Mohon tunggu...
Konstantinus Aman
Konstantinus Aman Mohon Tunggu... Full Time Blogger - Penulis, Petani dan Guru Kampung (PPG)

Pewarta suara minor dari kampung.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Merokok dan Perihal Kesejatian Hidup Warga Kampung

8 November 2022   12:27 Diperbarui: 8 November 2022   12:28 195
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Potret Warga Kampung duduk melingkar ketika melaksanakan suatu ritus adat dengan rokok sebagai konsumsi wajib. (Kredit foto: Facebook: Sensi Bandoet) 

Kewajiban menyiapkan rokok ini sejatinya sudah terjadi sejak perusahaan rokok lahir dan merokok sebagai bagian dari kehidupan warga Kampung.

Biasanya saat break ngopi dari kerja. Biasanya dua kali yaitu sebelum makan siang dan sore hari sebelum pulang, saat inilah rokok menjadi pasangan setia si kopi hitam, plus dengan pisang rebus atau pun ubi rebus jika ada.

Saat inilah rokok dijadikan sebagai menu wajib dan utama bagi para pekerja. Dan dianggap sebagai penyuplai semangat dan tenaga baru bagi mereka. 

Kemudian dalam situasi kolektif lainnya (baca: budaya), rokok sudah dimateraikan sebagai perantara adat. Dalam hal ini rokok memiliki nilai yang sangat tinggi dan sakral bersama dengan hewan korban dan tuak.

Setiap kali ritual adat tertentu dilangsungkan, materi yang digunakan di dalamnya ialah ayam, tuak dan rokok. Ketiganya menjadi syarat mutlak sebuah ritual adat bisa dilangsungkan dengan baik dan lancar. Ataupun sebaliknya, tanpa ketiga barang tersebut maka ritual adat belum bisa terlaksana. 

Rokok dalam konteks ini jika ditilik dari sisi simbolis mengandung arti: pertama, sebagai sarana penghargaan. 

Ketika hendak menyampaikan maksud tertentu di hadapan pemangku adat, rokok sebagai sarana kesungguhan dan simbol penghargaan. Juga dalam berhubungan dengan relasi keluarga, dalam hal ini anak rona (keluarga dari pihak istri), pihak woe (keluarga dari pihak suami) wajib menyediakan rokok dan tuak sebagai simbol penghormatan dan penghargaan terhadap anak rona. Kebiasaan ini sudah termaktub sejak dahulu dan akan terus berlanjut sampai kapan pun, ketika perusahaan rokok tetap eksis. 

Kedua, sebagai simbol terimaksih. Dalam konteks ini rokok menjadi simbol rasa terima kasih dengan sesama, terutama dalam relasi terkait kebutuhan hidup. Misalnya, ketika meminjam uang atau barang tertentu dalam situasi terdesak, maka dalam pengembaliannya selain dengan barang yang telah dipinjam juga dengan sebungkus rokok. 

Bahkan uang pun dalam konteks budaya di kampung selalu disimbolkan dengan rokok. Misalnya ketika memberikan uang secara spontan kepada seseorang. Pasti yang diucap bukan sejumlah uang yang diberikan secara langsung melainkan dengan istilah rokok atau mbako rongko (Manggarai: sebutan simbolis mengenai uang). 

Hal ini menjadi simbol kerendahan hati orang kampung dengan sesama. Hal Ini juga erat kaitannya dengan situasi ekonomi yang melahirkan cara pandang tersendiri dari masyarakat dalam hal pendapatan ekonomi dan harta benda. 

Oleh karena itu, sekalipun cukai rokok dinaikkan oleh pemerintah dengan konsekuensinya harga rokok pun ikut naik, secara gamblang saya katakan warga kampung tetap setia untuk merokok. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun