Mohon tunggu...
Konstantinus Aman
Konstantinus Aman Mohon Tunggu... Full Time Blogger - Penulis, Petani dan Guru Kampung (PPG)

Pewarta suara minor dari kampung.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Ketika Warga Kampung Berdiskursus Seputar Politik

18 Oktober 2022   22:25 Diperbarui: 18 Oktober 2022   22:55 279
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Potret ilustrasi tanam jagung berkelompok (sumber: Ekorantt.com) 

Istilah diskursus barangkali terlalu elit disematkan bagi kami warga kampung. Tapi ketika ditelusuri lebih jauh bahwasanya ihwal dari sebuah diskursus adalah tindakan komunikatif yang meliputi proses diskursif publik dalam sebuah ruang publik. 

Ruang publik bagi kami di kampung adalah tempat di mana perjumpaan satu dan dua orang warga kemudian saling bertegur sapa dan berdialog ria. 

Misalnya, di halaman kampung, di ladang atau kebun ketika sedang pembukaan lahan baru atau pembersihan kebun atau di bak mandi umum tempat sumber mata air Satu-satunya di kampung atau di rumah gendang (rumah adat) ketika ada hajatan budaya berlangsung, atau pun di jalan menuju kebun dan lain sebagainya. 

Tempat-tempat di atas umumnya paling lumrah menjadi locus pertemuan atau perjumpaan satu sama lain bagi warga kampung. Dan ketika terjadi perjumpaan di sana pasti ada politik. 

Benar kata orang bahwa di mana ada satu dan dua orang berkumpul di situ selain ada rokok, kopi juga ada politik. 

Semua isu tentang kehidupan di goreng hingga garing tanpa terkecuali seturut informasi yang didapat atau yang tengah beredar. 

Mulai dari pengalaman di kebun masing-masing, perjumpaan dengan keluarga saat hajatan adat, pemilihan kepala desa yang baru saja selesai hingga pembahasan tentang situasi politik nasional entah itu partai politik dan kini yang paling aktual adalah pembahasan seputar calon presiden Indonesia tahun 2024 mendatang. 

Khusus tentang topik yang terakhir ini, kini sedang aktual diperbincangkan oleh hampir seluruh warga kampung. 

Entah itu ketika sedang bersama-sama di kebun atau ladang atau di mana saja ketika sedang berdua atau lebih dari itu. 

Kemarin ketika kami sedang menanam jagung di kebun milik salah satu warga. 

Saat sedang istirahat ngopi sejenak secara khusus kami memperbincangkan tentang Partai Nasdem yang sudah mendeklarasikan dan mengusung calon presiden yang siap berpentas di pilpres 2024 mendatang yaitu Pak Anies Baswedan. 

Sembari menghabiskan ber cerek-cerek kopi dan Berbungkus-bungkus rokok (maklum di kampung segala pekerjaan itu dilakukan secara berkelompok dan pemilik lahan atau kebun harus menyiapkan kopi dan rokok untuk para pekerja) berbagai tanggapan dan reaksi muncul dari setiap pekerja termasuk juga mama-mama yang bertugas bagian konsumsi di kebun.

Ada yang bereaksi ringan-ringan saja mengandaikan bahwa mereka mendukung Pak Anies Baswedan sebagai calon presiden asalkan wakilnya adalah Pak Ganjar Pranowo. Itu baru joss. Sedangkan kalau wakilnya Ibu Puan Maharani kayaknya kurang cocok dan sebagainya.

Dari pendapat yang muncul ada juga yang ekstrim katanya begini; ah keliru sekali partai Nasdem mengusung Pak Anies, karena sudah tahu Pak Anies itu membangun Jakarta saja tidak becus apalagi mau bangun seluruh Indonesia hingga kita-kita yang di kampung. Mana dia mau perhatikan nanti. 

Masa Banjir Jakarta saja dia tidak bisa urus apalagi tentang banjir penderitaan ekonomi kita di kampung. 

Yang lain juga tak mau kalah ekstrim: "jangan Pak Anies, itu banyak radikalisme di belakangnya". 

Ck ck ck.!!!

Ada juga yang lain begini; kalau si Prabowo maju lagi nanti saya akan pilih beliau. Barangkali jika beliau jadi orang no. 1 roda ekonomi kita di kampung pasti maju. 

Kasihan juga si bapa tua sudah maju berkali-kali tapi belum pernah menang. Ada yang mendukung dan ada pula yang menolak. Sampai di sini perbincangannya semakin seru hingga kopi tersisa satu dua seruputan lagi hingga sisa ampas. 

Ada yang sangat fanatik untuk mendukung pak Ganjar pranowo. Fanatik sekali. Katanya: "kalau Ganjar Pranowo tidak diusung jadi Capres maka golput siap jadi taruhan", (sambil puntung rokok di ucek-ucek di kaki). Rasanya Ngerii sekali. 

Namun di sela-sela kedua perbincangan di atas ternyata ada juga yang sangat tidak peduli dengan situasi politik terkini. Katanya, buat apa terlalu sibuk mengurus politik. Apa untungnya bagi kita. 

Mau siapapun yang jadi presiden kita tetap iris moke/sopi (miras lokal) atau cangkul kebun dan lain sebagainya. Singkatnya, misalnya Pak Anies orang no. 1, kita tetap orang tak bernomor juga di negara ini.

Solusinya, lebih baik kita berpolitik tentang tanaman saja. Misalnya menanam jagung kita bisa panen sapi atau babi. Wah kok bisa? Iya kan jagung yang sudah dipanen kita jadikan pakan ternak khususnya babi, ayam dan sapi kita masing-masing. Kan kalo begini untungnya berkali-kali lipat lah. 

Dan kita bisa beli rokok dan isi kupon (baca: main togel menjadi 'kebiasaan' orang kampung saat ini) setiap hari. 

Kopi dan rokok pun habis, semuanya kembali menanam jagung. Tapi perbincangan tetap dilanjutkan. 

Namun dalam kesempatan lainnya, terutama kalau ada hajatan tertentu di kampung, biasanya anggota DPR juga ada, entah karena diundang ataupun kebetulan ada, perbincangan seputar politik terus berlanjut. 

Baru-baru ini ketika ada hajatan perkawinan adat di kampung, entah secara kebetulan saat itu salah satu anggota dewan perwakilan rakyat daerah juga ada. 

Dan Ketika semua sesi ritual selesai, biasanya saat jeda untuk mamiri khas kampung yaitu serabe (roti besar terbuat dari beras) dengan kopi kental hitam khas Manggarai juga disertai rokok kelas akar rumput. Hanya Pak dewan saja yang rokoknya agak elit. (Jelas Beda kelas). 

Namun, anehnya, perbincangan sudah agak lain. Karena semua warga kampung kebanyakan manggut-manggutnya saja. Topik tentang calon presiden sudah tak sepanas di kebun kemarin. Atau singkatnya, ketika Pak dewan tidak ada. Karena kesannya semacam ada otonomi pendapat di dalamnya. 

Namun, perbincangan akan kembali hangat ketika sudah bersama di kebun lagi. Atau ketika ibu-ibunya bercengkrama dengan baskom dan cucian banyak di bak air umum. Hanya gaya mama-mamanya lebih banyak bersifat gosip. Gosip politik dan gosip kehidupan. 

Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa diskursus; entah itu tentang politik atau kehidupan lainnya dalam konteks kampung sifatnya spontanitas seturut kadar pengetahuan yang dimiliki. 

Kemudian, orang kampung juga ternyata rileks saja terhadap subjek dengan otonomi pendapatnya seakan-akan tidak boleh diganggu gugat.**

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun