Khusus bagi orang-orang dari kampung yang kini tengah merantau ke Jakarta khususnya untuk mencari dan mendapatkan pekerjaan,  mereka melihat Jakarta sebagai kota serba uang dan serba  komsumtif.
Oleh karena sifatnya yang demikian, maka tak ayal uang menjadi pusat perhatian atau segala-galanya.
Uang menjadi semacam dewa langit yang paling tinggi, sehingga semua orang wajib untuk mengejar dan meraihnya.
Akibatnya, jelas yakni orang secara bebas bahkan bekerja secara membabi-buta demi mendapatkan uang dan bertahan hidup.
Nilai kehidupan dan martabat kemanusiaan pun dipandang rendah dan murah di hadapan uang itu sendiri.
Kenyataan ini saya jumpai lewat sharing dari seorang tepatnya kerabat saya dari kampung.
Pertama, dari seorang kerabat yang mana selama belasan tahun di Jakarta ia bekerja sebagai penagih utang dan bergabung bersama preman-preman di Jakarta. Melalui pekerjaannya ini, kesehariannya penuh dengan suasana tragis seperi mengancam orang yang berutang bahkan sampai saling membunuh. Bisa dibayangkan, bagaimana tragisnya mengalami hidup di Jakarta.
Kedua, ada juga kisah lainnya dari kenalan juga yang baru-baru ini sehabis lulus SMA memilih mengikuti saudara kandungnya yang sudah lama bekerja di pertokoan yang ada di Jakarta.
Sebagaimana yang dikisahkannya, bahwa bermodalkan ijazah SMA, peluang untuk mendapatkan pekerjaan yang layak sangat minim. Semuanya butuh persaingan dan juga orang dalam yakni kakaknya sendiri.
Setibanya di Jakarta, hati dan pikiran sungguh tak pernah tenang. Apalagi di bulan-bulan awal harus menganggur dulu.
Satu-satunya peluang untuk bertahan hidup tidak lain berkat bantuan orang lain.
Dalam pengalamannya, ia sangat bersyukur, bahwa tempat di mana ia tinggal di Jakarta hampir semua penghuninya adalah sesama keluarga dari kampung. Berkat komunitas dan relasi kekeluargaan yang hangat inilah mereka mampu bertahan dan betah di Jakarta.