Mohon tunggu...
Konstantinus Aman
Konstantinus Aman Mohon Tunggu... Full Time Blogger - Penulis, Petani dan Guru Kampung (PPG)

Pewarta suara minor dari kampung.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Menyibak Tirai Tindakan Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT) yang Dianggap Lumrah di Kampung

9 Januari 2024   18:37 Diperbarui: 9 Januari 2024   23:13 367
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi Tindakan KDRT (sumber: Liputan6.com)

Tindakan Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT) pada dasarnya merupakan sebuah kejahatan luar biasa (extra ordinary crime) karena melanggar hak asasi manusia dalam hal ini mayoritas korbannya adalah perempuan (istri).

Data terakhir sebagaimana yang dikutip dari CNN Indonesia bahwa Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo menyebut terdapat total 21.768 kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak (PPA) selama tahun 2023.

Angka tersebut merupakan rangkuman dari setiap perilaku KDRT yang terjadi di seluruh wilayah di Indonesia sepanjang tahun 2023 yang lalu. Dan daerah yang menyumbangkan angka KDRT tertinggi adalah Kepulauan Riau yakni ada 1.154 kasus dan terendahnya adalah Kalimantan Timur yakni 465 kasus. (Bdk. katadata.co.id).

Angka yang dirilis tersebut di atas menjadi bukti bahwa negara Indonesia merupakan termasuk salah satu negara berstatus darurat KDRT.

Dikutip dari Wikipedia, KDRT (Kekerasan Dalam Rumah Tangga) itu sendiri merupakan kekerasan yang terjadi dalam kehidupan rumah tangga, entah berada dalam keadaan kawin maupun hanya sebatas kumpul kebo. 

KDRT umumnya dilakukan di antara orang yang sudah memiliki hubungan kekeluargaan dan umumnya terjadi pada suami-istri sah atau pasangan serumah.

Adapun penyebabnya adalah bermacam-macam seperti:

Pertama, Laki-laki dan perempuan tidak dalam posisi yang setara.

Kedua, mengerasnya anggapan bahwa laki-laki harus kuat, berani serta tanpa ampun.

Ketiga, KDRT dianggap bukan sebagai permasalahan sosial, tetapi persoalan pribadi terhadap relasi suami istri.

Keempat, Pemahaman keliru terhadap ajaran agama, sehingga timbul anggapan bahwa laki-laki boleh menguasai perempuan.

Lalu bentuk-bentuknya pun beragam yakni;

Pertama, berupa kekerasan fisik seperti tamparan keras, menjambak atau menebas dengan senjata tajam, membakar hidup-hidup dan lain sebagainya.

Kedua, kekerasan psikis, berupa tindakan pengendalian, manipulasi, eksploitasi, kesewenangan, perendahan dan penghinaan, dalam bentuk pelarangan, pemaksaan dan isolasi sosial dan lain sebagainya.

Ketiga, Kekerasan seksual berat seperti:
Pelecehan seksual dengan melakukan hubungan intim secara pemaksaan atau melakukan pemaksaan hubungan seksual dengan orang lain untuk tujuan pelacuran dan atau tujuan tertentu serta perbuatan lain yang menimbulkan rasa muak/jijik, terteror, terhina dan merasa dikendalikan.

KDRT Dalam Konteks Di Kampung

Sebagaimana dari uraian di atas bahwa KDRT telah menjadi fenomena sosial yang paling krusial terjadi dalam lingkup masyarakat khususnya di dalam keluarga.

Ia tidak mengenal sekat-sekat kemajuan dan peradaban. 

Malah semakin majunya sebuah peradaban, tingkat KDRT pun semakin kompleks untuk dihentikan. Bagaikan duri dalam daging.

Dalam konteks kehidupan masyarakat khususnya yang masih kuat melekat dalam praktek-praktek budaya, seperti halnya pada keseluruhan masyarakat yang tersebar di pulau Flores-NTT, fenomena KDRT sering kali mewarnai keseharian hidup masyarakat khususnya dalam kehidupan berumah tangga.

Dilansir dari ombudsman.go.id, data kasus kekerasan pada perempuan dan anak di Nusa Tenggara Timur tergolong tinggi. Terhitung sejak Januari - Juli 2023, tercatat lebih dari 200 kasus diterima dan dilayani Unit Pelaksana Teknis Daerah (UPTD) Perlindungan Perempuan dan Anak (PPA) NTT.

Data tersebut jelas sebagai akumulasi berdasarkan pengaduan yang selalu dihadapkan pada Dinas PPA provinsi NTT sepanjang 6 bulan. 

Dan kemungkinan besar, angka tersebut masih belum sebanding dengan kenyataan yang ada di lapangan. Bisa jadi persentase kasus yang belum sempat tercatat berkali-kali lipat dari yang sudah terdata tersebut.

KDRT yang dianggap lumrah

Barangkali kedengarannya terlalu menggelitik nalar. Bagaimana mungkin sebuah fenomena kejahatan dianggap lumrah?

Lalu bagaimana mungkin tindakan kejahatan luar biasa ini justru bersemai indah di daerah yang kental dengan budaya dan pengaruh agama?

Untuk mengupas ini, saya memulainya dengan menyitir kembali sebuah teori tentang kejahatan dari seorang filsuf yang tersohor di abad dua puluh yakni Hannah Arendt.

Salah satu teorinya yang paling populer tersebut adalah tentang banalitas kejahatan.

Banalitas kejahatan secara sederhana dimengerti sebagai suatu situasi di mana sebuah kejahatan tak lagi dirasa sebagai kejahatan tetapi sebagai sesuatu yang biasa-biasa saja atau sesuatu yang wajar.

Teori ini sejatinya sangat relevan bila disandingkan dengan fenomena KDRT.

KDRT jelas merupakan sebuah kejahatan kemanusiaan yang luar biasa, namun dianggap biasa saja setelah dibiarkan terus dan mewarnai keseharian rumah tangga yang ada khususnya sebagaimana yang saya kedepankan di sini adalah dalam konteks daerah di NTT.

Selain sebab-sebab yang diungkapkan sebelumnya, salah satu penyebab yang paling kuat di balik lumrahnya perilaku KDRT adalah budaya dan kedangkalan dalam menafsirkan ajaran kita suci agama.

Pertama, menguatnya pengaruh budaya patriarki dalam penghayatannya justru menciptakan ketidakadilan dalam kehidupan keluarga khususnya relasi antara suami dan istri atau laki-laki dengan perempuan dalam keseharian di masyarakat.

Determinasi atau pendiktean laki-laki atas perempuan semakin kuat di balik praktik mahar atau belis. Sebagaimana sebagian besar budaya perkawinan di NTT, belis atau mahar merupakan sebuah kekhasan dan sebagai prasyarat utama dalam melangsungkan sebuah peristiwa perkawinan.

Dalam praktiknya, pihak laki-laki harus mampu menebus belis atau mahar baru diizinkan untuk meminang seorang perempuan atau calon istri.

Faktanya, mahar atau belis tersebut memiliki nilai materi yang sangat tinggi. Yakni berupa hewan-hewan yang memiliki nilai ekonomis tinggi, gading yang sangat nihil untuk ditemukan di pulau Flores, emas, uang senilai ratusan juta dan sebagainya.

Dengan demikian imbasnya adalah dalam relasi khususnya suami dan istri seringkali dihiasi dengan KDRT yang tiada henti, dan dianggap sesuatu yang berterima (taken for granted) oleh pihak korban dalam hal ini istri atau perempuan.

Perempuan kalau bisa diibaratkan itu bagaikan 'boneka' dari kaum laki-laki. Ini khususnya dalam konteks kehidupan masyarakat yang ada di bagian pedalaman.

Kedua, kedangkalan dalam menafsir seruan kitab suci. Kerap kali bacaan suci yang dipilih dalam sebuah perayaan perkawinan di Gereja atau lainnya selalu mengambil nas yang kalau diterjemahkan secara lurus bisa berakibat fatal dan mendukung terjadinya kejahatan dalam hal ini KDRT.

Contohnya; 'wahai istri, tunduk lah pada suamimu'... Dan ayat lainnya. 

Tentu seruan ini kalau tidak ditafsir secara komprehensif atau dikotbahkan secara dangkal bisa saja berakibat fatal dan melanggengkan KDRT.

Lalu bagaimana untuk menyikapi fenomena ini?

Tentu yang paling pokok adalah cara membaca dan menafsir budaya dan nas nas suci agama yang berkaitan dengan kehidupan keluarga dalam berumah tangga.

Pekerjaan ini memang berat, namun bila dilakukan dengan sungguh-sungguh pasti berhasil. 

Salah satu caranya adalah melalui komunikasi yakni diskusi yang alot dengan semua pemangku kepentingan baik itu tokoh budaya, pemerintah, tokoh pendidikan dan tokoh agama. 

Khusus dalam hal ini sebagaimana budaya dan agama adalah entitas yang sangat berpengaruh dengan kehidupan masyarakat, maka semua penerapannya mesti lebih mengedepankan prinsip hak asasi manusia dalam hal ini adalah martabat.

Terkadang tantangannya adalah cukup pelik, karena wilayah agama dan budaya adalah wilayah dogmatis dan feodalis. Sehingga semua kritikan terkadang dipandang sebagai 'musuh' yang mengerikan.

Selama situasi terus terjadi maka, KDRT merupakan buah lezat yang selalu menjadi konsumsi 'wajib' dalam kehidupan bermasyarakat di NTT.

#Salam anti KDRT

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun