Mohon tunggu...
Amanda Cornella Meliala
Amanda Cornella Meliala Mohon Tunggu... karyawan swasta -

Amanda Cornella Meliala, seorang perempuan karo yang lahir pada 8 Februari 1990 di Jakarta. Memiliki minat khusus pada bidang bahasa membuat saya senang membaca dan menulis. Menetap di Depok, dan telah menyelesaikan studi di Sastra Inggris Universitas Indonesia pada bulan Januari 2013. Saat ini bekerja pada bidang Expor-Impor di PT. Nissan Trading Indonesia.

Selanjutnya

Tutup

Lyfe Pilihan

Perayaan Sukacita Injil bagi Orang Muda Katolik Se-Indonesia

22 Februari 2017   16:44 Diperbarui: 23 Februari 2017   18:28 1508
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Di Paroki, peserta IYD Keuskupan Bogor berbaur bersama umat Paroki mengikuti acara penyambutan. Salah satu hal menarik, dan mungkin baru, yang dialami oleh kami para pendatang ini adalah pengalaman menikmati makanan istimewa khas Manado dan Minahasa, yang oleh warga setempat disebut sebagai menu “ekstrim”; disebut demikian karena makanan tersebut menggunakan berbagai jenis hewan yang tak lazim dimakan, bagi kami para pendatang, sebagai proteinnya. Sebagian peserta dari Bogor terlihat terkejut dan ragu untuk mencoba hidangan yang melimpah ruah dan unik tersebut, sementara sebagian lainnya terlihat bersemangat mencoba dan menikmati kuliner khas Manado tersebut. Memang benar ucapan yang mengatakan bahwa makanan bisa mencairkan suasana dan menyatukan banyak orang dengan efektif, sebentar saja keakraban mulai terjalin di antara ‘tuan rumah’ dan para ‘tamu’.

Setelah acara penyambutan selesai, pembagian lokasi live in pun dilakukan. Peserta dari Keuskupan Bogor yang berjumlah 98 orang ditempatkan dalam 4 lokasi, yaitu Paroki Pusat di Pinaesaan, Stasi Raraatean, Stasi Raanan Lama, dan Stasi Keroit. Salah satu hal menarik yang kami tangkap dari penjelasan Pastor Paroki ialah bahwa di wilayah Tompasobaru ini, lebih dari 95 persen warganya beragama Katolik, sehingga sering dijuluki VatikanKecil; suasana yang kami rasakan atas kondisi ini sangat jauh berbeda dengan situasi di tempat kami berasal – suasana kekeluargaan yang sangat kental ialah salah satu contohnya.

dokumen pribadi
dokumen pribadi
Salah satu lokasi live in yang akan lebih banyak dibahas di sini ialah Stasi Hati Kudus, Desa Raraatean, yang merupakan tempat tinggal sementara bagi saya dan 20 peserta lainnya, termasuk Pastor Komkep kami, RD Arie Fefu. Desa ini berjarak 20 menit perjalanan dengan mobil dari Pusat Paroki Tompasobaru. Setibanya di Gereja Hati Kudus, Stasi Raraatean, kami disambut oleh warga dan para calon ‘orang tua angkat’ yang telah sekian lama mempersiapkan diri menunggu kedatangan kami. Karena banyaknya umat yang bersemangat menerima peserta IYD dalam rumahnya, terdapat sedikit kekecewaan karena hanya 22 keluarga yang akan ‘ketempatan’ peserta live in, yang akan disebar secara berjauhan dan merata dalam 8 Wilayah Rohani pada Stasi tersebut. Akan tetapi semua bersukacita karena akan banyak waktu untuk berkenalan dan bertukar pikiran dalam beberapa hari tersebut.

Keluarga yang berbaik hati menerima saya ialah keluarga Bapak Hendra Rumondor dengan istrinya, Ibu Martini Wowor, beserta kedua anaknya Cinthia Rumondor dan Melissa Rumondor. Keluarga Rumondor-Wowor tinggal di daerah yang disebut ‘lorong’ – meskipun tidak ada lorong di sekitar sana, melainkan jalan menurun berbatu yang lebih cocok disebut lembah. Tinggal bersama keluarga ini merupakan hal yang sangat saya syukuri, karena meskipun Bapak dan Adik-adik cukup pendiam – hanya dengan Mama, begitu beliau menamakan dirinya, saya banyak berbicara – tertapi kebaikan dan perhatian mereka sangat saya rasakan.

Tinggal dalam suatu tempat yang hampir seluruh warganya beragama Katolik (hanya 2 keluarga di Desa Raraatean yang beragama Protestan) membuat saya merasakan sedikit culture shock. Umat desa ini – tidak hanya orang tua, tetapi juga OMK dan anak-anak – memiliki kehidupan rohani yang patut diacungi jempol. Oleh karena kedatangan kami bertepatan dengan dimulainya bulan Rosario, sejak malam itu kami mulai mengikuti ibadat Rosario keliling di Wilayah Rohani kami masing-masing; tempat live in saya termasuk dalam Wilayah Rohani Stefanus. Meskipun tinggal berjauhan dengan medan yang cukup menanjak dan berbatu, seluruh umat dalam wilayah datang menghadiri Ibadat Rosario. Kekaguman pun muncul ketika melihat bahwa tidak hanya orang tua saja yang hadir – seperti yang biasa ditemui dalam ibadat-ibadat lingkungan di Paroki saya – tetapi juga OMK dan anak-anak telah sejak dini dibiasakan untuk turut aktif dan berpartisipasi dalam ibadat, latihan koor, dan kegiatan pelayanan lainnya.

Salah satu konsep pelayanan lain yang cukup menarik di sini ialah umat Stasi Raraatean menerapkan konsep “Misa dari umat, oleh umat, dan untuk umat” secara nyata. Pada hari Sabtu malam, umat dari segala kalangan akan datang ke gereja untuk merapikan gereja, menata dekorasi, membersihkan dan mempersiapkan segala kebutuhan Misa esok paginya secara bergotong royong. Paduan suara pun berlatih pada malam itu dengan partisipasi anggota yang luar biasa (jumlah yang sangat banyak) dan kualitas suara yang luar biasa pula (power khas masyarakat Manado). Semua persiapan itu dilakukan hingga hampir tengah malam tanpa ada keluhan.

Keramahtamahan dapat dikatakan sebagai suatu hal yang dibudayakan dengan baik di sini. Baru sebentar saja, saya sudah dibuat kagum dengan kebiasaan senyum, salam, dan sapa yang dilakukan warga desa ini saat berpapasan dengan siapa pun di perjalanan. Sangat sesuai dengan semboyan yang sering diucapkan: Torang samua basudara! Beberapa hal lain yang saya temui bahkan kebalikan dari hal yang kami alami dalam keseharian di tempat asal kami. Dalam sepanjang perjalanan dari Manado menuju Raraatean, kami melihat bahwa toa, yang umumnya ditemui sebagai alat pengeras suara keluar dari Masjid, di Manado digunakan sebagai sarana pengeras suara keluar dari Gereja – untuk memanggil umat agar berkumpul sebelum Misa dimulai, mengingatkan jadwal ibadah dan latihan koor, atau sebagai sarana untuk menyapa atau mengucapkan terima kasih; kami sempat terpana mendengar sapaan selamat datang dan ucapan terima kasih yang ditujukan kepada kami dari toa gereja.

Setelah berbicang dengan Mama Tini, saya sempat tertegun ketika mengetahui bahwa tidak semua Stasi bisa mengadakan Misa setiap minggu seperti di Raraatean – sebagai Stasi dengan umat terbanyak – pada Stasi lain Misa diadakan hanya sekitar 2 kali dalam sebulan yang disebabkan karena kurangnya umat dan imam. Mirisnya hati mengetahui ironi kenyataan ini setelah melihat besarnya semangat pelayanan umat tapi tidak bisa terfasilitasi dengan maksimal, sehingga membuat diri tersadarkan betapa beruntungnya kondisi yang saya miliki di Paroki Herkulanus dan banyaknya kesempatan untuk melakukan pelayanan di kehidupan menggereja dan bermasyarakat, tapi justru kadang tidak dimanfaatkan. 

Pada Misa Minggu pagi di hari kedua live in kami yang dimulai pukul 8, peserta diajak dan dilibatkan untuk berpartisipasi dengan porsi yang cukup besar pada Misa Inkulturatif – dalam rangka IYD – yang walaupun dengan umat yang tidak begitu banyak, tetapi merupakan keseluruhan warga Stasi Hati Kudus, semua umat hadir pada Misa.

Keterlibatan Kontingen Keuskupan Bogor dalam Misa tersebut ialah dengan Romo Arie sebagai pemimpin Misa, dan OMK Bogor sebagai bagian dari paduan suara. Secara khusus kami diminta untuk membawakan 2 lagu pada Pengantar Persembahan dan saat Komuni – penampilan dadakan apa adanya yang tidak sebanding dengan penampilan paduan suara Gereja Hati Kudus yang padu dan bersemangat. Selain dalam paduan suara, beberapa dari kami juga bertugas sebagai pemazmur dan pembawa persembahan. Mengingat posisi kami sebagai pendatang, keterlibatan kami pada Misa ini merupakan kehormatan yang sangat besar.

Kegiatan kami selanjutnya dalam live in ini ialah mengikuti kegiatan normal keluarga angkat kami yang berkisar seputar berkebun, berternak, dan berjualan hasil usaha dari berkebun dan berternak. Kehidupan ini baru dan menarik bagi sebagian peserta live in yang mayoritas hidup di kota dan jauh dari berbagai kegiatan fisik di alam terbuka. Oleh sebab itu, kami mensyukuri segala pengalaman yang kami dapatkan di sini dengan udara dan alam yang indah. Bahagia rasanya dapat menghirup udara segar yang bebas polusi, dan merasakan air yang sejuk dan menyegarkan, menikmati hijau dan asrinya pemandangan pohon, danau, gunung, dan hutannya setiap saat. Disuguhkan alam yang begitu indah, siapa yang membutuhkan kendaraan untuk berpindah tempat? Tidak seperti di perkotaan, yang meskipun jarak suatu tempat berdekatan, tetapi kebanyakan orang memilih menggunakan kendaraan bermotor untuk bergerak. Meskipun demikian, dengan jarak daerah yang berjauhan dan dengan jalanan berbatu, beberapa warga Raraatean juga menggunakan motor untuk bepergian. Dengan medan yang cukup menantang, yang terlihat pantas untuk digunakannya motor trail off-road, warga setempat sangat terbiasa dengan kondisi jalan yang berbatu, licin, dan curam. Bahkan berboncengan bertiga dapat dilakukan dengan mudah pada kondisi jalan semacam itu oleh pengendara perempuan dengan menggunakan motor matic.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun