Merokok adalah suatu kebiasaan yang mendarah daging bagi masyarakat kampung. Ada banyak hal yang menguatkan hipotesis demikian.
Sebagaimana dalam tulisan saya sebelumnya, bahwa di mana satu dua orang atau lebih berkumpul di situ pasti ada kopi, rokok dan sopi. Entah kenapa, ngopi tanpa ngerokok itu serasa kurang ngeh. Atau menenggak tuak tanpa ngerokok itu kurang 'sedap'. Ataupun sebaliknya juga, jika hanya merokok saja tanpa ditemani kopi dan tuak masih memiliki daya 'magis' tersendiri. Sehingga kesimpulan sementaranya ialah bahwa masyarakat kampung tidak bisa 'hidup' tanpa merokok. Kok bisa?Â
Situasi Keseharian
Dalam kebiasaan hidup setiap hari rokok selalu menjadi bagian yang tidak bisa dilepaskan dalam diri masyarakat kampung. Terutama di setiap kampung di mana saya tinggal yaitu, kampung Pacar, Manggarai Barat, Flores-NTT
Ada begitu banyak kesempatan yang membuat masyarakat kampung terpanggil untuk merokok yakni: Mulai dari sekedar hobi pribadi di rumah, kemudian ketika saling kunjung (pesiar cari rokok) , atau ketika saling bertemu dan berkumpul di mana saja, atau ketika beraktivitas di kebun, atau saat ada acara kumpul-kumpul keluarga, ketika ada seremoni adat dan lain-lain. Tentunya rokok yang biasa digunakan itu adalah yang bersahabat dengan ekonomi warga.Â
Untuk diketahui, warga kampung itu tidak kenal selera dalam merokok. Yang penting bibir selalu selalu menyedot batang rokok.Â
Ketika saling berpapasan di mana saja dengan orang yang sudah dikenal. Entah dalam perjalanan, di kebun, di tempat jaringan ataupun di tempat proses penyulingan tuak atau sopi, rokok selalu menjadi barang pertama yang disuguhkan secara spontan. Bahkan ketika hendak berkenalan dengan orang baru yang belum dikenal, rokok menjadi sarana perekat keakraban.Â
Yang paling lumrah misalnya: ketika hendak beraktivitas di kebun yang melibatkan beberapa orang entah sifatnya gotong royong secara bergilir atau juga melalui sistem sewa atau upah. Biasanya ketika pembabatan lahan baru yang ekstrim, menebang pohon-pohon besar dan menebas belukar yang penuh dengan duri tajam, ataupun saat mulai menanam hingga panen hasil dan lain sebagainya.Â
Semuanya tak ada cara lain selain secara manual dengan hanya mengandalkan kemampuan fisik yang super ekstra.
Maka sebagai pemilik kebun secara otomatis bertanggung jawab penuh dalam pengadaan konsumsi plus kebutuhan rokok para pekerja. Dalam hal ini rokok wajib disediakan oleh tuan kebun, seturut jumlah para pekerja.
Kewajiban menyiapkan rokok ini sejatinya sudah terjadi sejak perusahaan rokok lahir dan merokok sebagai bagian dari kehidupan warga Kampung.
Biasanya saat break ngopi dari kerja. Biasanya dua kali yaitu sebelum makan siang dan sore hari sebelum pulang, saat inilah rokok menjadi pasangan setia si kopi hitam, plus dengan pisang rebus atau pun ubi rebus jika ada.
Saat inilah rokok dijadikan sebagai menu wajib dan utama bagi para pekerja. Dan dianggap sebagai penyuplai semangat dan tenaga baru bagi mereka.Â
Kemudian dalam situasi kolektif lainnya (baca: budaya), rokok sudah dimateraikan sebagai perantara adat. Dalam hal ini rokok memiliki nilai yang sangat tinggi dan sakral bersama dengan hewan korban dan tuak.
Setiap kali ritual adat tertentu dilangsungkan, materi yang digunakan di dalamnya ialah ayam, tuak dan rokok. Ketiganya menjadi syarat mutlak sebuah ritual adat bisa dilangsungkan dengan baik dan lancar. Ataupun sebaliknya, tanpa ketiga barang tersebut maka ritual adat belum bisa terlaksana.Â
Rokok dalam konteks ini jika ditilik dari sisi simbolis mengandung arti: pertama, sebagai sarana penghargaan.Â
Ketika hendak menyampaikan maksud tertentu di hadapan pemangku adat, rokok sebagai sarana kesungguhan dan simbol penghargaan. Juga dalam berhubungan dengan relasi keluarga, dalam hal ini anak rona (keluarga dari pihak istri), pihak woe (keluarga dari pihak suami) wajib menyediakan rokok dan tuak sebagai simbol penghormatan dan penghargaan terhadap anak rona. Kebiasaan ini sudah termaktub sejak dahulu dan akan terus berlanjut sampai kapan pun, ketika perusahaan rokok tetap eksis.Â
Kedua, sebagai simbol terimaksih. Dalam konteks ini rokok menjadi simbol rasa terima kasih dengan sesama, terutama dalam relasi terkait kebutuhan hidup. Misalnya, ketika meminjam uang atau barang tertentu dalam situasi terdesak, maka dalam pengembaliannya selain dengan barang yang telah dipinjam juga dengan sebungkus rokok.Â
Bahkan uang pun dalam konteks budaya di kampung selalu disimbolkan dengan rokok. Misalnya ketika memberikan uang secara spontan kepada seseorang. Pasti yang diucap bukan sejumlah uang yang diberikan secara langsung melainkan dengan istilah rokok atau mbako rongko (Manggarai: sebutan simbolis mengenai uang).Â
Hal ini menjadi simbol kerendahan hati orang kampung dengan sesama. Hal Ini juga erat kaitannya dengan situasi ekonomi yang melahirkan cara pandang tersendiri dari masyarakat dalam hal pendapatan ekonomi dan harta benda.Â
Oleh karena itu, sekalipun cukai rokok dinaikkan oleh pemerintah dengan konsekuensinya harga rokok pun ikut naik, secara gamblang saya katakan warga kampung tetap setia untuk merokok.Â
Toh, otak pemerintah dan otak masyarakat kampung itu jauh beda yakni antara ekonomi dan kesehatan dengan kebiasaan, kebudayaan dan kekeluargaan di kampung.Â
Sebab merokok bagi warga kampung itu merupakan sebagai sebuah instrumen untuk memperdalam nilai kesejatian hidup. Sedangkan soal kesehatan dan ekonomi itu hanyalah konsekuensi lain di luar motivasi merokok warga kampung itu sendiri.
Lain halnya jika pemerintah dengan tegas menutup pabrik rokok satu kali.Â
Jadi, jika mau belajar tentang hidup yang sejati, maka mulailah dengan merokok.Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H