Mohon tunggu...
Konstan Aman
Konstan Aman Mohon Tunggu... Full Time Blogger - Penulis, Petani dan Guru Kampung (PPG)

Pewarta suara minor dari kampung.

Selanjutnya

Tutup

Diary Pilihan

Jadi Kompasianer di Kampung Itu Ngeri-ngeri Sedap

26 Oktober 2022   07:57 Diperbarui: 26 Oktober 2022   09:28 164
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cuplikan gambar HUT ke-14 Kompasiana (sumber: Kompasiana.com) 

Pertama kali saya berjumpa dengan  Kompasiana adalah pada tahun 2020. Waktu itu saya diajak oleh seorang Kompasioner muda yang cukup fenomenal dengan konten cengkeh dan pertaniannya. Beliau adalah Guido Areso (Nama Profil K-nya). 

Ketika itu saya berkomentar pada salah satu artikel Cengkeh yang beliau share ke laman Facebook. Ya, waktu itulah bang Reba Lomeh (Nama K lainnya dari Guido Areso) secara langsung  mengajak saya untuk bergabung ke dalam rumah Kompasiana. Beliau juga yang mendaftarkan akun K saya dan mengasi tahu saya terkait syarat dan ketentuan konten yang layak masuk ke rumah Kompasiana. 

Dan sejak itu saya pun dinobatkan sebagai kompasioner baru. Entah kenapa, sapaan Kompasioner ini menjadi candu tersendiri bagi saya untuk selalu menggores di kompasiana. 

Sebelumnya memang saya merupakan salah satu pecinta Koran Harian Kompas ketika masih kuliah. Setiap hari saya memburu opini dan artikel bernas pada halaman koran tersebut. Karena bagi saya semua rubrikan yang termaktub di dalam harian Kompas itu jauh lebih bernas dan handal.

Oleh karena itu, dari kebiasan membaca Kompas hingga menulis di Kompasiana sejatinya merupakan suatu anugerah yang luar biasa bagi saya untuk mengembangkan bakat berliterasi.

Jika Kompas adalah Koran cetak (sekarang sudah ber-online juga) dan saya sebagai penikmat berita dan opininya, maka Kompasiana menjadi sarana bagi saya untuk turut berbagi goresan sekalipun tak seelit rubrikan harian cetak Kompas. 

Menulis untuk platform blog sekelas Kompasiana bagi saya adalah sebuah narasi yang tak ternilai harganya.

Sejak saya bergabung dua tahun lalu, saya mulai membangun komitmen untuk selalu menulis. Awalnya saya lebih cenderung untuk menulis rubrikan puisi saja karena dunia sastra juga merupakan kecintaan saya sejak kuliah dulu.

Akan tetapi ketika saya membaca konteks saya akhirnya mulai menulis dari situasi hidup dan kehidupan yang saya alami. 

Sejak selesai kuliah 2019 silam, saya langsung turun gunung untuk kembali ke kampung halaman tempat saya bermula dan berasal. 

Saya kembali ke situasi hidup yang sudah tidak asing lagi saya mengalaminya. 

Secara infrastruktur, pembangunan di kampung masih berada pada tahap balita ketimbang di kota. Secara budaya, orang kampung memang jauh lebih elit ketimbang kaum urban. 

Dari segi ekonomi, orang kampung jauh lebih kerdil dari kaum urban khusus dalam hal gaya hidup. Dan lain sebagainya. (Maaf, tidak sedang membanding-bandingkan).

Akan tetapi realitas dan fenomena khas kampung tersebut justru memotivasi saya untuk menarasikannya ke dalam ruang Kompasiana.

Menjadi Kompasioner di Kampung

Sebagaimana Kompasiana sebagai salah satu platform ber-online maka menulis untuknya merupakan suatu kejutan sekaligus tantangan bagi saya khusus sebagai Kompasioner berplatform kampung. 

Sebagai kejutan misalnya: saya merasa diterima dan dihargai oleh semua penghuni Kompasiana yang berada di seluruh Indonesia. Sekalipun lewat tulisan saya yang terkadang bagi saya ''kampungan' tetapi sekadarnya tetap diminati oleh Admin K dan juga para Kompasioner lainnya dari yang kelas debutan hingga sekelas maestro layaknya opa Tjip.

Setiap kali memuat tulisan, selalu ada perasaan cemas dan khawatir kalau-kalau tulisan itu tidak layak atau recehan. Tapi nyatanya admin K justru tetap memberi label Pilihan bahkan beberapa di antaranya dijadikan AU. Wah, melihat ini, candu untuk terus berselancar pun semakin kuat.

Bahkan sebaliknya ketika artikel yang bagi saya sangat layak untuk di AU kan ternyata tidak bagi Admin. Terkadang setiap hari saya berusaha membuka portal Kompasiana sekedar untuk memastikan kalau-kalau rubrikan saya di jadikan AU. 

Ternyata tidak. Disini saya sadari bahwa Admin barangkali memiliki pertimbangan khusus yang tak mudah ditebak oleh saya sebagai Kompasioner pemula.

Inilah kejutan yang selalu saya alami selama waktu dua tahun berjalan bersama Kompasiana.

Kemudian yang menjadi tantangan bagi saya menjadi Kompasioner di kampung adalah: Menulis untuk Kompasiana dengan kenyataan jaringan internet yang nihil di kampung merupakan sebuah ujian yang kelewat ekstrim. 

Namun, apa boleh buat, keadaan gelap seperti ini tak pernah menguburkan niat saya untuk terus menulis ke Kompasiana.

Jika untuk menulis saja itu saya lakukan secara off-line di laptop saja atau ketik langsung di ponsel akan tetapi untuk menayangkannya dan menjadikan konten baru ke Kompasiana mesti harus berdarah-darah mendapati jaringan yang layak untuk berinternet.

Kalau mau ke tempat jaringan saya harus pikul dengan laptop. Karena awalnya saya sukar sekali membuat artikel lewat media ponsel. Walaupun akhir-akhir ini saya mulai terbiasa dengan nulis di ponsel. 

Sehingga terkadang butuh waktu beberapa hari hingga seminggu bahkan sebulan baru bisa menayangkan sebuah konten baru. (Contohnya tulisan ini sejatinya sudah kelar tiga hari yang lalu dan baru kini mendarat ke Kompasiana). 

Untunglah juga, selain sebagai seorang kampung saya juga berprofesi sebagai seorang tenaga pendidik di salah satu sekolah menengah di pelosok kampung. Letak nya lumayan jauh dari rumah tempat saya tinggal sehingga harus ditempuh dengan sepeda motor. 

Di beberapa titik perjalanan saya berpapasan dengan jaringan internet yang stabil. Jadi saat itulah saya bisa kembali mengakses blog Kompasiana secara lancar seraya menggali informasi-informasi aktual lainnya sebagai bahan ngobrol dengan tetangga ketika sudah tiba di rumah kembali. 

Hal seperti saya lakukan setiap hari entah itu waktu berangkat (paling awal) ke sekolah hingga ketika pulang dari sekolah. Sehingga tak heran saya selalu telat sampai di rumah. 

Inilah yang saya namakan sebagai ngeri-ngeri sedapnya menjadi Kompasioner di kampung. 

Akan tetapi, keadaan jaringan internet yang hingga kini masih sukar menyusup ke setiap kampung inilah justru menambah kecintaan saya untuk terus berkiprah di rumah Kompasiana ini. Kenapa? Ya karena alasan mau nulis saja.  Karena menulis bagi saya adalah sebuah upaya perubahan bukan untuk mencari pengakuan apalagi karena sekedar mau dapat nganu dari mimin (walaupun sering tergoda juga hehhehe) melainkan karena ya nulis aja. 

Oleh karena itu, patutlah saya mengucapkan selamat hari jadi yang ke-14 tahun untuk Kompasiana. Semoga panjang umur dan sehat selalu buat para admin dan semua para Kompasioner yang telah membangun rumah Kompasiana ini dengan aneka kata-kata dan bahasanya masing-masing. 

Kompasiana sudah berusia 14 tahun dan saya tergolong dalam angkatan ke-12 sejak 2020 silam. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Diary Selengkapnya
Lihat Diary Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun