Setelah ditampar oleh ayah, aku berontak dan terjadilah adu argumentasi sampai saat ayah menyadari ada sesuatu yang tidak beres denganku.
"Aarav kamu merokok lagi?!"
Aku yang mendengar pertanyaan yang dilontarkan oleh ayah hanya bisa terdiam.
"Jawab ayah Aarav!"
Aku sama sekali tidak menjawab
"APA-APAAN KAMU SEPERTI ITU?! SUDAH AYAH BILANG JANGAN PERNAH MEROKOK LAGI AARAV! KAMU INI MASIH DI BAWAH UMUR! MAU JADI APA KAMU NANTINYA?!"
Ketika aku akan berbicara, tiba-tiba aku diseret ke kamar mandi dan dikunci hampir seharian disana. Jikalau bunda tidak membukakan pintu, aku tidak tahu bagaimana nasibku saat itu.
Itulah yang aku alami selama bertahun-tahun. Mendapatkan kekerasan kadang tanpa alasan yang jelas bagiku. Terlebih ketika aku menduduki bangku SMA. Pukulan dan cacian itu sudah menjadi makanan sehari-hari apalagi ketika aku terciduk sedang nongkrong di tempat biasa aku berkumpul dengan teman-teman, ketika aku terciduk sedang merokok, atau bahkan ketika pihak sekolah menelepon orang tuaku karena aku ketahuan ikut tawuran.
Walaupun ayah adalah ayah kandungku dan terkadang ayah bersikap bak malaikat. Tetapi entah mengapa kebencianku terhadapnya terus bertambah. Rasa sakit hati atas perlakuan kasar ayah terhadap aku dan bunda semakin merebak.
Pulang ke rumah terasa mimpi buruk bagiku. Rumahku bukan sebenar-benarnya rumah, entah harus disebut apa tempat itu. Tak jarang aku memilih kabur dari rumah ketika aku sudah tidak tahan dengan perlakuan ayah. Entah itu kabur ke villa keluargaku yang di Bogor, entah itu ke rumah temanku, atau bahkan diam di pinggir jalan bergabung dengan preman-preman di sana.
Hal itu terus terjadi sampai pada suatu saat aku merasakan sakit luar biasa di daerah sekitar pinggangku dan aku segera dilarikan ke rumah sakit. Sesampainya di sana ternyata ginjalku mengalami sedikit masalah tetapi untungnya itu tidak harus di operasi jadi aku hanya perlu menjalani pengobatan saja selama beberapa hari.