Kehidupan social di tempat saya tinggal kini semakin maju dibandingkan 10 tahun silam. Sebagai data pengujinya dapat dijelaskan dari dua sisi yakni subjektif dan objektif. Subjektif misalnya mama Maria tidak lagi 'ngomel' di pagi buta hanya karena Anton anaknya selalu tunggu diperintah untuk pergi timba air.
Sekarang berbeda, tinggal memutar keran depan rumah saja, air langsung jalan dengan sendirinya. Sedangkan secara objektif, sarana jalan raya tampak 'hitam' semua alias telah beraspal dengan kualitas yang sedikit 'meningkat' dari yang sebelumnya.
Hal ini mendorong setiap warga kampung untuk tidak lagi 'manja' berjalan kaki melainkan 'terpaksa' semuanya harus berkendara. Paling tidak dengan menggunakan kendaraan roda dua atau pun yang roda empat sekaligus, biar terbaca sudah 'mapan'.
Dari perubahan yang terjadi tersebut, beruntun mendatangkan perubahan-perubahan yang terjadi sesudahnya. Dan yang paling Nampak di sini adalah kebiasaan hidup setiap warga kampung.Â
Dari yang kental dengan kolektivisme kini perlahan-lahan terkikis oleh gerus kemajuan dan terpaksa kini mulai berjibakau dengan individualisme.Â
Sangat jarang terlihat warga kampung yang biasanya duduk nongkrong bersama di bale-bale kampung setiap sore harinya, sambil bercerita dan berbasa-basi. Yang terlihat hanyalah kumpulan manusia yang sibuk nongkrong di dalam dunia mayanya masing-masing. Atau tongkrongan yang paling nge-tren sekarang itu adalah duduk karaoke-an sambil memutar sopi rame-rame.Â
Semuanya 'asyik' mengalunkan suara masing-masing tanpa kenal lelah dan batas yang normatif. Tak ada amukan dari tetangga jika sudah larut malam.Â
Kebiasaan-kebiasaan seperti inilah yang kini menjadi situasi baru yang sangat lumrah. Semuanya tercipta sejak jaringan internet sudah terjamin dan aliran listrik negara sudah merambah ke setiap rumah warga.Â
Setiap orang berlomba-lomba untuk membelikan perkakas music yang lengkap untuk diputarkan di rumah masing-masing sebagai 'hiburan'. Hingga 'keaslian' kampungnya mulai hilang atau tinggal formalitasnya saja.Â
Kehidupan yang sebelumnya terukur oleh normatif adat kini tertinggal ritual saja. Alias menunggu momen tertentu saja, misalnya pada saat seremoni budaya seperti pentas caci (tarian adat Manggarai) dan sebagainya.Â