Mohon tunggu...
Amanda Bahraini
Amanda Bahraini Mohon Tunggu... Novelis - Penulis

Bekerja agar bisa menjadikan menulis sekadar hobi penghibur hati.

Selanjutnya

Tutup

Diary

Indonesia Negara Pecinta Fotokopi

27 April 2021   20:34 Diperbarui: 27 April 2021   21:15 132
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Diary. Sumber ilustrasi: PEXELS/Markus Winkler

Panas terik. Matahari sedang di puncak kepala. Saya baru saja mencapai pelataran sebuah bank nasional ketika tiba-tiba seorang satpam dengan perut buncit menyapa: "Apa keperluannya, Mba?"

"Mau bayar perpanjangan sewa makam Bapak saya, Pak,"

Satpam itu menerima sodoran selembar HVS tipis bertuliskan Surat Setoran Retribusi Daerah. Ada angka Rp.40.000 di sana. Kelurahan area saya tinggal menyuruh saya membayar sejumlah uang tersebut di bank nasional. Tidak, pembayaran tidak bisa dilakukan via ATM bank nasional tersebut yang ada di area parkir kelurahan - begitu kata petugas kelurahan yang saya tebak masih belia.

"Oh, fotokopi dulu aja, Mba. Satu rangkap."

Saya menghela napas. Fotokopi lagi. Selama saya mengurus pembayaran perpanjangan makam, ada 3 lokasi yang harus saya kunjungi, dan ada beberapa yang harus lebih dari satu kali. Pertama ke TPU tempat ayah saya dikuburkan untuk meminta surat pengantar, lalu ke kelurahan untuk mengurus sertifikat perpanjangan, lalu ke bank nasional untuk membayar biaya perpanjangan, lalu ke kelurahan kembali untuk mengambil sertifikat, lalu ke TPU lagi untuk menyerahkan sertifikat perpanjangan makam. Semuanya meminta fotokopi mandiri. Dua rangkap. Satu rangkap. Materai 10 ribu yang dibandrol seharga 16 ribu oleh gerai fotokopi dekat kelurahan.

Kalau memang semuanya membutuhkan fotokopi, kenapa tidak ada satupun yang menyediakan mesin fotokopi atau menyisakan tempat di gedungnya untuk tukang fotokopi menggelar lapak? 

Apakah cuma saya yang mau bersusah-susah 3 tahun sekali memperpanjang sewa makam orang tua? Apakah yang lain sudah menyerah saja membiarkan makam ditumpangi makam lain? 

Apalagi ini di bank, yang kemungkinan besar mengurus data-data yang lumayan penting. Masa mesin fotokopi saja tidak ada?

"Tapi agak jauh, Mba. Di deket masjid di sana, mau diantar saja?"

Membuka mulut saja saya sudah malas. 

Tanpa menjawab tawaran satpam, saya bergegas berjalan menuju masjid. Di tengah pandemi seperti ini, membonceng motor saja perlu berpikir berkali-kali. Rasanya badan ini sudah lelah, sedikit kecewa karena seharusnya urusan perpanjangan makam sudah bisa beres kemarin. Berdalih sistem online di kelurahan mendadak mati di jam makan siang, urusan terpaksa diundur hari ini. 

Meski rasanya ingin marah, semua tetap saya tahan. Karena sejatinya ini cuma bentuk bakti kecil yang bisa saya berikan pada orang tua yang telah tiada. Tapi sungguh, 15 tahun ayah saya berpulang, 5 kali saya mengurus perpanjangan makam, selalu saja ada fotokopi mandiri di dalamnya. Dan selama 15 tahun itu pula, tidak ada satu institusi yang terlibat berinisiatif menyediakan mesin fotokopi di tempat mereka.

Berbayar pun sebenarnya tak apa. Asal bisa mengurangi waktu berjalan mondar-mandir mempertanyakan apakah saya sedang dikerjai.

Apakah ini bagian dari program terselubung negara untuk membuat warganya lebih banyak bergerak? Tapi kita bukan Amerika, yang jumlah penderita obesitasnya tinggi. Jadi apa yang mencegah mereka untuk menciptakan sistem yang lebih efektif dengan warga yang sebagian besar ramping ini?

Atau sebenarnya kerja sama dengan pengusaha lapak fotokopi? Tapi mengapa tidak diperpendek saja jaraknya?

Saya sampai berpikir apakah sebaiknya saya membeli mesin fotokopi portabel? Kapan saja berurusan dengan fasilitas negara, bukan cuma urusan perpanjangan makam, tapi juga mengantri untuk BPJS, mengurus pajak, perpanjangan SIM, pasti ada saja perintah untuk membawa fotokopi mandiri. 

Kalau suatu hari nanti saya tak lagi bisa bekerja. Saya mau membeli mesin fotokopi dan menggelar jasa fotokopi keliling. Saya akan berkeliaran di komdak, puskesmas, rumah sakit BPJS, kelurahan, TPU, untuk mencari rezeki. Saya heran kenapa tidak ada yang terpikir menyediakan jasa ini, apakah dilarang?

Padahal bukan joki, bukan orang yang memalsu identitas, hanya orang yang bisa berpikir untuk mempermudah urusan orang lain dan mendapatkan nafkah dari sana.

Apa ada yang pernah memperhatikan orang-orang yang mengantri giliran cek lab, temu dokter, dan ambil obat di rumah sakit yang menyediakan layanan BPJS? Bukan pekerjaan menunggunya yang membuat miris, tapi pemahaman bahwa ini adalah sistem yang tidak akan pernah lebih efisien daripada ini.

Tiga hari bolak-balik ke rumah sakit itu sudah baik, daripada harus menanggung biaya obat sendiri. Mengantri dari pagi dan baru mendapat obat di waktu malam menjelang tidur itu sudah lebih baik, daripada tidak mendapat obat sama sekali. Sama seperti saya, harus berpindah tempat berkali-kali untuk bisa membayar Rp.40.000 saja itu sudah lebih baik, daripada ada urusan yang terlewati dan perpanjangan makam ayah saya mengalami kendala.

Karena saat ada apa-apa nanti saya juga hanya bisa pasrah. Melihat begitu tidak praktisnya sistem yang ada: data yang masih manual dicetak, pengajuan yang masih harus manual diantar, bahkan urusan fotokopi saja tak ada yang membuat jadi lebih simpel, bukan tidak mungkin upaya saya memperpanjang makam ayah ini suatu hari akan terselip akibat seseorang yang lupa mengecek atau kertas terselip.

Toh hanya 3 tahun sekali. Setelah itu saya akan punya waktu 3 tahun lagi sebelum harus berjuang kembali. Diam-diam saya berpikir, kalau suatu hari saya harus pindah jauh, siapa yang akan bantu mengurus perpanjangan makam ayah saya? Apakah itu berarti saya harus kembali ke Jakarta hanya untuk bolak-balik kelurahan-TPU-bank seperti sekarang ini?

"Berapa rangkap, Mba?" Tanpa sadar kaki saya sudah mencapai tujuan: sebuah gerai fotokopi sederhana di sebelah masjid hijau kecil.

"Satu. Eh... dua, Mas. Dua rangkap, ya," jawab saya terbata. Berpikir lebih baik tambah satu rangkap lagi. Daripada ternyata satpam salah memberikan informasi dan saya terpaksa kembali lagi ke tempat ini.

Bayar pajak, berharap semua lebih baik. Kalaupun pajak saya begitu kecilnya hingga tak pantas dipandang oleh negara, setidaknya berharap semua urusan bisa menjadi lebih cepat, sehingga semua orang punya hal lain untuk dipikirkan. 

Tapi sebelum berpikir, ada baiknya fotokopi dipersiapkan dulu. Sepuluh rangkap, ya. Persiapan untuk 5 tahun ke depan.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Diary Selengkapnya
Lihat Diary Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun