Mohon tunggu...
Konstantinus Aman
Konstantinus Aman Mohon Tunggu... Full Time Blogger - Penulis, Petani dan Guru Kampung (PPG)

Pewarta suara minor dari kampung.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Belum "Bosan" Dijajah

7 Juni 2023   11:36 Diperbarui: 7 Juni 2023   11:41 193
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi istimewa (wartakotalive.com) 

Kehidupan social di tempat saya tinggal kini semakin maju dibandingkan 10 tahun silam. Sebagai data pengujinya dapat dijelaskan dari dua sisi yakni subjektif dan objektif. Subjektif misalnya mama Maria tidak lagi 'ngomel' di pagi buta hanya karena Anton anaknya selalu tunggu diperintah untuk pergi timba air.

Sekarang berbeda, tinggal memutar keran depan rumah saja, air langsung jalan dengan sendirinya. Sedangkan secara objektif, sarana jalan raya tampak 'hitam' semua alias telah beraspal dengan kualitas yang sedikit 'meningkat' dari yang sebelumnya.

Hal ini mendorong setiap warga kampung untuk tidak lagi 'manja' berjalan kaki melainkan 'terpaksa' semuanya harus berkendara. Paling tidak dengan menggunakan kendaraan roda dua atau pun yang roda empat sekaligus, biar terbaca sudah 'mapan'.

Dari perubahan yang terjadi tersebut, beruntun mendatangkan perubahan-perubahan yang terjadi sesudahnya. Dan yang paling Nampak di sini adalah kebiasaan hidup setiap warga kampung. 

Dari yang kental dengan kolektivisme kini perlahan-lahan terkikis oleh gerus kemajuan dan terpaksa kini mulai berjibakau dengan individualisme. 

Sangat jarang terlihat warga kampung yang biasanya duduk nongkrong bersama di bale-bale kampung setiap sore harinya, sambil bercerita dan berbasa-basi. Yang terlihat hanyalah kumpulan manusia yang sibuk nongkrong di dalam dunia mayanya masing-masing. Atau tongkrongan yang paling nge-tren sekarang itu adalah duduk karaoke-an sambil memutar sopi rame-rame. 

Semuanya 'asyik' mengalunkan suara masing-masing tanpa kenal lelah dan batas yang normatif. Tak ada amukan dari tetangga jika sudah larut malam. 

Kebiasaan-kebiasaan seperti inilah yang kini menjadi situasi baru yang sangat lumrah. Semuanya tercipta sejak jaringan internet sudah terjamin dan aliran listrik negara sudah merambah ke setiap rumah warga. 

Setiap orang berlomba-lomba untuk membelikan perkakas music yang lengkap untuk diputarkan di rumah masing-masing sebagai 'hiburan'. Hingga 'keaslian' kampungnya mulai hilang atau tinggal formalitasnya saja. 

Kehidupan yang sebelumnya terukur oleh normatif adat kini tertinggal ritual saja. Alias menunggu momen tertentu saja, misalnya pada saat seremoni budaya seperti pentas caci (tarian adat Manggarai) dan sebagainya. 

Sesudah itu, semuanya kembali kepada kebebasannya masing-masing. Kebebasan yang melampaui tata cara hidup yang sebelumnya dikendalikan oleh adat istiadat.

Dari situasi baru ini, maka sudah sejatinya sebutan warga kampung tidak lagi layak untuk diucapkan. Sebab gaya hidup sudah tidak ada bedanya dengan warga kota. Atau mungkin saja karena baru memasuki masa pubertas dalam tingkatan kemajuan. Jadi wajar sekali, kalau tingkah lakunya masih terlihat 'labil'. Artinya masyarakat mulai permisif dengan yang namanya kemajuan. Mulai ekspansi dari keprimitifan ke kemoderenan. 

Jadi sangat positif sekali. Ternyata eksklusif itu terbongkar melalui pembangunan infrastruktur yang nyata. 

Namun di samping itu, jika dibedah secara lanjut, ternyata kemajuan infrastruktur tidak semata-mata melenyapkan sisi keprimitifan setiap orang. Nyatanya relasi social masyarakat masih dihiasi oleh formalistis dan sentimentalitas. 

Misalnya saling bersaing satu sama lain untuk mencari privilese baru dan masyarakat yang "ego" kelas. Ada orang tertentu yang berusaha untuk menguasai 'istilah-istilah' adat supaya dibilang pemangku adat. 

Sangat sedikit anak-anak muda yang tamat dari kuliah lalu menjadi agen perubahan di kampung. Yang tampak hanya sekedar untuk mempertebal status kelas di masyarakat. Ironisnya, hanya sedikit saja cerita kesuksesan dari masyarakat petani, sementara mayoritas masyarakat yang ada semuanya petani. 

Kebanyakan anak-anak muda memilih berekspansi ke kota-kota hanya untuk 'menghindar' dari kegalauan pekerjaan. Sebab banyak yang pulang kuliah lalu 'menganggur' di kampung sendiri. Keseharian mereka hanya seputar dunia digital. Dan hampir 60% media digital itu digunakan untuk main kupon atau togel (judi online). 

Dan baru akan menampilkan diri itu kalau ada hajatan yang menyenangkan, seperti berpesta atau turnamen bola kaki antar kampung dan sebagainya. Semacam pada momen ini saja yang selalu dinanti-nanti. Sesudahnya, semuanya kembali 'sunyi' dan bahkan merasa bosan lalu memilih untuk minggat. 

Sedangkan kaum remaja terutama remaja sekolahan (SMP dan SMA) motivasi bersekolah hanya semata-mata untuk tujuan pragmatis yakni mendapatkan ijazah. 

Tak ada motivasi khusus yang mengharuskannya untuk berpendidikan. Di sekolah, mereka akan dijumpai dalam perilaku yang formalitas sedangkan di masyarakat mereka menampilkan diri sebagai 'penguji' ketentraman umum. 

Misalkan saja, saat pulang sekolah, raungan gas motor sengaja disetel hingga memekakkan telinga. Merasa seakan-akan telah terjadi 'kemenangan' yang bebas dari kekangan seragam sekolah yang dipakai selama beberapa jam di sekolah. Lalu, sore harinya berlalu lalang sambil mengencangkan gas motor, bahkan hingga sampai larut. 

Tak ada kawalan atau penegasan khusus dari warga ataupun perwakilan warga untuk menangkal kebiasaan ini. Semuanya lumrah terjadi dan semakin masif selama akses jalan raya di kampung sudah 'normal'. 

Jadi, tidaklah keliru kalau saya katakan belum bosan untuk dijajah. Kemajuan justru mendatangkan penjajahan baru bagi kehidupan. Entah siapa yang mampu bertahan di dalamnya justru bertahan karena ketiadaan pola pikir yang waras. Barangkali warisan Belanda masih mengalir dalam DNA kita sebagai manusia jajahan.

Manggarai Barat, 7 Juni 2023

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun