Bisa dibayang pada akhirnya banyak brand berlomba-lomba mengangkat isu-isu yang hangat di masyarakat seperti sosial, lingkungan, dan politik. Jika sudah begini, lalu bagaimana sebenarnya konsumen melihat produk itu sendiri di luar value yang sengaja diangkat oleh sebuah brand?
Mana yang Lebih Penting: Produk atau Konsumen?
Pertanyaan ini akan selalu menjadi pertanyaan menjebak. Bagaimana mungkin sebuah brand menjual produk yang kualitasnya setengah-setengah? Di sisi lain, apa alasannya sebuah brand menjual produk yang kemungkinan kecil bisa diterima oleh konsumen? Keduanya memang saling bergantung, tetapi pendekatan konsumen terlihat sedikit lebih unggul karena yang diharapkan konsumen adalah ada solusi atas masalah yang mereka alami.
Ranjay Gulati menjelaskan di dalam publikasinya bahwa perusahaan yang menggunakan pendekatan customer-centric menempatkan konsumen sebagai prioritas dan mereka memperkuat hal tersebut ke dalam bentuk-bentuk nilai perusahaan seperti budaya, struktur kekuasaan, metrik, dan insentif yang menghargai perilaku berfokus pada pelanggan serta berorientasi pada solusi.Â
Mindset yang dibangun adalah fokus terhadap apa yang bisa diberikan kepada konsumen dan berharap solusi tersebut bisa memecahkan masalah konsumen dengan produk yang ditawarkan.
Best Buy adalah salah satu contoh perusahaan yang customer-centric. Mereka mendapati banyak sekali kelompok pelanggan (dalam kasus ini mereka yang masuk kategori "Busy Mom") pergi meninggalkan toko tanpa membeli apapun.Â
Akhirnya mereka membuat identifikasi terhadap lima segmen konsumen terbesar yang paling menghasilkan; anak muda/orang dewasa penggemar teknologi, orang sibuk dan profesional, pria berkeluarga, ibu-ibu sub-urban, dan konsumen bisnis kecil.Â
Dari sini Best Buy menyesuaikan toko masing-masing daerah sesuai dengan karakteristik segmen tersebut seperti pelayanan ekstra dan layout toko yang aman bagi anak-anak untuk segmen ibu-ibu sub-urban, ruangan khusus dengan sistem home theater untuk segmen penggemar teknologi, dan lainnya. Hal tersebut berpengaruh terhadap kinerja keuangan perusahaan.
Berbeda dengan customer-centric, product-centric secara spesifik lebih berorientasi pada bagaimana produk tersebut baik secara fungsi atau profitable.Â
Gulati menemukan bahwa banyak perusahaan yang product-centric mengawalinya dengan berfokus pada konsumen dan ketika mampu meraih kesuksesan di awal, perusahaan akhirnya memusatkan konsentrasinya untuk menciptakan produk yang bagus secara umum karena merasa produknya mampu diterima pasar. Lalu produknya menjadi lumrah, biasa saja, dan tidak lagi relevan.
Kasus Nokia mungkin bisa dikaitkan dengan fenomena product-centric. Di tahun 2007, Nokia adalah penyedia telepon seluler yang berkuasa dengan pangsa pasar global sekitar 50%.Â