Sesudah itu, semuanya kembali kepada kebebasannya masing-masing. Kebebasan yang melampaui tata cara hidup yang sebelumnya dikendalikan oleh adat istiadat.
Dari situasi baru ini, maka sudah sejatinya sebutan warga kampung tidak lagi layak untuk diucapkan. Sebab gaya hidup sudah tidak ada bedanya dengan warga kota. Atau mungkin saja karena baru memasuki masa pubertas dalam tingkatan kemajuan. Jadi wajar sekali, kalau tingkah lakunya masih terlihat 'labil'. Artinya masyarakat mulai permisif dengan yang namanya kemajuan. Mulai ekspansi dari keprimitifan ke kemoderenan.Â
Jadi sangat positif sekali. Ternyata eksklusif itu terbongkar melalui pembangunan infrastruktur yang nyata.Â
Namun di samping itu, jika dibedah secara lanjut, ternyata kemajuan infrastruktur tidak semata-mata melenyapkan sisi keprimitifan setiap orang. Nyatanya relasi social masyarakat masih dihiasi oleh formalistis dan sentimentalitas.Â
Misalnya saling bersaing satu sama lain untuk mencari privilese baru dan masyarakat yang "ego" kelas. Ada orang tertentu yang berusaha untuk menguasai 'istilah-istilah' adat supaya dibilang pemangku adat.Â
Sangat sedikit anak-anak muda yang tamat dari kuliah lalu menjadi agen perubahan di kampung. Yang tampak hanya sekedar untuk mempertebal status kelas di masyarakat. Ironisnya, hanya sedikit saja cerita kesuksesan dari masyarakat petani, sementara mayoritas masyarakat yang ada semuanya petani.Â
Kebanyakan anak-anak muda memilih berekspansi ke kota-kota hanya untuk 'menghindar' dari kegalauan pekerjaan. Sebab banyak yang pulang kuliah lalu 'menganggur' di kampung sendiri. Keseharian mereka hanya seputar dunia digital. Dan hampir 60% media digital itu digunakan untuk main kupon atau togel (judi online).Â
Dan baru akan menampilkan diri itu kalau ada hajatan yang menyenangkan, seperti berpesta atau turnamen bola kaki antar kampung dan sebagainya. Semacam pada momen ini saja yang selalu dinanti-nanti. Sesudahnya, semuanya kembali 'sunyi' dan bahkan merasa bosan lalu memilih untuk minggat.Â
Sedangkan kaum remaja terutama remaja sekolahan (SMP dan SMA) motivasi bersekolah hanya semata-mata untuk tujuan pragmatis yakni mendapatkan ijazah.Â
Tak ada motivasi khusus yang mengharuskannya untuk berpendidikan. Di sekolah, mereka akan dijumpai dalam perilaku yang formalitas sedangkan di masyarakat mereka menampilkan diri sebagai 'penguji' ketentraman umum.Â
Misalkan saja, saat pulang sekolah, raungan gas motor sengaja disetel hingga memekakkan telinga. Merasa seakan-akan telah terjadi 'kemenangan' yang bebas dari kekangan seragam sekolah yang dipakai selama beberapa jam di sekolah. Lalu, sore harinya berlalu lalang sambil mengencangkan gas motor, bahkan hingga sampai larut.Â