Mengulik topik tentang Jakarta layaknya meminum air garam, alias tak pernah mentok pada satu paradigma semata yakni dari segi politik kenegaraan sebagai pusat percaturan politik dan kebijakan negara.
Melainkan selalu kehausan topik yang selalu terungkap dan terbongkar melalui berbagai sudut pandang setiap orang bersama dengan kepentingannya dari elit dan megahnya Jakarta sebagai mama kota negara.
Ibarat meminum air garam, semakin diminum semakin kehausan, Jakarta sejatinya menjadi pusat semua narasi kehidupan yang tak berkesudahan namun terus mengapung di sepanjang analisis.
Oleh karena itu, kali ini saya memberanikan diri membahas Jakarta dari sisi saya sebagai orang kampung. (Kalau melenceng atau keliru bisa dikritisi kembali).
Artinya dalam konteks ini, saya coba meneropong bagaimana rumitnya kehidupan di Jakarta dengan berjarak dari Jakarta itu sendiri.
Melihat dan mengenal kota Jakarta bagi saya hingga sekarang hanya sebatas menonton TV, membaca buku atau artikel tulisan di berbagai media, menonton video atau konten yang berseliweran di berbagai media sosial dan tak lupa pula melalui pengalaman pribadi dari kenalan dan keluarga yang hingga kini sudah terbilang sebagai warga tetap Jakarta.
Lalu bagaimana dengan sudut pandang saya sendiri melihat kehidupan di Jakarta pasca lebaran.
Jakarta dari kacamata Para Pendatang
Tentunya, sebagai ibukota negara, Jakarta menjadi pusat dari semua kegiatan politik, ekonomi maupun kebudayaan.
Dari sudut pandang para pendatang, hampir sebagian besar meniti dan menjalani hidup di Jakarta sekedar untuk mencari dan mendapatkan pekerjaan, meski sebagian kecil lainnya bertujuan untuk menempuh pendidikan.
Akan tetapi tetap saja semua adalah para pendatang yang hendak mengadu nasib di ibukota negara ini.