Ke rumahmu? Sekarang?"
"Tentu saja sekarang. Aku ingin sekali memberikan beberapa alasan yang cukup kuat untuk mempertanggungjawabkan kelebihan-kelebihanku, sampai beberapa orang macam kamu merasa perlu didekati. Kamu paham maksudku, kan? Gerson, persoalan ini terasa amat penting untuk dibiarkan berlalu begitu saja."
Aku ingin sekali menampar mukanya, mengetuk kepala botaknya itu, mengambil pisau yang terletak di depan penjual itu lalu menusuk perutnya, dan ingin membunuhnya seketika. Aku ingin sekali melakukan semua itu sambil berteriak 'kau bajingan', dan menunjukan kesadisan paling sadis kepadanya. Tapi, "Baiklah."
Perjalanan inipun dimulai. Aku mengira kami akan mengendarai sebuah mobil yang mewah, atau paling tidak seorang sopir pribadi akan menjemput kami. Tapi rupanya harapan itu terlalu mewah. Kuikuti saja langkahnya. Mulut dengan bibir cukup tebal itu terkatup rapat. Beberapa saat kemudian, langkah kaki ini membawaku pada 'jalan' yang sama sekali belum pernah kulalui. Entah berapa lama kami melakukan perjalanan sunyi ini, tapi momen ini kurasakan sebagai pengembaraan paling panjang yang pernah kulakukan. Selama perjalanan, tidak terjumpa manusia-manusia, atau paling tidak sesuatu yang membuatku ingat akan sesuatu. Yang ada hanyalah dinginnya malam, semilir angin, dan lampu-lampu menerangi setiap sisi jalan. Jalan ini belum pernah sekalipun kulewati, memberiku rasa penasaran yang dalam. Ingatanku pada ramainya lorong-lorong kota ini seakan telah dihapus, begitu juga dengan suguhan malam-malam indah dari rahim kota ini seakan telah raib entah ke mana. Satu-satunya hal yang patut kusyukuri dari perjalanan sunyi yang panjang ini hanyalah bahwa aku mulai perlahan-lahan melupakan lapar dalam perutku.
Ketika telah sampai di depan gerbang rumahnya, aku terkejut bukan main. Pagar rumahnya tebuat dari emas, dan menyentuh pagar itu membuatku malu sekaligus nyaman tidak terkira. Kilauan emas itu begitu dekat di mata dan hati, sebagai 'sesuatu' yang pernah menjadi kepunyaanku. Aku berharap dengan memasuki gerbang emas itu, wajah-wajah manusia sederhana yang pernah kukenal akan menyambutku dengan sorak-sorai.
Setelah jari telunjuk si Menteri berkepala botak itu menekan bel, gerbang itu terbuka dengan sendirinya. Dengan sangat hati-hati, aku mengikuti langkahnya memasuki halaman rumahnya, dan kembali aku terpesona. Sejauh beberapa puluh meter ke depan, terbentang halaman yang sangat luas dan indah, dan pada setapak menuju pintu rumahnya, terbentang jalan yang bening bagai kaca tembus pandang. Silau di bawah kaca tembus pandang itu sungguh menakjubkan. Apakah kilauan butir-butir pada jalan yang kami tapaki itu adalah intan? Ah, betapa indahnya! Jika aku berada di dunia mimpi, inilah mimpi dengan pemandangan paling indah dan mewah yang pernah kulihat. Gabungan antara keluasan dan keindahan rumahnya ini adalah simbol dari kemakmuran, kelelakian, kesuksesan, juga kemapanan. Semuanya itu keluasan sekaligus keindahantelah berhasil menghipnotis dan menghilangkan rasa laparku.
"Aku memilki semua yang aku impikan. Ini rumahku. Dan rumah ini dibangun dengan keringat banyak orang," katanya sambil tersenyum. Aku yang mengikutinya hanya manggut-manggut saja.
Ketika kami telah sampai di depan pintu rumahnya, dengan sangat cepat dia membunyikan bel. Kembali pintu terbuka dengan sendirinya, seolah-olah seluruh bagian rumah ini telah menghamba pada keinginan si Menteri berkepala porno ini.
"Silakan masuk," katanya mempersilakan.