Mohon tunggu...
Amanda Cornella Meliala
Amanda Cornella Meliala Mohon Tunggu... karyawan swasta -

Amanda Cornella Meliala, seorang perempuan karo yang lahir pada 8 Februari 1990 di Jakarta. Memiliki minat khusus pada bidang bahasa membuat saya senang membaca dan menulis. Menetap di Depok, dan telah menyelesaikan studi di Sastra Inggris Universitas Indonesia pada bulan Januari 2013. Saat ini bekerja pada bidang Expor-Impor di PT. Nissan Trading Indonesia.

Selanjutnya

Tutup

Lyfe Pilihan

Perayaan Sukacita Injil bagi Orang Muda Katolik Se-Indonesia

22 Februari 2017   16:44 Diperbarui: 23 Februari 2017   18:28 1508
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
“Perhelatan pertemuan Orang Muda Katolik (OMK) se-Indonesia, yang diadakan setiap 4 tahun sekali, pada tahun ini kembali dilaksanakan. Pertemuan yang disebut sebagai Indonesian Youth Day pada 2016 ini dilaksanakan di Manado, Sulawesi Utara, pada 1-6 Oktober, setelah 4 tahun sebelumnya diadakan di Sanggau, Kalimantan Barat.” | sumber: Keuskupan Bogor

Indonesian Youth Day II – Manado, 1-6 Oktober 2016

Oleh Amanda C. Meliala

Sebagai anggota gereja dan bangsa, OMK tampil sebagai generasi yang memberikan harapan. Gereja dan bangsa menaruh harapan masa depan pada pundak OMK, namun harapan tersebut diletakkan dalam keperihatinan bahwa kaum muda mengalami pun mulai mengalami krisis. Mereka cenderung tidak lagi akrab – bahkan alergi dengan tradisi dan hidup menggereja dengan segala atributnya. Gereja sadar bahwa peran kaum muda di dalam dunia sungguh tidak tergantikan. Kaum muda adalah garda depan dan agen perubahan masyarakat. Akan tetapi peran ini tidak dapat dipungkiri harus berhadapan dengan kenyataan zaman yang menantang kaum muda untuk berubah seturut zaman namun tetap mempertahankan keluhuran nilai kekristenan.

Orang muda dalam perjumpaannya dengan kenyataan dunia, perlu saling berjumpa, memberi kesaksian dan saling meneguhkan. Salah satu wujud perjumpaan ini adalah melalui kegiatan Indonesian Youth Day, yang menghimpun sebanyak mungkin orang muda Katolik dari seluruh penjuru nusantara, untuk berjumpa, memberi kesaksian dan saling meneguhkan. Kegiatan Hari Orang Muda Katolik yang sudah berlangsung di Sanggau pada 20-26 Oktober 2012 sudah meninggalkan kesan mendalam bagi para peserta, khususnya OMK. Pengalaman perjumpaan antar OMK dan perjumpaan dengan umat dan bahkan dengan masyarakat setempat, dengan latar belakang budaya yang berbeda, merupakan suatu kesempatan yang sangat memperkaya pengalaman hidup dan iman OMK.

Adapun kegiatan Indonesian Youth Day 2016, yang merupakan kali ke-2 diadakannya pertemuan Nasional OMK, ini akan dilaksanakan di pulau Sulawesi, tepatnya di Keuskupan Manado, Sulawesi Utara.

Indonesian Youth Day (IYD) II ini diikuti oleh 2,584 peserta – yang notabene ialah Orang Muda Katolik dari seluruh Indonesia, didampingi oleh SKP, frater, dan pastor dari masing-masing Keuskupan – dari 37 provinsi dan 1 Keuskupan Malaysia. Jumlah ini sangatlah sedikit jika dibandingkan dengan antusiasme dan animo ribuan OMK lainnya yang juga bersemangat untuk ikut berpartisipasi dalam kegiatan ini, namun karena berbagai hal belum berkesempatan mewakili paroki dan keuskupannya.

Pada dasarnya, IYD merupakan kegiatan yang dipersiapkan dari OMK, oleh OMK, dan untuk OMK. Oleh karena itu, OMK-lah yang pada kegiatan kesempatan ini harus berperan secara aktif dalam mempersiapkan, melaksanakan dan menindaklanjuti kegiatan IYD ini. Melalui pertemuan ini, OMK diharapkan dapat semakin meluaskan wawasan pengenalan dan pemahaman mereka tentang dinamika hidup, dan pada waktu yang bersamaan dapat membina diri untuk menjadi OMK yang lebih berkualitas ke depan.

Rangkaian kegiatan IYD yang berlangsung pada 1-6 Oktober 2016 ini terdiri dari 2 pokok kegiatan besar. Dalam 3 hari pertama, kegiatan Live In diadakan – di mana OMK dari semua keuskupan se-Indonesia disebar ke beberapa paroki di wilayah keuskupan Manado untuk mengalami kehidupan OMK di latar budaya yang berbeda, dan berinteraksi dan beradaptasi dalam kehidupan umat paroki dan bahkan masyarakat setempat dalam kompleksitas kehidupan mereka, dan dalam prosesnya turut memberikan inspirasi dalam karya pelayanan secara timbal balik bagi umat dan masyarakat setempat. Selanjutnya, dimulai pada tanggal 4 Oktober 2016, OMK dari semua keuskupan se-Indonesia berkumpul bersama dalam kegiatan pembinaan melalui seminar dan katekese dengan topik-topik yang erat kaitannya dengan kehidupan OMK untuk memberikan masukan bagi perkembangan dan kemajuan OMK ke depan.

Oleh karena Live In merupakan kegiatan besar yang mengawali IYD II 2016 ini, kedatangan kontingen-kontingen dari seluruh keuskupan di Indonesia disambut langsung oleh umat dari stasi-stasi dan paroki-paroki tempat  masing-masing kontingen keuskupan akan tinggal. Kedatangan peserta di Bandara Sam Ratulangi disambut dengan pertunjukan music kolintang yang mengiringi suara merdu dari perwakilan OMK Keuskupan Manado. Sebagai bagian dari kontingen Keuskupan Bogor, kami disambut dengan meriah dan hangat oleh umat dari Paroki St. Paulus Tompasobaru, yang merupakan rumah dari keluarga-keluarga baru tempat kami hidup selama 3 hari. Tidak hanya para orang tua, orang-orang muda dari Tompasobaru pun ikut mengawal kedatangan kami dengan iring-iringan motor dalam jumlah yang cukup besar – sungguh antusiasme yang sangat membuat kami semua terharu dengan awal yang menentramkan hari, sehingga letihnya tubuh perjalanan yang ditempuh dari Manado menuju Tompasobaru selama 4 jam itu tak dirasakan lagi.

Rombongan kendaraan yang beriringan menuju pusat Paroki St. Paulus Tompasobaru pun disambut oleh para petinggi daerah tersebut, Camat (Bapak Henri Palit), Hukum Tua – istilah lain bagi jabatan Kepala Desa – perwakilan Kepolisian, Pastor dan Pengurus Paroki, Pejabat Pemerintahan, serta sejumlah besar warga Desa Tompasobaru, termasuk di dalamnya umat Paroki St. Paulus dan umat dari agama lain di desa itu. Saat memasuki batas wilayah Tompasobaru, Kontingen Keuskupan Bogor disambut dengan Tarian Perang khas daerah Minahasa yang energik. Kemudian dilakukan penyerahterimaan Salib IYD Keuskupan Bogor kepada Bapak Henri, sebagai simbol penerimaan warga Tompasobaru atas kedatangan kontingen Keuskupan Bogor dalam rangka IYD II ini.

Setelah salib diterimakan oleh Camat Tompasobaru, perarakan dilanjutkan menuju Gereja Paroki St. Paulus dengan iringan drumband dan tarian adat dari anak-anak Tompasobaru yang penuh semangat. Salib IYD kemudian kembali kepada Pastor Paroki St. Paulus (RD. Marianus Toyo), untuk kemudian disemayamkan di Kapel Pastoran Paroki, sebagai simbol penerimaan paroki atas kedatangan kami untuk kemudian disebar di stasi-stasi Paroki St. Paulus Tompasobaru.

Di Paroki, peserta IYD Keuskupan Bogor berbaur bersama umat Paroki mengikuti acara penyambutan. Salah satu hal menarik, dan mungkin baru, yang dialami oleh kami para pendatang ini adalah pengalaman menikmati makanan istimewa khas Manado dan Minahasa, yang oleh warga setempat disebut sebagai menu “ekstrim”; disebut demikian karena makanan tersebut menggunakan berbagai jenis hewan yang tak lazim dimakan, bagi kami para pendatang, sebagai proteinnya. Sebagian peserta dari Bogor terlihat terkejut dan ragu untuk mencoba hidangan yang melimpah ruah dan unik tersebut, sementara sebagian lainnya terlihat bersemangat mencoba dan menikmati kuliner khas Manado tersebut. Memang benar ucapan yang mengatakan bahwa makanan bisa mencairkan suasana dan menyatukan banyak orang dengan efektif, sebentar saja keakraban mulai terjalin di antara ‘tuan rumah’ dan para ‘tamu’.

Setelah acara penyambutan selesai, pembagian lokasi live in pun dilakukan. Peserta dari Keuskupan Bogor yang berjumlah 98 orang ditempatkan dalam 4 lokasi, yaitu Paroki Pusat di Pinaesaan, Stasi Raraatean, Stasi Raanan Lama, dan Stasi Keroit. Salah satu hal menarik yang kami tangkap dari penjelasan Pastor Paroki ialah bahwa di wilayah Tompasobaru ini, lebih dari 95 persen warganya beragama Katolik, sehingga sering dijuluki VatikanKecil; suasana yang kami rasakan atas kondisi ini sangat jauh berbeda dengan situasi di tempat kami berasal – suasana kekeluargaan yang sangat kental ialah salah satu contohnya.

dokumen pribadi
dokumen pribadi
Salah satu lokasi live in yang akan lebih banyak dibahas di sini ialah Stasi Hati Kudus, Desa Raraatean, yang merupakan tempat tinggal sementara bagi saya dan 20 peserta lainnya, termasuk Pastor Komkep kami, RD Arie Fefu. Desa ini berjarak 20 menit perjalanan dengan mobil dari Pusat Paroki Tompasobaru. Setibanya di Gereja Hati Kudus, Stasi Raraatean, kami disambut oleh warga dan para calon ‘orang tua angkat’ yang telah sekian lama mempersiapkan diri menunggu kedatangan kami. Karena banyaknya umat yang bersemangat menerima peserta IYD dalam rumahnya, terdapat sedikit kekecewaan karena hanya 22 keluarga yang akan ‘ketempatan’ peserta live in, yang akan disebar secara berjauhan dan merata dalam 8 Wilayah Rohani pada Stasi tersebut. Akan tetapi semua bersukacita karena akan banyak waktu untuk berkenalan dan bertukar pikiran dalam beberapa hari tersebut.

Keluarga yang berbaik hati menerima saya ialah keluarga Bapak Hendra Rumondor dengan istrinya, Ibu Martini Wowor, beserta kedua anaknya Cinthia Rumondor dan Melissa Rumondor. Keluarga Rumondor-Wowor tinggal di daerah yang disebut ‘lorong’ – meskipun tidak ada lorong di sekitar sana, melainkan jalan menurun berbatu yang lebih cocok disebut lembah. Tinggal bersama keluarga ini merupakan hal yang sangat saya syukuri, karena meskipun Bapak dan Adik-adik cukup pendiam – hanya dengan Mama, begitu beliau menamakan dirinya, saya banyak berbicara – tertapi kebaikan dan perhatian mereka sangat saya rasakan.

Tinggal dalam suatu tempat yang hampir seluruh warganya beragama Katolik (hanya 2 keluarga di Desa Raraatean yang beragama Protestan) membuat saya merasakan sedikit culture shock. Umat desa ini – tidak hanya orang tua, tetapi juga OMK dan anak-anak – memiliki kehidupan rohani yang patut diacungi jempol. Oleh karena kedatangan kami bertepatan dengan dimulainya bulan Rosario, sejak malam itu kami mulai mengikuti ibadat Rosario keliling di Wilayah Rohani kami masing-masing; tempat live in saya termasuk dalam Wilayah Rohani Stefanus. Meskipun tinggal berjauhan dengan medan yang cukup menanjak dan berbatu, seluruh umat dalam wilayah datang menghadiri Ibadat Rosario. Kekaguman pun muncul ketika melihat bahwa tidak hanya orang tua saja yang hadir – seperti yang biasa ditemui dalam ibadat-ibadat lingkungan di Paroki saya – tetapi juga OMK dan anak-anak telah sejak dini dibiasakan untuk turut aktif dan berpartisipasi dalam ibadat, latihan koor, dan kegiatan pelayanan lainnya.

Salah satu konsep pelayanan lain yang cukup menarik di sini ialah umat Stasi Raraatean menerapkan konsep “Misa dari umat, oleh umat, dan untuk umat” secara nyata. Pada hari Sabtu malam, umat dari segala kalangan akan datang ke gereja untuk merapikan gereja, menata dekorasi, membersihkan dan mempersiapkan segala kebutuhan Misa esok paginya secara bergotong royong. Paduan suara pun berlatih pada malam itu dengan partisipasi anggota yang luar biasa (jumlah yang sangat banyak) dan kualitas suara yang luar biasa pula (power khas masyarakat Manado). Semua persiapan itu dilakukan hingga hampir tengah malam tanpa ada keluhan.

Keramahtamahan dapat dikatakan sebagai suatu hal yang dibudayakan dengan baik di sini. Baru sebentar saja, saya sudah dibuat kagum dengan kebiasaan senyum, salam, dan sapa yang dilakukan warga desa ini saat berpapasan dengan siapa pun di perjalanan. Sangat sesuai dengan semboyan yang sering diucapkan: Torang samua basudara! Beberapa hal lain yang saya temui bahkan kebalikan dari hal yang kami alami dalam keseharian di tempat asal kami. Dalam sepanjang perjalanan dari Manado menuju Raraatean, kami melihat bahwa toa, yang umumnya ditemui sebagai alat pengeras suara keluar dari Masjid, di Manado digunakan sebagai sarana pengeras suara keluar dari Gereja – untuk memanggil umat agar berkumpul sebelum Misa dimulai, mengingatkan jadwal ibadah dan latihan koor, atau sebagai sarana untuk menyapa atau mengucapkan terima kasih; kami sempat terpana mendengar sapaan selamat datang dan ucapan terima kasih yang ditujukan kepada kami dari toa gereja.

Setelah berbicang dengan Mama Tini, saya sempat tertegun ketika mengetahui bahwa tidak semua Stasi bisa mengadakan Misa setiap minggu seperti di Raraatean – sebagai Stasi dengan umat terbanyak – pada Stasi lain Misa diadakan hanya sekitar 2 kali dalam sebulan yang disebabkan karena kurangnya umat dan imam. Mirisnya hati mengetahui ironi kenyataan ini setelah melihat besarnya semangat pelayanan umat tapi tidak bisa terfasilitasi dengan maksimal, sehingga membuat diri tersadarkan betapa beruntungnya kondisi yang saya miliki di Paroki Herkulanus dan banyaknya kesempatan untuk melakukan pelayanan di kehidupan menggereja dan bermasyarakat, tapi justru kadang tidak dimanfaatkan. 

Pada Misa Minggu pagi di hari kedua live in kami yang dimulai pukul 8, peserta diajak dan dilibatkan untuk berpartisipasi dengan porsi yang cukup besar pada Misa Inkulturatif – dalam rangka IYD – yang walaupun dengan umat yang tidak begitu banyak, tetapi merupakan keseluruhan warga Stasi Hati Kudus, semua umat hadir pada Misa.

Keterlibatan Kontingen Keuskupan Bogor dalam Misa tersebut ialah dengan Romo Arie sebagai pemimpin Misa, dan OMK Bogor sebagai bagian dari paduan suara. Secara khusus kami diminta untuk membawakan 2 lagu pada Pengantar Persembahan dan saat Komuni – penampilan dadakan apa adanya yang tidak sebanding dengan penampilan paduan suara Gereja Hati Kudus yang padu dan bersemangat. Selain dalam paduan suara, beberapa dari kami juga bertugas sebagai pemazmur dan pembawa persembahan. Mengingat posisi kami sebagai pendatang, keterlibatan kami pada Misa ini merupakan kehormatan yang sangat besar.

Kegiatan kami selanjutnya dalam live in ini ialah mengikuti kegiatan normal keluarga angkat kami yang berkisar seputar berkebun, berternak, dan berjualan hasil usaha dari berkebun dan berternak. Kehidupan ini baru dan menarik bagi sebagian peserta live in yang mayoritas hidup di kota dan jauh dari berbagai kegiatan fisik di alam terbuka. Oleh sebab itu, kami mensyukuri segala pengalaman yang kami dapatkan di sini dengan udara dan alam yang indah. Bahagia rasanya dapat menghirup udara segar yang bebas polusi, dan merasakan air yang sejuk dan menyegarkan, menikmati hijau dan asrinya pemandangan pohon, danau, gunung, dan hutannya setiap saat. Disuguhkan alam yang begitu indah, siapa yang membutuhkan kendaraan untuk berpindah tempat? Tidak seperti di perkotaan, yang meskipun jarak suatu tempat berdekatan, tetapi kebanyakan orang memilih menggunakan kendaraan bermotor untuk bergerak. Meskipun demikian, dengan jarak daerah yang berjauhan dan dengan jalanan berbatu, beberapa warga Raraatean juga menggunakan motor untuk bepergian. Dengan medan yang cukup menantang, yang terlihat pantas untuk digunakannya motor trail off-road, warga setempat sangat terbiasa dengan kondisi jalan yang berbatu, licin, dan curam. Bahkan berboncengan bertiga dapat dilakukan dengan mudah pada kondisi jalan semacam itu oleh pengendara perempuan dengan menggunakan motor matic.

dokumen pribadi
dokumen pribadi
Tidak hanya berinteraksi dengan keluarga angkat, dalam live ini yang singkat ini, OMK Bogor pun menjalin persahabatan dengan OMK Raraatean, yang meskipun awalnya terlihat menahan diri namun tak butuh waktu lama bagi kami untuk menjadi seperti saudara. Bersama-sama kami memanfaatkan waktu untuk saling mengenal dengan saling berkunjung dan bertukar cerita tentang apa pun – pengalaman, budaya daerah masing-masing, isu umum yang sedang hangat diperbincangkan, dan bahkan sekedar berbagi kisah sehari-hari – dengan asik seperti teman lama yang dipertemukan kembali. Dalam kunjungan-kunjungan tersebut, kami sedikit banyak belajar mengenai cara merawat ternak babi, mencoba lebih banyak macam kuliner – yang lezat, unik, dan berlimpah – serta menjelajah alam pegunungan yang indah. Selain melakukan kunjungan ke rumah teman-teman OMK lainnya, keakraban kami pun dieratkan dengan malam keakraban – yang mencairkan kekakuan dengan banyak permainan (ice breaking) dan sharing pengalaman hidup ber-OMK masing-masing – kegiatan jalan pagi ke kebun singkong, menikmati alam bersama sambil menikmati air kelapa muda yang menyegarkan, dan perjalanan spontan ke Puncak Trans dengan iring-iringan motor dan mobil pick-up untuk melihat sisi keindahan tanah Manado lainnya. Sepulangnya kami dari perjalanan itu, sudah tidak ada ‘jarak’ yang membatasi keakraban OMK Bogor dan OMK Raraatean.

Akan tetapi, sungguh disayangkan kebersamaan ini tidak dapat lama kami nikmati, karena di malam hari ketiga diadakan acara perpisahan dan pelepasan kami dari kegiatan live in di Desa Raraatean. Acara perpisahan berlangsung dengan meriah hingga larut malam; makanan tersaji dengan mewah dan melimpah – yang merupakan wujud dari kebiasaan gotong royong warga dengan membawakan 1 jenis makanan dari masing-masing keluarga ke dalam suatu pesta rakyat, dengan demikian sesuai dengan pepatah “berat sama dipikul, ringan sama dijinjing” – diselingi dengan musik dan tarian khas kedua daerah (khas Sulawesi dan Jawa) yang dengan akrab dilantunkan bersama dan tanpa sekat, mengelilingin api unggun. Dalam malam perpisahan ini, perwakilan dari semua pihak saling menyampaikan ucapan terima kasih dan memberikan kesan dan pesan atas 3 hari kebersamaan. Di penghujung acara, salah satu OMK berinisiatif mengajak semua peserta live in untuk menyampaikan ucapan terima kasih secara langsung dan personal kepada orang tua angkat masing-masing, yang membuat suasana malam itu diliputi haru. Kemudian, sebagai penutup malam itu, seluruh OMK bergoyang bersama dalam alunan musik disko yang meriah dan musik daerah yang unik dan penuh semangat.

Pagi-pagi sekali pada 4 Oktober 2016, rombongan warga Raraatean dan desa-desa lainnya di Tompasobaru mengantarkan seluruh Kontingen Keuskupan Bogor untuk berkumpul di Pusat Paroki St. Paulus sebagai penutup perjumpaan singkat live in tersebut. Masing-masing dari kami dibekali dengan makan siang dan buah tangan dari orang tua angkat, seta kenang-kenangan berupa baju OMK Paroki Tompasobaru. Tidak disangka perpisahan atas pertemuan yang terbilang singkat ini terasa begitu mengharukan, dan tanpa terasa air mata pun diteteskan.

Tidak hanya Kontingen Kesukupan Bogor, pada hari itu seluruh peserta IYD II berpisah dengan keluarga live in-nya untuk kemudian berkumpul di Lapangan Wolter Mongisidi Sario Manado sebelum kemudian dilakukan defile – perarakan barisan atau parade – ke stadion Klabat di mana puncak dari rangkaian acara Pembukaan Indonesian Youth Day II dilangsungkan. Defile peserta IYD dari Keuskupan-keuskupan seluruh Indonesia ini luar biasa – rasa kesatuan dan kebanggaan akan tanah air sangat dirasakan pada saat defile ini. Meskipun berasal dari budaya yang berbeda-beda, kita semua adalah satu, yaitu OMK yang 100% Katolik dan 100% Indonesia. Defile ini merupakan ajang untuk menampilkan budaya inkulturatif Indonesia yang sangat kaya; masing-masing kontingen menunjukkan kekhasan daerah Kesukupannya dengan busana, penampilan, serta yel-yel yang unik dan meriah. Sukacita dirasakan tidak hanya oleh peserta IYD saja, tetapi juga seluruh warga Manado yang mengiringi defile peserta dan yang telah menunggu untuk menyambut di Stadion Klabat; sebagai rasa terima kasih kepada warga Tompasobaru, OMK Bogor mengenakan kaos Paroki St. Paulus sebagai seragam kontingen di acara pembukaan IYD ini.

Kemeriahan perayaan pembukaan pertemuan OMK Se-Indonesia ini berlanjut dengan lebih meriah di Stadion Klabat. Penampilan-penampilan menarik dari seluruh penjuru Nusantara bergantian memeriahkan panggung utama Stadion Klabat. Pembukaan IYD II ini diresmikan dengan Misa yang dipimpin secara konselebrasi oleh para Uskup dari masing-masing Kontingen secara inkulturatif, dengan seremonial perarakan Salib IYD dari seluruh Keuskupan dan penyerahan Salib Utama dari tuan rumah IYD I, yaitu Keuskupan Sanggau, ke tuan rumah IYD II, yaitu Keuskupan Manado. Rasa nasionalisme dan semangat jiwa muda sungguh sangat dirasakan ketika seluruh umat di Stadion Klabat bersama-sama menyanyikan lagu kebangsaan Indonesia Raya dan Theme Song IYD II.

Malam itu, seluruh peserta IYD bersama dengan kontingen masing-masing berangkat menuju Seminari Tinggi Hati Kudus Yesus Pineleng, Skolastikat dan Pra-Novisiat MSC Pineleng, Susteran DSY Lotta, dan Sentrum Agraris Lotta, untuk kegiatan lainnya, dan yang juga telah ditentukan sebagai tempat untuk beristirahat selama acara pokok kedua IYD berlangsung; dari tanggal 4-6 Oktober 2016. Seluruh lokasi penginapan ini terletak di sekitar venue utama – yaitu Wisma Lorenzo dan Emmanuel Amphitheater, Catholic Youth Center, Lotta – dan venue-venue peninjang tempat seminar-seminar yang disebut sebagai “Tempat Ngopi: Ngobrol Pintar” dilangsungkan. Pemilihan lokasi tersebut didasarkan pada pertimbangan bahwa Desa Lotta secara historis mempunyai catatan sejarah sebagai pusat pembinaan iman umat Katolik (Sentrum Kateketik) Keuskupan Manado, khususnya pembekalan dan pengkaderan pimpinan-pimpinan umat. Selain itu, Desa Lotta dapat dijangkau dengan mudah dari berbagai arah: Manado, Minahasa, Minahasa Utara, Minahasa Selatan, Tomohon dan sekitarnya. Pemanfaatan tempat-tempat pembinaan (seminari tinggi, skolastikat, pronovisiat, susteran dan sentrum agraris) pun tidak hanya ditujukan sebagai venue penunjang selama IYD berlangsung, tetapi juga sekaligus memberikan dampak pastoral bagi para frater dan suster.

Ikut mengantarkan kami ke Biara Hati Kudus Skolastikat MSC adalah teman-teman OMK Raraatean, yang pada sepanjang acara pembukaan ikut menemani dan bersukacita bersama kami. Mereka – yang pada awalnya hanya merupakan orang-orang asing yang ramah, kini menjadi keluarga baru bagi kami – bahkan kerap kali datang berkunjung ke Lotta di sela-sela kegiatan kami yang padat hanya untuk bertegur sapa dan membawakan buah tangan. Keluarga live in ini ialah salah satu dari sekian banyak hikmah positif yang kami dapatkan dari pekan IYD II di Manado ini.

Selama 3 hari di Desa Lotta, seluruh peserta IYD berkumpul bersama dalam kegiatan pembinaan melalui sesi seminar dan katekese, yang dilakukan dalam kelompok-kelompok kecil dan kelompok besar dengan para narasumber yang sangat ahli di bidangnya. Kelompok kecil dinamai dengan nama jenis-jenis makanan khas Minahasa Selatan; sebagai contoh ialah kelompok Babi Garo, yang pada sesi-sesi Ngobrol Pintar (Ngopi) mengusung tema “OMK dan Moralitas Hidup”.

Dengan subtema “Pentingnya Moralitas Katolik, terutama bagi OMK”, Mgr. Antonius Benyamin, OCD (Uskup Bandung), sebagai narasumber sesi 1, menjelaskan perbedaan moralitas dan etika. Pada dasarnya, selain bersifat praktis, moralitas berkaitan dengan suara hati dan ditentukan oleh pakem masyarakat – sementara etika bersifat filosofis, berkaitan dengan tindakan etis sesuai dengan kaidah rasional, dan ditentukan oleh akal budi/ hati nuani. Moralitas Katolik ialah penilaian baik buruknya manusia menurut tata cara dan nilai2 Katolik (terutama kasih) sebagai tanggapan atas iman kita kepada Yesus di bawah bimbingan Roh Kudus dalam Gereja Katolik. Pakem Moralitas Katolik ialah pada 10 Perintah Allah, 5 Perintah Gereja, dan Perintah Utama Allah, yaitu:

“Kasihilah Tuhan Allahmu dengan segenap hatimu, dengan segenap jiwamu, dengan segenap kekuatanmu, dan dengan segenap akal budimu. Dan kasihilah sesama manusia seperti dirimu sendiri (Im 19: 18, Mat 22: 39, Luk 10: 27).”

Hal utama yang disoroti dalam Moralitas Katolik menurut Mgr. Antonius ialah hal kasih terhadap sesame, seperti ditemukan dalam penggalan ayat berikut: “Hendaklah kamu saling mengasihi satu sama lain, sama seperti Aku telah mengasihi kamu (Yoh 13: 14).” Perumpamaan tentang Pria Samaria pada Lukas 10: 25 – 37 merupakan contoh konkret Moralitas Katolik yang tajam. Menanggapi pertanyaan peserta mengenai etika dan moral yang memudar dan digantikan dengan munculnya egosentrisme dan apatisme di kalangan OMK, Mgr. Antonius mengatakan bahwa, “Sebagai tonggak gereja di masa kini dan masa depan, orang muda harus dapat melawan godaan yang menumpulkan suara hati; jangan mengkhianati suara hati, dan segeralah bertobat jika terjatuh. Jadilah orang katolik yang tidak biasa di tengah orang-orang yang biasa.” Terhadap kecenderungan tumpulnya moralitas OMK, Mgr. Antonius mengajak OMK untuk memulai perubahan dari diri sendiri. Ketika diri sendiri sudah memiliki moral dan etika baik, baru bisa membuat perubahan bagi sekitar; dengan kata lain, untuk menjadi garam dan terang dunia pun harus dimulai dari diri sendiri. Baru-baru ini di Bandung diadakan Sinode OMK untuk menentukan arah gereja dengan fokus pada orang muda yang unggul sebagai pilar gereja, dan orang muda yang menjadi teladan bagi gereja, keluarga, dan masyarakat. 

Berbeda dengan sesi 1 yang menekankan pada moralitas dari segi batiniah (spiritualitas), sesi 2 pada Ngopi hari itu lebih berfokus pada moralitas dari segi lahiriah (seksualitas), dengan narasumber Dr. Alix Mulyani Budi dan Rico Arivano. Membahas secara gamblang mengenai penyebaran HIV AIDS dan efeknya bagi masyarakat sebagai penyebab menurunnya moralitas, Dr. Alix mengatakan bahwa dengan tumpulnya moralitas, terdapat suatu stigma atau penolakan terhadap suatu hal berdasarkan prasangka yang mengubah perilaku seseorang. Dewasa ini, seks pranikah sudah mulai dianggap lumrah, yang merupakan ciri lain penurunan moralitas – di sisi lain, kelumrahan tersebut tidak sejalan dengan keberanian untuk mau memperjuangkan kebenaran atas kenyataan yang ada; sebagai contoh: dokter menolak membantu persalinan ibu yang positif HIV AIDS, atau dokter terpaksa berbohong merahasiakan status HIV seseorang karena terikat sumpah medis, atau pelayanan kepada pasien dibedakan berdasarkan jumlah uang yang dibayarkan. Penurunan moralitas ini umumnya didasarkan pada alasan kemiskinan, kurangnya pengetahuan, dan ketidakpedulian terhadap lingkungan sekitar.

Rico Arivano, narasumber kedua yang merupakan motivator bagi kaum muda untuk isu pergaulan bebas, sependapat dengan Mgr. Antonius dengan menekankan bahwa untuk mengatasi penurunan moralitas ini, anak muda harus berbuat sesuatu untuk perubahan; jangan hanya pintar berteori tapi lantas tak mengambil sikap. Selain itu, penting bagi anak muda untuk mau membagi keluh dan kesahnya kepada orang lain – membawa dosa ke ‘terang’/ pengakuan dosa – sehingga dosa tersebut tidak berakar dan merambat. Menurut Rico, banyak aturan moral yang dibiarkan karena dianggap tak ada dampak nyatanya justru malah berdampak besar dalam kehidupan. Oleh karena itu, ungkapkan terus sampai tak tahan sampai akhirnya kita berani membawa ‘gelap’ kita ke ‘terang’. Pada dasarnya, daya kekuatan Sakramen ada pada penerimaan diri, maka imanilah dengan sungguh-sungguh saat mengakukan dosa.

Semangat peserta IYD terlihat dengan jelas dalam sesi Ngopi pada kelompok-kelompok kecil ini; hampir semua peserta dalam kelompok Babi Garo bersemangat untuk menanggapi pemaparan para narasumber, yang tak hanya mumpuni dalam bidangnya, tetapi juga mampu menyampaikan materi dengan cara-cara yang menarik, sehingga membangkitkan antusiasme dan daya pikir kritis para peserta. Beberapa public figure pun diundang untuk menambah euforia peserta dalam sesi Ngopi ini; selebriti yang juga merupakan OMK ini ialah penyanyi Citra Skolastika dan presenter Daniel Mananta. Daniel dan 6 narasumber lainnya – yaitu Mgr. Yoseph Suwatan (Uskup Manado), Mgr. Petrus (Uskup Ambon), Perwakilan Dubes Vatikan untuk Indonesia, Frans Teguh (Asisten Deputi Pariwisata Indonesia), Stefanus Rizal (Motivator Muda), dan Regas Bhanuteja (Sutradara Film Pendek) – yang hadir pada sesi Ngopi dalam kelompok besar (seluruh peserta IYD) yang diadakan pada Emmanuel Amphitheater di hari selanjutnya, bahkan sampai kewalahan menghadapi antusiasme peserta yang memiliki bermacam-macam pertanyaan dan ide-ide menarik untuk dibagikan.

Meskipun tema yang diambil cukup berat: “Memaknai Nilai-nilai Kristiani”, dan diadakan dalam kelompok yang sangat besar (2,584 peserta), sesi Ngopi siang hari itu terlihat sangat ‘hidup’ dan bersemangat. Pertanyaan demi pertanyaan diajukan tanpa jeda, dan meskipun dibasahi sedikit rintik hujan, semua peserta terlihat menyimak dengan serius semua yang disampaikan; hal ini menunjukkan semangat jiwa muda dan rasa syukur atas pengalaman berharga yang mungkin hanya bisa dinikmati sekali saja sebagai Orang Muda Katolik tersebut.

Dalam memaknai hidup sebagai Katolik, OMK harus bisa mengubah dunia; karena setiap orang diciptakan dengan sungguh luar biasa, setiap orang bisa mengubah dunia, yang membatasinya hanyalah rasa takut. Pada sesi Ngopi yang inspiratif ini, OMK juga diajak untuk mau menghidupkan kembali gairah OMK di paroki masing-masing dengan belajar berpikir positif dan tidak menyerah pada mereka yang menarik diri dari gereja; dengan demikian bukannya menunggu perubahan pada dunia, OMK lah yang harus mengubah dunia. Pada dasarnya, setiap orang bisa berubah jika ada kemauan. Oleh karena itu, untuk menjadi agen perubahan, OMK harus bisa menjadi sumber inspirasi dengan menyebarkan kasih Kristus dalam kaum manapun (minoritas maupun mayoritas). Untuk menghidupi Injil dengan sukacita di masyarakat yang majemuk, kaum muda Katolik hendaknya tidak menganggap diri sebagai kaum minoritas. Segala kesulitan dapat dipecahkan jika kita memiliki hubungan dan dialog yang baik dengan saudara-saudara lain. Mgr. Yoseph juga menghimbau OMK untuk dapat menjalani hubungan yang baik dengan kaum lain, maka kehidupan spiritual kita semua akan berjalan dengan damai dan tentram – karena pada dasarnya, perbedaan justru menguji dan menguatkan iman kita.

Semua yang kita lakukan dalam era ini membutuhkan semangat yang memantapkan hati; dalam IYD, terjadi perjumpaan dan dialog sebagai bagian dari evangelisasi, untuk mengisi jalur-jalur yang dibutuhkan dalam perjalanan memantapkan iman katolik. Menurut Bapa Uskup Ambon, Mgr. Petrus, “Orang muda adalah pembawa damai, orang muda adalah seniman masa depan. Orang muda, buatlah kebisingan di dunia ini!” Yang dimaksud dengan kebisingan di sini ialah perubahan untuk mengubah dunia, dan untuk mengubah dunia dibutuhkan 3 nilai utama perwujudan kasih, yaitu kebaikan, kebenaran, dan keindahan. Mgr. Petrus yang menekankan pada perbuatan baik sebagai langkah utama perubahan menyatakan bahwa, “Kalau ingin dicintai, cintailah sesamamu terlebih dahulu. Dan jangan berhenti berbuat baik; apa yang kau lakukan mungkin akan dilupakan, tapi semua pasti akan berbuah baik.”

Terdapat beberapa pernyataan pula mengenai hubungan romansa dan pernikahan berbeda agama dari para peserta, yang ditanggapi dengan jawaban menarik dari para narasumber. Bapa Uskup Mgr. Petrus menghimbau agar OMK tidak berpacaran dengan orang beragama bukan Katolik, karena keluarga dengan perkawinan beda agama umumnya lebih banyak menemui hambatan, dan meningkatkan risiko perpisahan yang diharamkan di gereja Katolik. Regas dan Daniel yang memiliki pasangan beda agama menanggapinya dengan jawaban diplomatis, bahwa “Cinta adalah energi dari alam di sekitar kita yang tidak akan bisa dihindari; jika kita mencintai seseorang dengan tulus, maka Tuhan akan memberikan jalan yang paling baik” (Regas). Daniel pun berpendapat agar OMK hendaknya senantiasa meminta petunjuk dari Tuhan dalam memilih pasangan; jika Tuhan tidak berkenan, akan diberikanNya yang terbaik bagi kita, tetapi jika sebaliknya, pasti akan ditunjukkanNya jalan.

Topik lain yang juga menjadi perhatian OMK ialah mengenai fundamentalis agama, yang juga ditanggapi oleh para narasumber dengan mengajak OMK untuk mengutamakan kasih; bahwa perbedaan tidak untuk dipertandingkan, tetapi untuk diterima, dirangkul, dan dijadikan sarana untuk menguji iman kita, karena kebenaran ada di mana-mana, tapi kebenaran sejati ada pada iman kita masing-masing. Perbedaan dapat dijembatani dengan pertemuan dan dialog, dan segala usaha untuk mengubah dunia sebaiknya dilakukan dengan sukacita dari hal kecil, dari diri sendiri, dan dari sekarang. OMK pun diharapkan untuk tidak terjebak dan menjadi fundamentalis ekstrimis Katolik, karena jika semua orang berbahasa cinta kasih, bukan dengan bahasa golongan, kita akan menjadi kesatuan yang kuat. Topik ini menutup diskusi panjang hari itu; peserta kemudian meninggalkan tempat tersebut, merasa puas akan banyaknya pengetahuan dan pengalaman yang didapatkan, sambil mempersiapkan diri untuk Misa Penutupan IYD 2016.

Misa Penutupan diadakan pada malam puncak IYD 2016, yaitu pada 6 Oktober, yang juga merupakan Misa Perutusan bagi para peserta IYD untuk menyebarkan sukacita Injil di tengah lingkungan hidup masing-masing. Misa malam itu berlangsung dengan sangat meriah, dengan konselebrasi oleh para uskup seluruh Indonesia, dan dihadiri oleh puluhan imam, ribuan OMK, para tamu undangan, dan tuan rumah penyelenggara IYD 2016. Dalam Misa yang dipersembahkan secara inkulturatif ini, OMK dari masing-masing region mengambil tugas pelayanan sebagai paduan suara, lektor, pemazmur, pembaca doa umat, dan petugas persembahan. Setelah Misa berakhir, perwakilan dari masing-masing region menampilkan kebudayaan daerah mereka yang sangat unik dan beragam dan menyadarkan setiap orang yang hadir akan betapa kayanya negeri Indonesia.

Merangkum seluruh rangkaian kegiatan perjumpaan OMK se-Indonesia ini, dibuatlah Ikrar Indonesian Youth Day 2016 yang dirumuskan oleh beberapa perwakilan dari OMK dan pendamping, yang mencakup seluruh rangkaian kegiatan IYD II pada 1-6 Oktober 2016 ini. Dalam Ikrar disimpulkan berbagai pengalaman yang didapat peserta, kesadaran akan beragam realitas hidup yang ada pada diri dan sesama, perjuangan dan perkembangan diri yang dialami dalam prosesnya, pendewasaan diri dalam hal iman dan moralitas, kesadaran akan panggilan hidup sebagai agen perubahan, pewarta kasih Tuhan dan sukacita injil, dan tanggung jawab yang diemban untuk kembali ke tempat masing-masing dengan semangat yang sudah diperbarui untuk memaknai kehadiran dan perutusan sebagai Orang Muda Katolik di tengah-tengah Gereja dan Bangsa Indonesia.

OMK merupakan kekuatan pendorong (driving force) pada masa sekarang maupun masa datang bagi Gereja dan masyarakat yang memerlukan wawasan nasional. Sesuai dengan tema yang diusung “OMK: Sukacita Injil di Tengah Masyarakat Indonesia yg Majemuk”, dan dengan pendasaran dari perikop: “Pergilah, Jadikanlah Semua Bangsa MuridKu” (Matius 28: 19), IYD diselenggarakan sebagai sarana perjumpaan bagi OMK se-Indonesia untuk dapat melakukan sharing iman dan saling meneguhkan, sehingga diharapkan dapat menimbulkan inspirasi dan keberanian untuk membawa sukacita Injil di tengah masyarakat Indonesia yang majemuk. Melalui IYD, OMK memiliki peluang untuk membuka perspektif diri dan diharapkan dapat mempertebal solidaritas, jejaring dan kesatuan iman katolik bagi OMK seluruh Indonesia. Sudah sepatutnya OMK merasa bangga akan keKatolikan dan keIndonesiaannya, dan setiap momen pada Indonesian Youth Day mengarahkan OMK untuk senantiasa bersyukur akan kedua hal tersebut.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun