"Inilah keluarga abang, disinilah abang dibesarkan. Abang tak punya mobil mewah seperti yang kamu kendarai setiap pergi ke kantor, abang juga tak mampu menyediakan kamar mewah ber AC seperti yang bunda persiapkan untuk kita, abang tak berpendidikan tinggi, pekerjaan abang juga masih honor."
Kali ini dia menatap mataku lekat-lekat. "Tapi insya Allah abang mampu untuk menjadi imam dan membahagiakan kamu."
"Apapun yang terjadi nanti, abang janji tidak akan pernah meninggalkan dan menduakan cinta untuk Ama. Allah jadi saksi." Ujarnya sungguh-sungguh.
"Abang sadar sampai saat ini tak sedikitpun hati Ama untuk abang. Kamu yang wanita karir dan berpikiran modern pasti tidak dengan mudahnya menerima perjodohan seperti ini, kan? Tapi abang yakin suatu hari nanti hati kamu pasti terbuka untuk abang. Abang akan menunggu dengan sabar sampai saat itu tiba."
*****
Besok masa cuti kantorku berakhir. Seminggu tidak beraktivitas di kantor membuatku bosan berada dirumah. Memang kegiatanku sebagai pengantin baru sangat menyita waktu karena harus berkeliling dari satu pintu ke pintu yang lain untuk meperkenalkan pasangan ke sanak family kami masing-masing. Hal itu sangat melelahkan karena kami harus 'mempertontonkan' kebahagiaan dan kemesraan yang berarti aku harus terus 'berakting' menjadi menantu yang santun dan bahagia.
Seiring waktu yang terus bergulir, sedikit demi sedikit aku mulai mengenal suamiku. Dia sangat sabar, penyayang, dan penuh pengertian. Setiap malam ia selalu mengusap dan membelai rambutku sambil membacakan shalawat dan doa-doa tidur. Ia baru tertidur setelah aku terlelap. Aku mulai terbiasa dengan perlakuannya itu. Disisi lain, aku hampir tak bisa 'bernafas' karena harus senantiasa bersamanya. Dia memang tidak ke kantor, dia bekerja hanya kalau dibutuhkan untuk menyalurkan bantuan untuk masjid, pasantren, atau dayah. Kalaupun harus pergi, itupun hanya ke mesjid diwaktu-waktu sholat fardhu. Aku yang tak pernah terikat dan selalu mandiri merasa agak risih juga didampingi kemanapun aku pergi dan dimanapun aku berada. Semoga dengan kembali beraktivitas di kantor membebaskan aku dari sangkar emas yang merupakan rumahku sendiri ini. Pikirku dalam hati.
*****
"Apa ga sebaiknya kakak berhenti kerja aja, kan bentar lagi mau berangkat" Ujar bunda saat menyiapkan sarapan untuk kami.
"Iya kak Ama... Kalian kan belum bulan madu. Ngapain sih kerja kan udah punya suami. "
Ugh.. celotehan Farah kali ini benar-benar membuatku kesal bukan kepayang.