Mohon tunggu...
Amanda Ramadhani
Amanda Ramadhani Mohon Tunggu... Lainnya - Mahasiswi Farmasi Universitas Airlangga

-

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Pasola, Tradisi Tarung Kuda Masyarakat Sumba

16 Juni 2024   15:11 Diperbarui: 16 Juni 2024   15:23 164
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Di pulau Sumba, Nusa Tenggara Timur ada salah satu tradisi unik yang diselenggarakan sekali dalam setahun yaitu festival Pasola. PASOLA berasal dari kata SOLA atau HOLA yang berarti kayu lembing. Pasola merupakan tradisi adat tarung kuda dimana dua kelompok penunggang kuda saling berhadapan, kejar-mengejar sembari melempar lembing kayu kearah lawan.

Pasola diselenggarakan sekali dalam setahun yaitu pada permulaan musim tanam, tepatnya pada bulan Februari dan bulan Maret. Tradisi ini dilakukan pada dua Kecamatan berbeda yaitu Kecamatan Lamboya serta kecamatan Wanokaka dan Laboya Barat/Gaura. Sama halnya dengan upacara adat lainnya, tanggal perayaan Pasola ditentukan oleh para Rato berdasarkan perhitungan bulan gelap dan bulan terang serta dengan melihat tanda-tanda alam. 

Satu bulan sebelum Pasola seluruh warga harus mematuhi sejumlah pantangan antara lain tidak boleh mengadakan pesta, membangun rumah dan lain sebagainya. Upacara Pasola ini berkaitan dengan persiapan pengerjaan lahan serta adanya anggapan tentang percikan darah atau sesuatu yang menyerupai darah dipandang mempunyai kekuatan magis untuk menyuburkan dan menghidupkan.

Menurut legenda setempat, tradisi pasola ini merupakan puncak dari sebuah tragedi cinta segi tiga. Yang menceritakan tentang kehidupan tiga saudara di sebuah kampung Weiwuang, yaitu Ngongu Tau Matutu, Yagi Waikareri, dan Ubu Dulla. Ketiganya telah menikah dan si bungsu Ubu Dulla memperistri seorang wanita cantik bernama Rabu Kabba. 

Suatu hari ketiganya pergi untuk mencari ikan di laut, yang dimana itu merupakan mata pencaharian mereka, namun tanpa sepengetahuan para istri dan warga Weiwuang mereka terus berlayar hingga ke Muhu Karera, sebuah negeri yang terkenal sangat makmur.

Hari demi hari terus berlalu, mereka tak kunjung pulang, warga yang cemas pun mencari kesana kemari. Namun sia-sia, ketiganya seperti hilang tertelan lautan. Warga Weiwuang yakin mereka telah meninggal dan Rabu Kabba pun merasakan kesedihan yang mendalam. Tapi di sisi lain, batinnya menolak percaya kalau Ubu Dulla telah meninggal dan setiap ada kesempatan ia selalu pergi ke tepi pantai dengan harapan suatu hari akan melihat perahu yang membawa suaminya kembali pulang. 

Akhirnya harapan Rabu kabba terwujud juga. Suatu hari, sebuah perahu benar-benar muncul dari batas cakrawala tapi yang datang bukan Ubu Dulla melainkan seorang pemuda lain bernama Teda Gaiparona. Rabu Kabba menjalin persahabatan dengan pemuda asal Kodi itu dan lama kelamaan keduanya saling jatuh cinta. 

Karena adat yang ketat cinta mereka sulit terwujud sehingga keduanya memutuskan untuk kawin lari. Bersamaan dengan itu, Ngongu Tau Matutu, Yagi Waikareri, dan Ubu Dulla tiba-tiba kembali ke Weiwuang. Warga menyambut mereka dengan penuh suka cita, namun duka pun tak dapat dibendung setelah Umbu Dulla mendengar berita bahwa istrinya telah kabur bersama pria lain. Demi menegakkan kehormatan, dengan ditemani sejumlah warga Weiwuang Ubu Dulla pergi mencari keduanya.

Pencarian mereka akhirnya membuahkan hasil namun saat melihat Rabu Kabba, Ubu Dulla sadar cintanya ternyata belum hilang. Ia mengajak Rabu Kabba pulang bersamanya, tapi Rabu Kabba yang merasa telah ternoda menolak untuk kembali. Hati Ubu Dulla terasa nyeri, tapi bukannya membalas dendam ia malah merelakan istrinya dibawa pergi, asalkan Teda Gaiparona mau menikahinya secara resmi dan membayar sejumlah belis (mas kawin) pengganti seperti yang dulu pernah diberikan Ubu Dulla saat meminang Rabu Kabba. lalu belis pun dibayarkan dan sebagai penghormatan terhadap kebesaran jiwa Ubu Dulla, keluarga Teda Gaiparona juga memberikan sebungkus nyale hidup, yaitu cacing laut warna-warni yang kemunculanya merupakan pertanda kemakmuran. 

Kemakmuran yang berusaha dicari Ubu Dulla sampai ke Muhu Karera hingga akhirnya harus kehilangan istri yang begitu ia cintai. Kedua pihak juga sepakat untuk selalu menyelenggarakan Pasola, ritual perang adat menggunakan tombak kayu yang dilakukan untuk mengenang kejadian itu. 

Kejadian yang jika tidak mereka selesaikan dengan damai, bisa jadi telah memicu terjadinya perang sungguhan antara dua keluarga besar yang pastinya akan memakan banyak korban. Darah yang tumpah saat pasola bukanlah darah yang sia-sia karena tiap tetesnya dipecaya turut menyumbangkan kesuburan bagi bumi.

Seperti upacara adat lainnya, penyelenggaraan Pasola didahului oleh serangkaian ritual yang berhubungan. Lain lokasi dan penyelenggara, lain pula ritualnya. Yang paling lengkap adalah ritual-ritual yang dilaksanakan di wilayah Kecamatan Wanokaka, berikut ini yang diambil sebagai contoh:

  • Purung Laru Loda:

Secara bahasa Purung Laru Loda berarti menurunkan tali larangan, itulah ritual yang pertama kali dilakukan oleh para Rato di kampung-kampung penanggungjawab Pasola yaitu Waigalli, Ubu Bewi, Lahi Pangabang, Prai Goli dan Puli. Purung Laru Lado merupakan pertanda dimulainya Wulla Biha atau bulan pamali dengan sejumlah larangan yang harus dipatuhi oleh seluruh warga masyarakat.

  • Penentuan Waktu:

Penentuan waktu penyelenggaraan pasola yang dilakukan bertepatan dengan munculnya purnama raya. Dasar utama perhitungan ini adalah bentuk bulan, yang didukung oleh kemunculan tanda-tanda alam seperti mekarnya bunga katina, babi hutan membuat sarang, pasang surut air laut dan lain sebagainya. 

Karena terkait dengan munculnya nyale sebagai indikator hasil panen yang hanya terjadi setahun sekali, maka penentuan waktu menjadi sangat vital. Perkiraan mungkin bisa dilakukan jauh hari, tapi tanggal pastinya tidak. Para Rato sangat berhati-hati membaca tanda alam karena salah menentukan tanggal berarti nyale tak akan muncul pada waktunya, dan bagi mereka hal demikian bisa dianggap sebagai kesialan.

  • Pati Rahi 

Ini adalah konsep empat hari yang sama seperti pada Bijalungu Hiu Paana: empat hari menjelang puncak perayaan yang diisi ritual-ritual penting. Di hari pertama, para Rato dari kampung Waigalli (yang dalam ritual ini berperan sebagai kabisu Ina-Ama) mengadakan perkunjungan ke Weiwuang, Praigoli dan Lahi Majeri untuk melihat persiapan-persiapan yang telah dilakukan menjelang hari H. Pada Hari kedua, sebuah permainan tinju tradisional (Pakujil) diselenggarakan di pantai Teitena, yang menurut legenda adalah lokasi tempat terdamparnya Ubu Dulla bersama dua saudaranya. 

Hari ketiga merupakan hari padat kegiatan, dimana ritual-ritualnya terus bersambung hingga atraksi puncak di hari keempat. Ritual hari ketiga dimulai dengan Palaingu Jara yang berarti melarikan kuda, semacam ajang pemanasan bagi kuda-kuda dan para ksatria yang akan berlaga besok. 

Malam harinya semua Rato penyelenggara Pasola berkumpul di Ubu Bewi untuk melakukan serangkaian ritual dan pemujaan, antara lain Kajalla, ritual pertanggungjawaban yang disampaikan dalam bentuk pantun tanya jawab oleh seluruh kabisu penyelenggara pasola. Ada pula penyembelihan sejumlah ayam sebagai media untuk meramalkan kejadian-kejadian yang akan terjadi saat pasola berlangsung. 

Dan sekali lagi: mengamati bulan, yang kali ini muncul sempurna sebagai pertanda final datangnya Nyale dan Pasola. Acara ditutup sekitar pukul 3 dini hari dengan penabuhan tambur suci sebagai tanda pasola telah menjelang dan ketupat adat sudah boleh dimakan (nganang katupat).

  • Madidi Nyale:

Ritual yang secara bahasa berarti memanggil nyale ini berlangsung di pantai Wanokaka pada hari keempat Pati Rahi. Ritual dimulai sesaat sebelum fajar setelah rombongan Rato selesai melakukan ritual di Ubu Bewi dan beriringan menuju pantai untuk memimpin upacara. Para warga dan wisatawan juga ikut berburu nyale, cacing laut warna-warni yang selain sedap dijadikan santapan juga menjadi indikator hasil panen. 

Nyale yang banyak dan bersih berarti panen melimpah. Nyale kotor dan saling menggigit berarti ada hama tikus. Nyale busuk berarti hujan berlebihan (sehingga padi bisa busuk). Nyale tidak muncul berarti kemarau panjang (bisa menyebabkan musibah kelaparan).

  • Pasola:

Atraksi Pasola diselenggrakan secara berurutan di dua tempat berbeda. Yang pertama di pantai Wanokaka setelah Madidi Nyale. Yang kedua di arena utama Kamaradena dari pukul 09.00 hingga menjelang siang. Pasola adalah pertarungan antara dua kubu, dengan menunggang kuda dan membawa tombak kayu sebagaimana layaknya pertarungan. 

Masing-masing kubu menggunakan taktik tersendiri dan berusaha keras menjatuhkan pihak lawan. Seringkali ada yang terluka bahkan ada juga yang meninggal, tapi sportivitas tetap dijunjung tinggi. Ada aturan tak tertulis bahwa dendam tak boleh dibawa keluar arena, membalas boleh saja tapi tunggu pasola berikutnya. 

Darah yang tumpah juga dianggap sebagai pertanda positif bahwa panen akan berlimpah. Akar pasola yang tertanam jauh dalam budaya masyarakat Sumba Barat menjadikan pasola tidak sekadar keramaian semata. Pertama Pasola adalah kultus religius, suatu bentuk pengabdian dan aklamasi ketaatan kepada roh-roh leluhur. 

Kedua, merujuk legendanya, Pasola merupakan suatu bentuk penyelesaian krisis suku melalui 'bellum pacificum' atau perang damai dalam sebuah ritual adat. Ketiga, sebagai perekat jalinan persaudaraan. Permainan jenis apa pun termasuk Pasola selalu menjadi sarana sosial ampuh. 

Apalagi bagi kabisu-kabisu yang terlibat langsung. Selama Pasola berlangsung semua peserta, kelompok pendukung, maupun wisatawan diajak bersorak, tertawa dan bergembira bersama, karena itulah Pasola menjadi tempat menjalin persahabatan dan persaudaraan bagi penduduk setempat.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun