Mohon tunggu...
CJ Amary Kumang
CJ Amary Kumang Mohon Tunggu... Lainnya - Sedang belajar menulis

Masih bergulat dengan pertanyaan tidak penting

Selanjutnya

Tutup

Money Pilihan

Brand Activism dan Customer-Centric

7 Februari 2022   15:24 Diperbarui: 7 Februari 2022   15:29 1546
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Activism. Sumber Ilustrasi: Unsplash.com/@claybanks

Sepertinya sangatlah masuk akal jika tahun 2020 dilabeli sebagai tahun yang merubah banyak hal di dunia. Perilaku masyarakat benar-benar berubah secara mendadak. 

Selain karena terbatasnya interaksi kita dalam beraktivitas guna mengantisipasi menyebarnya Covid-19, tahun 2020 juga menjadi waktu di mana masyarakat (untuk beberapa hal) justru berharap banyak jauh lebih besar kepada sebuah brand untuk menyelesaikan masalah yang lebih kompleks. Ini adalah tahun di mana brand activism menjadi sangat populer dan begitu menyedot atensi.

Saat ini kita mudah menjumpai kampanye sosial yang dilakukan oleh sebuah brand terhadap isu-isu yang tergolong sensitif di media sosial. Media sosial sebagai platform yang bisa menjangkau siapa saja ternyata benar-benar menjadi media yang efektif. 

Mereka tidak lagi ragu untuk lantang menyuarakan keresahan yang mungkin sebenarnya juga dirasakan oleh konsumen dan masyarakat yang secara tidak sadar ingin diwakilkan atau yang memilih untuk menjadi silent majority.

Kesuksesan sebuah brand dalam mengangkat isu ternyata juga berdampak kepada ekspektasi konsumen dalam penyelesaian sebuah masalah. Hasil tingkat kepercayaan yang dirilis Edelman (lembaga riset global tentang merek dan reputasi) menyatakan bahwa masyarakat jauh lebih percaya bahwa brand bisa berbuat lebih banyak dibandingkan yang dilakukan oleh pemerintah. Dari konteks pemasaran, hal ini tentu semakin meningkatkan nama baik sebuah brand dan nama baik tentu akan meningkatkan loyalitas.

Kenapa fenomena brand activism tersebut bisa terjadi? Selain karena adanya kedekatan emosional antara konsumen dan isu yang diangkat, percaya atau tidak, hari ini, konsumen justru jauh lebih powerful daripada penjual. 

Dengan bantuan internet, mereka memiliki begitu banyak pilihan dan kemampuan untuk mengedukasi diri dan memilih apa yang menurut mereka cocok. 

Saat ini, produk bukan hanya sekadar fungsinya, tapi pengalaman (pra pembelian, pemakaian, pasca pembelian) bahkan value (seperti isu yang dikampanyekan brand).

Konsumen saat ini cenderung memilih berdasarkan "keyakinan/belief" akan sebuah "nilai/value" yang ditawarkan sebuah brand dan tidak lagi hanya melihat dari fungsi dasar produk. 

Hasil temuan dari Edelman pada tahun 2018 mengungkapkan bahwa 64% konsumen di seluruh dunia saat ini membeli/memboikot sebuah produk karena keyakinan akan nilai. 

Pada akhirnya, konsumen yang menentukan sendiri apakah dirinya seorang 'loyalis' sebuah produk atau sebaiknya menyebrang ke produk lain. Temuan lainnya mengungkapkan bahwa konsumen cenderung menunjukkan niat membeli setelah melihat komunikasi yang berorientasi pada nilai (43%). 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun