Mau siapapun yang jadi presiden kita tetap iris moke/sopi (miras lokal) atau cangkul kebun dan lain sebagainya. Singkatnya, misalnya Pak Anies orang no. 1, kita tetap orang tak bernomor juga di negara ini.
Solusinya, lebih baik kita berpolitik tentang tanaman saja. Misalnya menanam jagung kita bisa panen sapi atau babi. Wah kok bisa? Iya kan jagung yang sudah dipanen kita jadikan pakan ternak khususnya babi, ayam dan sapi kita masing-masing. Kan kalo begini untungnya berkali-kali lipat lah.Â
Dan kita bisa beli rokok dan isi kupon (baca: main togel menjadi 'kebiasaan' orang kampung saat ini) setiap hari.Â
Kopi dan rokok pun habis, semuanya kembali menanam jagung. Tapi perbincangan tetap dilanjutkan.Â
Namun dalam kesempatan lainnya, terutama kalau ada hajatan tertentu di kampung, biasanya anggota DPR juga ada, entah karena diundang ataupun kebetulan ada, perbincangan seputar politik terus berlanjut.Â
Baru-baru ini ketika ada hajatan perkawinan adat di kampung, entah secara kebetulan saat itu salah satu anggota dewan perwakilan rakyat daerah juga ada.Â
Dan Ketika semua sesi ritual selesai, biasanya saat jeda untuk mamiri khas kampung yaitu serabe (roti besar terbuat dari beras) dengan kopi kental hitam khas Manggarai juga disertai rokok kelas akar rumput. Hanya Pak dewan saja yang rokoknya agak elit. (Jelas Beda kelas).Â
Namun, anehnya, perbincangan sudah agak lain. Karena semua warga kampung kebanyakan manggut-manggutnya saja. Topik tentang calon presiden sudah tak sepanas di kebun kemarin. Atau singkatnya, ketika Pak dewan tidak ada. Karena kesannya semacam ada otonomi pendapat di dalamnya.Â
Namun, perbincangan akan kembali hangat ketika sudah bersama di kebun lagi. Atau ketika ibu-ibunya bercengkrama dengan baskom dan cucian banyak di bak air umum. Hanya gaya mama-mamanya lebih banyak bersifat gosip. Gosip politik dan gosip kehidupan.Â
Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa diskursus; entah itu tentang politik atau kehidupan lainnya dalam konteks kampung sifatnya spontanitas seturut kadar pengetahuan yang dimiliki.Â
Kemudian, orang kampung juga ternyata rileks saja terhadap subjek dengan otonomi pendapatnya seakan-akan tidak boleh diganggu gugat.**