Pertama, menguatnya pengaruh budaya patriarki dalam penghayatannya justru menciptakan ketidakadilan dalam kehidupan keluarga khususnya relasi antara suami dan istri atau laki-laki dengan perempuan dalam keseharian di masyarakat.
Determinasi atau pendiktean laki-laki atas perempuan semakin kuat di balik praktik mahar atau belis. Sebagaimana sebagian besar budaya perkawinan di NTT, belis atau mahar merupakan sebuah kekhasan dan sebagai prasyarat utama dalam melangsungkan sebuah peristiwa perkawinan.
Dalam praktiknya, pihak laki-laki harus mampu menebus belis atau mahar baru diizinkan untuk meminang seorang perempuan atau calon istri.
Faktanya, mahar atau belis tersebut memiliki nilai materi yang sangat tinggi. Yakni berupa hewan-hewan yang memiliki nilai ekonomis tinggi, gading yang sangat nihil untuk ditemukan di pulau Flores, emas, uang senilai ratusan juta dan sebagainya.
Dengan demikian imbasnya adalah dalam relasi khususnya suami dan istri seringkali dihiasi dengan KDRT yang tiada henti, dan dianggap sesuatu yang berterima (taken for granted) oleh pihak korban dalam hal ini istri atau perempuan.
Perempuan kalau bisa diibaratkan itu bagaikan 'boneka' dari kaum laki-laki. Ini khususnya dalam konteks kehidupan masyarakat yang ada di bagian pedalaman.
Kedua, kedangkalan dalam menafsir seruan kitab suci. Kerap kali bacaan suci yang dipilih dalam sebuah perayaan perkawinan di Gereja atau lainnya selalu mengambil nas yang kalau diterjemahkan secara lurus bisa berakibat fatal dan mendukung terjadinya kejahatan dalam hal ini KDRT.
Contohnya; 'wahai istri, tunduk lah pada suamimu'... Dan ayat lainnya.Â
Tentu seruan ini kalau tidak ditafsir secara komprehensif atau dikotbahkan secara dangkal bisa saja berakibat fatal dan melanggengkan KDRT.
Lalu bagaimana untuk menyikapi fenomena ini?
Tentu yang paling pokok adalah cara membaca dan menafsir budaya dan nas nas suci agama yang berkaitan dengan kehidupan keluarga dalam berumah tangga.