Dari hal demikian kita dapat melihat sebuah paradoks dari kekuasaan tertinggi lewat penguasa tertinggi melalui konkretisasi eksekutif, lebih-lebih presiden. Perkataan bahwa penguasa tertinggi berada di dalam tatanan yuridis karena memiliki kekuasaan hukum untuk berada di luar hukum guna membatalkan validitas hukum mewujud dalam konteks ini. Presiden selaku eksekutif diberikan kekuasaan hukum di dalam konstitusi dengan menerbitkan Perppu Cipta Kerja untuk berada (pada dirinya) 'melampaui' putusan MK, sebagai landasan bagi putusan inkonstitusional bersyarat UU Cipta Kerja atas konstitusi, guna membatalkannya. Padahal, konstitusi juga menjelaskan bahwa putusan MK bersifat final dan mengikat. Oleh karenanya, kekuasaan eksekutif lebih-lebih presiden berada sekaligus di dalam dan di luar hukum.
Pada dirinya penganuliran status inkonstitusional bersyarat UU Cipta Kerja berangkat dari evaluasi empiris kondisi perekonomian yang kemudian mensituasikan 'keadaan pengecualian' atas (pada dirinya) 'pelampauan' putusan MK itu. 'Keadaan pengecualian' berimbas pada pekikan 'keadaan darurat' sehingga atas nama 'keadaan darurat' tersebut Perppu Cipta Kerja, walaupun mendadak dan meniadakan partisipasi yang bermakna, tetap ditetapkan di atas paradoks kekuasaan tertinggi.
"Awan gelap" ekonomi global menjadi pensituasian atas pekikan 'keadaan darurat' sehingga Perppu Cipta Kerja acap mendapatkan 'klaim' untuk kebermanfaatan 'rakyat banyak'. Namun, sekalipun akan tetap terpengaruh tetapi "awan gelap" ekonomi itu tak serta merta menghasilkan dampak seburuk negara-negara berorientasi ekspor. Sebab Indonesia diuntungkan karena kurang terintegrasinya pada ekonomi global. Malahan tensi geopolitik dari Konflik Rusia-Ukraina akan berakibat pada melonjaknya harga batu bara.
Secara substansial pula Perppu Cipta Kerja masih menerapkan pasal problematis dari UU Cipta Kerja seperti pemberian fasilitas royalti nol persen untuk perusahaan yang menjalankan hilirisasi batu bara. Bukan tak mungkin apabila para oligark batu bara sangat amat diuntungkan.
Menjadi pekerjaan rumah lebih-lebih persoalan juga apabila konsep trickle down effect yang ditawarkan oleh UU Cipta Kerja (kini Perppu Cipta Kerja) melalui konkretisasi berupa deregulasi guna kemudahan berusaha demi investasi tak seiring sejalan dengan penciptaan lapangan pekerjaan. Saat ini investasi yang masuk mayoritas masih bersifat padat modal serta penyerapannya di sektor formal kian tergerus.
Selain itu, berkenaan dengan wilayah perairan pada Perppu Cipta Kerja ternyata tak memberi kebermanfaatan bagi kedaulatan pemanfaatan sumber daya perairan. Perizinan berusaha dalam Perppu Cipta Kerja menggantikan ketentuan izin usaha perikanan (SIUP), izin penangkapan ikan (SIPI), dan izin kapal pengangkut ikan (SIPI). Selaras dengannya memperbolehkan kapal ikan asing untuk menangkap ikan di Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia (ZEEI). Lebih khusus lagi dengan dihapuskannya pasal 35A ayat (2) UU Perikanan memberikan konsekuensi terhadap hilangnya peraturan bagi kewajiban kapal asing yang menangkap ikan di ZEEI untuk mempekerjakan 70 persen anak buah kapal (ABK) dari Warga Negara Indonesia.
Bahkan, sebelum menyeruaknya Perppu Cipta Kerja nampaknya penguasa tertinggi telah terlebih dahulu melakukan 'pelampauan' atas putusan MK menyangkut UU Cipta Kerja. Tertanggal 30 Desember 2021 lalu, beredar Perpres No 113 Tahun 2021 tentang Struktur dan Penyelenggaraan Badan Bank Tanah sebagai aturan pelaksana UU Cipta Kerja. Perpres tersebut telah ditetapkan dan berlaku pada 27 Desember 2021. Berarti ia terbit setelah putusan MK diucapkan pada 25 November 2021 yang artinya penerbitan perpres itu 'melampaui' (lebih-lebih melanggar) Amar Putusan butir 7 di antaranya memerintahkan untuk tak menerbitkan peraturan pelaksana baru berkaitan dengan UU Cipta Kerja.
Bilamana paradoks kekuasaan tertinggi maupun state-of-exception melalui pekikan 'keadaan darurat' mudah disingkapkan perihal Perppu Cipta Kerja seperti pemaparan di muka, lain halnya dengan subjek Homo Sacer yang menurut hemat penulis masih problematis bila dikontekstualisasikan dengan Perppu Cipta Kerja.
Apabila pensituasian state-of-exception kemudian me-Homo Sacer-kan subjek warga negara, perihal Perppu Cipta Kerja persoalannya tak sesederhana itu. Istilah Homo Sacer 'par excellence' diambil Agamben dari tradisi hukum Romawi di mana lekat dengan sacred man, manusia suci. Ia dikatakan sacred karena telah ditanggalkan hak-hak politik sebagai warga negara. Sekalipun lepas dari perlindungan hukum, atas status sacred itu, justru ia tak boleh dikurbankan untuk kepentingan religius apapun.
Oleh karenanya subjek Homo Sacer 'par excellence'Â sepenuh-penuhnya dieksklusi dalam tatanan politik dan dilucuti menjadi manusia telanjang sekaligus dihempaskan menuju kondisi alamiahnya. Contoh darinya dapat dikemukakan misalnya seperti para pengungsi di Rudenim. Mereka tak boleh bekerja, tak boleh terlibat kegiatan politik, hingga makan-minum dan tidur berdasar jatah dari si penampung. Sementara dalam konteks Indonesia, Homo Sacer 'par excellence' sekurang-kurangnya mewujud melalui jemaat Islam minoritas Ahmadiyah. Kendati diakui secara hukum tetapi mereka yang melanggar hak-hak dari jemaat Islam minoritas Ahmadiyah kebal dari sanksi hukum.
Soal Homo Sacer 'par excellence' dalam beberapa konteks tak serta merta hadir pasca pensituasian state-of-exception melalui pekikan 'keadaan darurat' yang bertumpu pada paradoks kekuasaan tertinggi menyangkut Perppu Cipta Kerja. Bisa saja sebenarnya Homo Sacer muncul dari Perppu Cipta Kerja itu tetapi sifatnya, pada keadaan tertentu, hanya kontekstual berkenaan dengan kebijakan Perppu Cipta Kerja saja.Â