Mohon tunggu...
Ambrosius Emilio
Ambrosius Emilio Mohon Tunggu... Mahasiswa - Pasif

Manusia Fiksional

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Kontradiksi Kekuasaan Tertinggi Menyangkut Perppu Cipta Kerja

11 Februari 2023   14:05 Diperbarui: 11 Februari 2023   14:23 366
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Menjelang tutup tahun 2022 lalu, laiknya pesta akhir tahun, pemerintah menghadiahkan sebuah 'kado' berupa Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang No 2/2022 mengenai Cipta Kerja (Perppu Cipta Kerja) bagi masyarakatnya. Bukannya hadir laku gembira, malahan 'kado' dalam wujud Perppu tersebut memicu aneka reaksi polemis. Satu sisi dipercaya akan mendorong investasi guna mengarungi terpaan badai ekonomi di tahun ini, namun pada sisi lainnya justru menabrak Putusan Mahkamah Konstitusi No 91/PUU-XVIII/2020 yang menghendaki agar dilakukannya perbaikan pembentukan UU No 11/2020 soal Cipta Kerja (UU Cipta Kerja) melalui mekanisme pembentukan UU biasa dengan merengkuh partisipasi publik.

Selaras seperti reaksi terakhir, Putusan Mahkamah Konstitusi No 91/PUU-XVIII/2020 menginginkan supaya ruang partisipasi bagi masyarakat secara bermakna (meaningful participation) dapat mewujud mengingat pembentukan UU Cipta Kerja sendiri dinyatakan bertentangan dengan prinsip meaningful participation. Namun, 'klaim' kedaruratan sekali lalu kegentingan dalam menyongsong tahun 2023 menjadi prakondisi bagi penghadiahan 'kado' Perppu Cipta Kerja. Perihal kedaruratan maupun kegentingan itu berkenaan soal penurunan pertumbuhan ekonomi dunia beserta kenaikan inflasi.

Jadi, bila ditarik kesimpulan logisnya, 'klaim' kedaruratan sekaligus kegentingan terkait anjloknya perekonomian menjadi pengondisian atas pembatalan hukum terkhusus Putusan Mahkamah Konstitusi perihal UU Cipta Kerja. Kesimpulan logis yang merisaukan bagi sebuah 'kado' akhir tahun.

Persoalan demikian mengingatkan penulis pada sebuah kalimat di buku Homo Sacer; Sovereign Power and Bare Life: " ... the specification that the sovereign is "at the same time outside and inside the juridical order" (emphasis added) is not insignificant: the sovereign, having the legal power to suspend the validity of the law, legally places himself outside the law ... ". 

Kalimat dari buku yang dicipta oleh Giorgio Agamben di muka cukup menarik sebagai sergahan untuk penyelenggaraan negara demokratik terutama penyingkapan atas paradoks kekuasaan tertinggi. Sekalipun suatu negara menganut asas demokratis pada konstitusinya, bagi sesosok pemikir asal Italia itu, tetap saja menyimpan sebuah paradoks soal kekuasaan tertinggi menyangkut posisi ambivalennya di luar mapun di dalam hukum sehingga berimplikasi bagi pengadopsian 'keadaan darurat' sebagai bagian integral darinya.

Kendati pekikan 'keadaan darurat' acap berkumandang dengan 'klaim' konsekuensi atas kebermanfaatan 'rakyat banyak', namun perihal demikian masih mengendap sebuah pertanyaan: seberapa bermanfaatkah pengadopsian 'keadaan darurat' itu menyangkut 'rakyat banyak'? Pertanyaan ini pula yang menjadi batu uji berikutnya guna menganalisis kedaruratan dan kegentingan atas hadirnya 'kado' Perppu Cipta Kerja.   

DARI PARADOKS KEKUASAAN TERTINGGI SAMPAI STATE-OF-EXCEPTION DALAM DEMOKRASI

Demokrasi dewasa ini telah diterima secara taken for granted sebagai sebuah tatanan politik ideal seakan takkan pernah tergoyahkan. Butuh perjuangan keras serupa revolusi, reformasi, maupun people power agar tatanan yang diidam-idamkan seperti demokrasi mampu diwujudkan, sekalipun segala upaya tersebut mengorbankan darah dan air mata. Pertanyaannya, apakah demokrasi memang se-ideal itu sehingga butuh perjuangan 'ekstra' bagi perwujudannya?

Sebagai refleksi kritis lebih-lebih untuk memproblematisir demokrasi selaku tatanan nan mapan itu, penting kiranya menilik landasan teoretik atas paradoksnya. Sesosok Giorgio Agamben akan digunakan menjadi bingkai teoretik atas refleksi kritis sekali lalu pisau problematik bagi demokrasi.

Pada bagian pengantar awal bukunya berjudul Homo Sacer; Sovereign Power and Bare Life, Agamben (sekedar) menunjukkan separasi antara zoe (kondisi alamiah bak kehidupan binatang) dan bios (hidup politis) khas pemikiran dari pemikir politik era Yunani Kuno seperti Plato maupun (khususnya) Aristoteles. Paradigma zaman Yunani Kuno menyingkirkan zoe dan melihat bios sebagai 'pemberadaban' karena zoon politicon mampu melampaui kondisi alamiah menuju warga dari polis. Namun, bagi Agamben, kondisi demokrasi belakangan, telah mencampur aduk keduanya. Rezim demokratik tak jarang mendevaluasi derajat politik warga negara (bios politikos) mendekati zoe. Warga negara mengalami laku pembinatangan menuju bare-life, hidup telanjang. Ia yang dilucuti persoalan politiknya (bios politikos) itu disebut sebagai Homo Sacer, sekalipun tetap dibilang manusia (Homo) tetapi ia dilepaskan dari perihal politik warga negara.

Memasuki bab pertama bukunya, Agamben menelaah lebih jauh soal logika kekuasaan tertinggi. Menjadi keumuman bilamana negara demokratik menerapkan sistem separasi kekuasaan antara eksekutif, legislatif, dan yudikatif (trias politica). Hal demikian bermaksud agar di antaranya saling mengawasi (checks and balances) guna mencapai kesetimbangan dalam kekuasaan. Bahkan, iklim demokrasi belakangan sedikit demi sedikit telah meluruhkan kerelevanan trias politica. Dengan hadirnya lembaga negara independen misalnya menjadi titik kesetimbangan baru guna menginterupsi trias politica. Akan tetapi, bagi Agamben persoalannya tak seharmonis itu.

Supremasi kekuasaan eksekutif sebagai wujud atas terma kekuasaan tertinggi senyatanya telah mendominasi. Pada logikanya terdapat sebuah paradoks di mana kekuasaan tertinggi memiliki kenyataan bahwa penguasa tertinggi sekaligus berada di luar dan di dalam tatanan yuridis. Penguasa tertinggi diberi oleh tatanan yuridis untuk penetapan keadaan eksepsi karenanya ia memiliki kekuasaan bagi pembatalan validitas tatanan yuridis itu. Ia berada di dalam tatanan yuridis karena memiliki kekuasaan hukum untuk berada di luar hukum guna membatalkan validitas hukum.

Olehnya kekuasaan tertinggi secara imanen mengandung dua hal: potestas (kekuasaan konstitutif) dan auctoritas (otoritas). Potestas berhubungan pada kekuasaan dalam hukum, seperti kekuasaan eksekutif yang terberi oleh aturan hukum. Sementara, auctoritas terkait perihal beyond-the-law. 

Karena penguasa tertinggi diberi kekuasaan hukum untuk berada di luar hukum bagi penetapan eksepsi maka memungkinkan atas evaluasi empiris dari penguasa tertinggi beserta paradoksnya guna mensituasikan keadaan pengecualian (state-of-exception). Keadaan pengecualian erat kaitannya dengan situasi di mana penguasa tertinggi mencerabut hak politik warga negara. Inilah yang kemudian melahirkan subjek Homo Sacer. 

Menjadi hal menarik bilamana Agamben melihat demokrasi bukan dari keadaan romantis kedaulatan rakyat, kesetaraan hukum, serta klaim lain perihal kekuasaan dari, untuk, dan oleh rakyat, melainkan sebagai eksklusi dan supremasi kekuasaan tertinggi yang melampaui hukum.

Kritik Agamben naik secara tajam dan radikal dikarenakan melihat demokrasi sebagai evil, alih-alih lesser-evil. Daripadanya kemudian bukan tak mungkin ia terjatuh pada nihilisme atas tatanan. Pertanyaannya, bilamana demokrasi sebagai tatanan politik dikatakan sebagai evil lalu bagaimana tatanan politik lainnya seperti monarki maupun aristokrasi? Bukannya demokrasi masih memiliki sisi progresif dan radikalnya seperti yang dikemukakan oleh Ranciere, Laclau, Mouffe, maupun Lefort? Kendati demikian, pandangan Agamben dapat mengingatkan kita untuk mengevaluasi terus praktik demokrasi dikarenakan telah mengendap perihal pengeksklusian beserta kekuasaan tertinggi yang melampaui hukum.

MENILIK PARADOKS KEKUASAAN TERTINGGI SAMPAI STATE-OF-EXCEPTION PERIHAL PERPPU CIPTA KERJA

Terus mengevaluasi praktik demokrasi serta mengurai endapan paradoksnya, dalam posisi itulah penulis menerima tesis Agamben atas demokrasi sekaligus menjadi bingkai teoretik guna mengulas fenomen sosial-politik-hukum belakangan, yakni perihal Perppu Cipta Kerja.

Bermula dari putusan uji formil UU Cipta Kerja. Mahkamah Konstitusi memutus UU Cipta Kerja inkonstitusional bersyarat dengan implikasi lanjutan bagi keharusan penguasa tertinggi untuk memperbaiki substansinya dalam jangka waktu paling lama dua tahun sekaligus perlu adanya partisipasi publik yang bermakna. Guna menjawab hal tersebut, penguasa tertinggi belakangan telah mengeluarkan Perppu Cipta Kerja. Diterbitkannya Perppu Cipta Kerja pada dirinya menjadi tanda atas 'pelampauan' (dengan penganuliran) putusan MK.

Perppu Cipta Kerja sendiri ibarat super-omnibus law, ia menjadi pengondisian atas (potensialitas) legitimasi UU Cipta Kerja (omnibus law) dengan segala cakupan luasnya kendati pada dirinya 'melampaui' (melalui penganuliran) putusan MK.

Putusan MK menegaskan bahwa proses pembentukan UU Cipta Kerja yang diputus inkonstitusional bersyarat harus dilakukan sejak awal seperti pembuatan UU biasa. Dari situ memiliki implikasi agar hadirnya partisipasi publik bermakna selaiknya penetapan produk hukum lain dengan berdasarkan partisipasi publik bermakna yang tak hadir pada pembentukan UU Cipta Kerja. Kendati harus diakui pula terdapat upaya penyiapan naskah akademik beserta sosialisasi di beberapa kota, namun itu semua luluh lantak dengan terbitnya Perppu Cipta Kerja secara mendadak. Soal ini pada dirinya menganulir status inkonstitusional bersyarat dari UU Cipta Kerja.

Penerbitan Perppu sebenarnya merupakan hak dari penguasa tertinggi, dalam konteks ini ialah presiden sekaligus sebagai wujud eksekutif, terkait hal ihwal kegentingan memaksa. Perihal 'kegentingan memaksa' merupakan penilaian subjektif presiden. Landasan konstitusional atasnya termaktub di Pasal 22 Ayat (1): "Dalam hal ihwal kegentingan yang memaksa, presiden berhak menetapkan peraturan pemerintah sebagai pengganti undang-undang".

Dari hal demikian kita dapat melihat sebuah paradoks dari kekuasaan tertinggi lewat penguasa tertinggi melalui konkretisasi eksekutif, lebih-lebih presiden. Perkataan bahwa penguasa tertinggi berada di dalam tatanan yuridis karena memiliki kekuasaan hukum untuk berada di luar hukum guna membatalkan validitas hukum mewujud dalam konteks ini. Presiden selaku eksekutif diberikan kekuasaan hukum di dalam konstitusi dengan menerbitkan Perppu Cipta Kerja untuk berada (pada dirinya) 'melampaui' putusan MK, sebagai landasan bagi putusan inkonstitusional bersyarat UU Cipta Kerja atas konstitusi, guna membatalkannya. Padahal, konstitusi juga menjelaskan bahwa putusan MK bersifat final dan mengikat. Oleh karenanya, kekuasaan eksekutif lebih-lebih presiden berada sekaligus di dalam dan di luar hukum.

Pada dirinya penganuliran status inkonstitusional bersyarat UU Cipta Kerja berangkat dari evaluasi empiris kondisi perekonomian yang kemudian mensituasikan 'keadaan pengecualian' atas (pada dirinya) 'pelampauan' putusan MK itu. 'Keadaan pengecualian' berimbas pada pekikan 'keadaan darurat' sehingga atas nama 'keadaan darurat' tersebut Perppu Cipta Kerja, walaupun mendadak dan meniadakan partisipasi yang bermakna, tetap ditetapkan di atas paradoks kekuasaan tertinggi.

"Awan gelap" ekonomi global menjadi pensituasian atas pekikan 'keadaan darurat' sehingga Perppu Cipta Kerja acap mendapatkan 'klaim' untuk kebermanfaatan 'rakyat banyak'. Namun, sekalipun akan tetap terpengaruh tetapi "awan gelap" ekonomi itu tak serta merta menghasilkan dampak seburuk negara-negara berorientasi ekspor. Sebab Indonesia diuntungkan karena kurang terintegrasinya pada ekonomi global. Malahan tensi geopolitik dari Konflik Rusia-Ukraina akan berakibat pada melonjaknya harga batu bara.

Secara substansial pula Perppu Cipta Kerja masih menerapkan pasal problematis dari UU Cipta Kerja seperti pemberian fasilitas royalti nol persen untuk perusahaan yang menjalankan hilirisasi batu bara. Bukan tak mungkin apabila para oligark batu bara sangat amat diuntungkan.

Menjadi pekerjaan rumah lebih-lebih persoalan juga apabila konsep trickle down effect yang ditawarkan oleh UU Cipta Kerja (kini Perppu Cipta Kerja) melalui konkretisasi berupa deregulasi guna kemudahan berusaha demi investasi tak seiring sejalan dengan penciptaan lapangan pekerjaan. Saat ini investasi yang masuk mayoritas masih bersifat padat modal serta penyerapannya di sektor formal kian tergerus.

Selain itu, berkenaan dengan wilayah perairan pada Perppu Cipta Kerja ternyata tak memberi kebermanfaatan bagi kedaulatan pemanfaatan sumber daya perairan. Perizinan berusaha dalam Perppu Cipta Kerja menggantikan ketentuan izin usaha perikanan (SIUP), izin penangkapan ikan (SIPI), dan izin kapal pengangkut ikan (SIPI). Selaras dengannya memperbolehkan kapal ikan asing untuk menangkap ikan di Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia (ZEEI). Lebih khusus lagi dengan dihapuskannya pasal 35A ayat (2) UU Perikanan memberikan konsekuensi terhadap hilangnya peraturan bagi kewajiban kapal asing yang menangkap ikan di ZEEI untuk mempekerjakan 70 persen anak buah kapal (ABK) dari Warga Negara Indonesia.

Bahkan, sebelum menyeruaknya Perppu Cipta Kerja nampaknya penguasa tertinggi telah terlebih dahulu melakukan 'pelampauan' atas putusan MK menyangkut UU Cipta Kerja. Tertanggal 30 Desember 2021 lalu, beredar Perpres No 113 Tahun 2021 tentang Struktur dan Penyelenggaraan Badan Bank Tanah sebagai aturan pelaksana UU Cipta Kerja. Perpres tersebut telah ditetapkan dan berlaku pada 27 Desember 2021. Berarti ia terbit setelah putusan MK diucapkan pada 25 November 2021 yang artinya penerbitan perpres itu 'melampaui' (lebih-lebih melanggar) Amar Putusan butir 7 di antaranya memerintahkan untuk tak menerbitkan peraturan pelaksana baru berkaitan dengan UU Cipta Kerja.

Bilamana paradoks kekuasaan tertinggi maupun state-of-exception melalui pekikan 'keadaan darurat' mudah disingkapkan perihal Perppu Cipta Kerja seperti pemaparan di muka, lain halnya dengan subjek Homo Sacer yang menurut hemat penulis masih problematis bila dikontekstualisasikan dengan Perppu Cipta Kerja.

Apabila pensituasian state-of-exception kemudian me-Homo Sacer-kan subjek warga negara, perihal Perppu Cipta Kerja persoalannya tak sesederhana itu. Istilah Homo Sacer 'par excellence' diambil Agamben dari tradisi hukum Romawi di mana lekat dengan sacred man, manusia suci. Ia dikatakan sacred karena telah ditanggalkan hak-hak politik sebagai warga negara. Sekalipun lepas dari perlindungan hukum, atas status sacred itu, justru ia tak boleh dikurbankan untuk kepentingan religius apapun.

Oleh karenanya subjek Homo Sacer 'par excellence' sepenuh-penuhnya dieksklusi dalam tatanan politik dan dilucuti menjadi manusia telanjang sekaligus dihempaskan menuju kondisi alamiahnya. Contoh darinya dapat dikemukakan misalnya seperti para pengungsi di Rudenim. Mereka tak boleh bekerja, tak boleh terlibat kegiatan politik, hingga makan-minum dan tidur berdasar jatah dari si penampung. Sementara dalam konteks Indonesia, Homo Sacer 'par excellence' sekurang-kurangnya mewujud melalui jemaat Islam minoritas Ahmadiyah. Kendati diakui secara hukum tetapi mereka yang melanggar hak-hak dari jemaat Islam minoritas Ahmadiyah kebal dari sanksi hukum.

Soal Homo Sacer 'par excellence' dalam beberapa konteks tak serta merta hadir pasca pensituasian state-of-exception melalui pekikan 'keadaan darurat' yang bertumpu pada paradoks kekuasaan tertinggi menyangkut Perppu Cipta Kerja. Bisa saja sebenarnya Homo Sacer muncul dari Perppu Cipta Kerja itu tetapi sifatnya, pada keadaan tertentu, hanya kontekstual berkenaan dengan kebijakan Perppu Cipta Kerja saja. 

Homo Sacer perihal ini menyangkut pembatalan bagi hak politik warga negara dalam partisipasi bermakna menginterupsi kebijakan UU Cipta Kerja yang inkonstitusional bersyarat tersebut. Tetapi dalam kehidupan politiknya yang lain, kendati (hanya) saat itu telah dilucuti hak politiknya dan dirugikan akibat kebijakan Perppu Cipta Kerja, warga negara yang terimbas Perppu Cipta Kerja tetap netral dari eksklusi sepenuhnya.

Sebut saja buruh. Walaupun mereka di-Homo Sacer-kan oleh Perppu Cipta Kerja, tetapi hak politik mereka tak hilang begitu saja. Partai Buruh masih berdiri tegak menyongsong Pemilu 2024 sekaligus serikat-serikat buruh lain, dari yang-radikal sampai yang-pragmatis, masih bertebaran. Mereka bukan Homo Sacer 'par excellence' melainkan Homo Sacer yang dikontekstualisasikan oleh situasi partikular tertentu.

Belum lagi 'bola panas' yang dioper ke DPR untuk menyetujui dan menolak Perppu Cipta Kerja, kendati menurut pemerintah pengimplementasian Perppu Cipta Kerja tak menunggu proses politik di DPR. Namun, tentunya segala potensia maupun impotensia dapat hadir di sana. Tetapi, kita bisa belajar dari pengalaman saat DPR menarik Aswanto selaku hakim konstitusi terkait putusan uji materi UU Cipta Kerja. Dari situ potensia bagi disetujuinya Perppu dapat dikatakan lebih besar ketimbang potensia menolak maupun impotensia menyetujui.

Kompleksitas politik riil seperti di muka memperlihatkan bahwasanya sekalipun state-of-exception beserta 'keadaan darurat' dikumandangan di atas paradoks kekuasaan tertinggi tak serta merta memunculkan Homo Sacer 'par excellence' (sepenuh-penuhnya tercerabut dari hal politik warga negara), melainkan dapat pula menghadirkan subjek Homo Sacer secara kontekstual dalam situasi partikular.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun