Saya kembali ke situasi hidup yang sudah tidak asing lagi saya mengalaminya.Â
Secara infrastruktur, pembangunan di kampung masih berada pada tahap balita ketimbang di kota. Secara budaya, orang kampung memang jauh lebih elit ketimbang kaum urban.Â
Dari segi ekonomi, orang kampung jauh lebih kerdil dari kaum urban khusus dalam hal gaya hidup. Dan lain sebagainya. (Maaf, tidak sedang membanding-bandingkan).
Akan tetapi realitas dan fenomena khas kampung tersebut justru memotivasi saya untuk menarasikannya ke dalam ruang Kompasiana.
Menjadi Kompasioner di Kampung
Sebagaimana Kompasiana sebagai salah satu platform ber-online maka menulis untuknya merupakan suatu kejutan sekaligus tantangan bagi saya khusus sebagai Kompasioner berplatform kampung.Â
Sebagai kejutan misalnya: saya merasa diterima dan dihargai oleh semua penghuni Kompasiana yang berada di seluruh Indonesia. Sekalipun lewat tulisan saya yang terkadang bagi saya ''kampungan' tetapi sekadarnya tetap diminati oleh Admin K dan juga para Kompasioner lainnya dari yang kelas debutan hingga sekelas maestro layaknya opa Tjip.
Setiap kali memuat tulisan, selalu ada perasaan cemas dan khawatir kalau-kalau tulisan itu tidak layak atau recehan. Tapi nyatanya admin K justru tetap memberi label Pilihan bahkan beberapa di antaranya dijadikan AU. Wah, melihat ini, candu untuk terus berselancar pun semakin kuat.
Bahkan sebaliknya ketika artikel yang bagi saya sangat layak untuk di AU kan ternyata tidak bagi Admin. Terkadang setiap hari saya berusaha membuka portal Kompasiana sekedar untuk memastikan kalau-kalau rubrikan saya di jadikan AU.Â
Ternyata tidak. Disini saya sadari bahwa Admin barangkali memiliki pertimbangan khusus yang tak mudah ditebak oleh saya sebagai Kompasioner pemula.
Inilah kejutan yang selalu saya alami selama waktu dua tahun berjalan bersama Kompasiana.