Mohon tunggu...
Amar Alfian
Amar Alfian Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa Pasaman Barat

Amor Fati Fatum Brutum

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Manusia dan Kekuasaan dalam Arus Sejarah

13 Agustus 2024   16:46 Diperbarui: 13 Agustus 2024   16:47 102
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

Pendahuluan

Kekuasaan adalah konsep yang tak terpisahkan dari eksistensi manusia dan sejarah peradaban. Sejak zaman purba hingga era modern, manusia selalu berusaha menguasai sumber daya, ruang, dan manusia lain sebagai bagian dari upaya mempertahankan hidup dan mewujudkan keinginan. Kekuasaan, dalam berbagai manifestasinya, menjadi elemen utama yang menggerakkan sejarah, menentukan alur peristiwa, dan membentuk struktur sosial.

Namun, kekuasaan tidak hanya merupakan alat untuk mencapai tujuan pribadi atau kelompok, tetapi juga menjadi medan perjuangan di mana berbagai kepentingan bersaing dan berkonflik. Dari sini muncul siklus kekuasaan, di mana entitas yang berkuasa mengalami naik-turun, digantikan oleh kekuatan baru yang lebih dominan. Fenomena ini terus berulang dalam sejarah, menciptakan pola perputaran kekuasaan yang seakan abadi.

Selain itu, sejarah memiliki kecenderungan untuk ditulis oleh pemenang. Mereka yang berhasil memenangkan konflik, mempertahankan kekuasaan, atau merebut kendali sering kali memiliki hak prerogatif untuk menulis ulang sejarah sesuai dengan kepentingan mereka. Hal ini membawa kita pada diskusi tentang sejarah sebagai alat politik, di mana penguasa menggunakan narasi sejarah untuk melegitimasi kekuasaannya, memanipulasi persepsi publik, dan mengkonstruksi identitas nasional.

Pada artikel ini penulis akan membahas hubungan antara manusia dan kekuasaan, siklus kekuasaan dalam sejarah, fenomena sejarah yang ditulis oleh pemenang, serta penggunaan sejarah sebagai alat politik. Selain itu, akan diulas relevansi konsep-konsep tersebut terhadap kondisi Indonesia saat ini, memberikan wawasan tentang bagaimana kekuasaan dan sejarah saling berinteraksi dalam konteks kontemporer.

Manusia dan Kekuasaan: Dasar Penggerak Sejarah

Kekuasaan merupakan salah satu naluri dasar manusia yang telah ada sejak awal peradaban. Dalam konteks sosial dan politik, kekuasaan tidak hanya berarti dominasi atau pengendalian fisik, tetapi juga mencakup pengaruh yang dimiliki seseorang atau sekelompok orang atas yang lain. Kekuasaan dapat berwujud dalam bentuk kekuasaan politik, ekonomi, budaya, maupun ideologis.

Filsuf Prancis, Michel Foucault, menjelaskan bahwa kekuasaan tidak hanya terletak pada institusi seperti negara atau militer, tetapi menyebar di seluruh masyarakat, mengalir melalui setiap hubungan sosial. Menurut Foucault, kekuasaan bersifat relasional dan dinamis, selalu berubah dan diperebutkan. Kekuasaan juga bukan sekadar represif, tetapi produktif, dalam arti bahwa ia membentuk norma, pengetahuan, dan kebenaran yang mendominasi masyarakat.

Dalam sejarah, kekuasaan sering kali menjadi motivator utama di balik berbagai peristiwa penting. Contohnya, penaklukan, penjajahan, dan perang biasanya didorong oleh keinginan untuk menguasai wilayah, sumber daya, atau memaksakan ideologi tertentu. Namun, kekuasaan juga memainkan peran penting dalam proses pembangunan, reformasi sosial, dan pencapaian kemajuan manusia.

Di Indonesia, sejarah perjuangan merebut kemerdekaan dari penjajahan Belanda dan Jepang adalah contoh nyata bagaimana kekuasaan menjadi pendorong perubahan besar. Selama masa penjajahan, kekuasaan berada di tangan pemerintah kolonial yang mengendalikan sumber daya dan kehidupan rakyat Indonesia. Perjuangan kemerdekaan yang dipimpin oleh para tokoh nasional republik ini seperti Soekarno dan Hatta adalah upaya untuk merebut kembali kekuasaan tersebut dan memulihkan kedaulatan bangsa.

Siklus Kekuasaan dalam Gerak Sejarah

Siklus kekuasaan terdiri atas beberapa fase yang mencerminkan bagaimana kekuasaan berkembang, stabil, dan akhirnya menurun. Penulis akan menjelaskan secara singkat analisis dari siklus ini, hal ini bertujuan untuk membantu kita memahami bagaimana kekuasaan beroperasi dalam konteks sejarah:

Fase Kenaikan: Pada fase ini, kekuasaan biasanya dimulai dengan inovasi, konsolidasi, atau keunggulan dalam bidang tertentu. Contohnya adalah kebangkitan Kekaisaran Romawi yang didorong oleh inovasi militernya dan strategi ekspansi wilayah. Dalam konteks modern, fase kenaikan dapat terlihat dalam pertumbuhan perusahaan teknologi besar yang merubah lanskap ekonomi global.

Fase Puncak: Kekuasaan mencapai titik maksimalnya pada fase puncak. Struktur kekuasaan tampak stabil dan terorganisir, memungkinkan kekuatan untuk mendominasi secara luas. Misalnya, pada puncak Kekaisaran Ottoman, administrasi yang efisien dan kekuatan militer yang tangguh memungkinkan kontrol yang luas di Timur Tengah dan Eropa Tenggara.

Fase Kejatuhan: Fase ini menandakan penurunan kekuasaan akibat faktor internal dan eksternal. Kelemahan struktural, korupsi, ketidakmampuan beradaptasi dengan perubahan zaman, atau tekanan eksternal sering menjadi pemicu kejatuhan. Contohnya, kejatuhan kekaisaran-kekaisaran besar seperti  Romawi, Bizantium, atau Ottoman mereka runtuh karena kombinasi dari korupsi internal, serangan eksternal, dan perubahan sosial-ekonomi.

Sejarah dipenuhi dengan siklus kekuasaan di mana penguasa lama jatuh dan digantikan oleh kekuatan baru. Siklus ini mencerminkan dinamika yang kompleks di mana kekuasaan jarang bersifat permanen, tetapi selalu rentan terhadap perubahan akibat faktor internal dan eksternal.

Kekaisaran besar seperti Romawi, Bizantium, atau Ottoman pernah menjadi pusat kekuasaan dunia, tetapi pada akhirnya mereka runtuh karena kombinasi dari korupsi internal, serangan eksternal, dan perubahan sosial-ekonomi. Siklus kekuasaan ini menunjukkan bahwa tidak ada kekuasaan yang abadi; setiap puncak kejayaan selalu diikuti oleh kemunduran dan kejatuhan.

Di Indonesia, kita dapat melihat siklus kekuasaan dalam berbagai periode sejarah. Kerajaan Majapahit, yang pernah menjadi salah satu kerajaan terbesar di Asia Tenggara, akhirnya runtuh karena konflik internal dan tekanan dari kekuatan luar. Demikian juga, setelah kemerdekaan, Indonesia mengalami beberapa kali peralihan kekuasaan yang signifikan, seperti dari Orde Lama ke Orde Baru, dan kemudian dari Orde Baru ke era Reformasi.

Perubahan kekuasaan ini sering kali disertai dengan pergeseran dalam kebijakan, struktur sosial, dan orientasi ideologis negara. Misalnya, transisi dari Orde Lama ke Orde Baru membawa perubahan drastis dalam politik ekonomi dan kebijakan pembangunan. Pada masa Orde Lama, di bawah kepemimpinan Soekarno, Indonesia cenderung berorientasi pada sosialisme dan anti-imperialisme. Namun, ketika Soeharto mengambil alih kekuasaan, Indonesia bergeser ke arah kapitalisme yang lebih pragmatis dan membuka diri terhadap investasi asing.

Sejarah Ditulis oleh Pemenang

Pembaca yang budiman mungkin pernah mendengar ungkapan "sejarah ditulis oleh pemenang" bukan?, ungkapan ini mencerminkan kenyataan bahwa mereka yang memegang kekuasaan memiliki kendali atas narasi sejarah. Pemenang dalam konflik, revolusi, atau perang tidak hanya merebut kendali atas sumber daya fisik tetapi juga kontrol atas narasi yang membentuk pemahaman masyarakat tentang peristiwa yang terjadi.

Ketika pemenang menulis sejarah, mereka cenderung menyoroti pencapaian mereka, menghilangkan atau meremehkan kesalahan mereka, dan sering kali menghapus kontribusi dari pihak-pihak yang dikalahkan. Ini menciptakan bias yang mendalam dalam catatan sejarah, di mana kebenaran yang kompleks dan multi-faceted sering kali disederhanakan atau diubah untuk melayani kepentingan penguasa.

Di Indonesia, dalam sejarah nasional di republik ini sering kali difokuskan pada narasi-narasi besar yang mendukung integrasi dan pembangunan negara, sementara narasi yang bertentangan atau mengancam stabilitas sering kali diabaikan atau diredam. Misalnya, peristiwa Gerakan 30 September 1965 dan penumpasan terhadap Partai Komunis Indonesia (PKI) diatur sedemikian rupa dalam narasi resmi yang menonjolkan peran militer sebagai penyelamat bangsa, sementara penderitaan para korban salah tangkap dan kontroversi di sekitar kejadian tersebut kurang mendapatkan perhatian yang layak.

Penulisan sejarah yang bias seperti ini tidak hanya berdampak pada cara masyarakat memahami masa lalu, tetapi juga pada identitas kolektif dan arah kebijakan di masa depan. Ketika sejarah dipelintir untuk melegitimasi kekuasaan, masyarakat cenderung kehilangan akses terhadap kebenaran yang lebih luas dan kompleks, yang dapat menyebabkan distorsi dalam pemahaman tentang diri mereka dan masa depan negara.

Sejarah sebagai Alat Politik Penguasa

Dalam temuan lain sejarah tidak hanya ditulis oleh pemenang, tetapi juga digunakan sebagai alat politik oleh penguasa. Penguasa yang bijak memahami bahwa kontrol atas narasi sejarah memungkinkan mereka untuk membentuk identitas nasional, melegitimasi kekuasaan mereka, dan mengarahkan kebijakan publik sesuai dengan kepentingan mereka.

Di banyak negara, termasuk Indonesia, di republik ini pengajaran sejarah di sekolah-sekolah sering kali digunakan untuk menanamkan ideologi tertentu dan menciptakan kesadaran nasional yang sesuai dengan agenda pemerintah. Misalnya, selama era Orde Baru, pendidikan sejarah di Indonesia sangat difokuskan pada pemujaan terhadap Soeharto sebagai bapak pembangunan dan penyelamat dari ancaman komunisme. Narasi ini digunakan untuk melegitimasi kekuasaan Soeharto dan menekan setiap bentuk oposisi politik.

Penggunaan sejarah sebagai alat politik juga terlihat dalam bagaimana pemerintah sering kali mengorganisir peringatan peristiwa-peristiwa sejarah tertentu yang mendukung agenda mereka, sementara peristiwa yang tidak sesuai dengan narasi resmi diabaikan atau diredam. Ini menciptakan versi sejarah yang tidak seimbang, di mana masyarakat hanya diberikan sebagian dari kebenaran, dan perspektif alternatif sering kali tidak mendapat tempat.

Penggunaan sejarah sebagai alat politik dapat memiliki dampak jangka panjang yang berbahaya. Ketika sejarah dipelintir untuk melayani kepentingan penguasa, masyarakat dapat menjadi terpecah, dan kepercayaan publik terhadap institusi-institusi negara bisa terkikis. Selain itu, penguasa yang menggunakan sejarah untuk menekan oposisi atau menutupi kesalahan mereka sendiri sering kali menciptakan kondisi yang mengarah pada ketidakstabilan politik di masa depan.

Relevansi dengan Kondisi Indonesia Saat Ini

Konsep-konsep mengenai kekuasaan, siklus kekuasaan, dan sejarah yang ditulis oleh pemenang serta penggunaan sejarah sebagai alat politik memiliki relevansi yang mendalam dengan kondisi Indonesia saat ini. Sebagai negara dengan sejarah panjang perjuangan dan perubahan politik, Indonesia masih menghadapi tantangan dalam mengelola kekuasaan dan memelihara kebenaran sejarah.

Di era Reformasi, Republik ini telah mengalami transisi menuju demokrasi yang lebih terbuka, namun tantangan terkait dengan penggunaan kekuasaan dan kontrol narasi sejarah tetap ada. Misalnya, meskipun terdapat kebebasan pers dan kebebasan berekspresi yang lebih besar, narasi sejarah yang dihasilkan oleh pemerintah masih cenderung bias dan sering kali digunakan untuk mendukung agenda politik tertentu.

Kontrol atas narasi sejarah masih menjadi alat penting bagi penguasa untuk mempertahankan kekuasaan dan melegitimasi kebijakan mereka. Misalnya, isu-isu terkait dengan sejarah kelam seperti peristiwa 1965 masih menjadi topik sensitif, dan narasi resmi sering kali tidak mencerminkan kompleksitas yang sebenarnya. Ini menunjukkan bahwa meskipun bangsa ini telah membuat kemajuan dalam banyak aspek, tantangan dalam hal transparansi dan keadilan sejarah tetap ada.

Di sisi lain, siklus kekuasaan terus berlanjut di republik ini, dengan berbagai perubahan pemerintahan dan pergeseran dalam kebijakan yang mencerminkan dinamika politik yang kompleks. Dari masa Orde Baru hingga era Reformasi, Indonesia telah menyaksikan bagaimana kekuasaan dapat berubah dan bagaimana kebijakan yang diambil oleh penguasa dapat memiliki dampak jangka panjang yang signifikan terhadap masyarakat.

Untuk menghadapi tantangan ini, penting bagi bangsa ini untuk memperkuat mekanisme checks and balances, memastikan bahwa sejarah diajarkan dan dipahami dengan cara yang lebih komprehensif dan inklusif, serta mendorong partisipasi aktif masyarakat dalam proses demokrasi. Dengan demikian, bangsa ini dapat belajar dari kesalahan masa lalu, mengelola kekuasaan dengan lebih bijaksana, dan membangun masa depan yang lebih adil dan sejahtera.

Penutup

Manusia dan kekuasaan selalu menjadi elemen yang saling terkait dalam sejarah, menciptakan siklus kekuasaan yang terus berulang sepanjang waktu. Sejarah sering kali ditulis oleh pemenang, memberikan mereka kontrol atas narasi yang membentuk identitas dan kebijakan publik. Sejarah juga sering digunakan sebagai alat politik oleh penguasa untuk melegitimasi kekuasaan dan menekan oposisi. seperti itulah sejarah merekam tindakan manusia yang notabenenya sebagai tokoh utama dalam lakon arus sejarah.

Dalam konteks Indonesia, tantangan terkait kekuasaan dan sejarah masih sangat relevan. Untuk membangun masa depan yang lebih baik, bangsa ini perlu memahami dan mengelola kekuasaan dengan arif bijaksana, serta memastikan bahwa sejarah diajarkan dengan cara yang jujur dan inklusif, Seperti yang penulis yakini "Sejarah akan menjadi dogma jika diajarkan secara salah." Hanya dengan cara ini, republik ini dapat menghadapi tantangan masa kini dan mempersiapkan masa depan yang lebih adil dan sejahtera bagi semua warganya. Dan sebagai penutup "Sejarah bukan hal yang kaku dan cenderung mundur, melainkan sebuah rentetan peristiwa dari hukum aksi-reaksi perbuatan manusia, masa sekarang merupakan hasil reaksi dari aksi yang dipebuat di masa lalu, dan kelak masa depan merupakan hasil reaksi dari aksi yang diperbuat di masa sekarang, Sejarah akan menjadi dogma jika diajarkan secara salah, hakikat belajar sejarah bukanlah untuk mencemooh tindakan manusia, atau untuk menangisi atau membencinya, tetapi untuk memahaminya. Dan kemudian belajar darinya untuk memperbaiki masa depan kita."

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun