2009-13
dalam Trilliun Rp
(data cukai diolah dari sumber ini)
Tujuanya sih baik, menaikkan harga jual rokok dengan maksud bisa menekan angka perokok aktif. Agar mereka tidak kuat membeli lagi rokok?.Tapi,
Perokok itu adalah orang yang sedang sakit, sedang kecanduan nikotin, sedang kena racun. Ini harusnya substansi yg dibidik pemerintah bila ingin menghentikan laju perokok pemula dan mengurangi angka perokok aktif. Sumber masalah adalah rokok-nya, bukan manusia yang merokok.
Kebijakan rokok mahal malah memiskinkan perokok, merugikan perokok padahal yang jadi masalah adalah rokoknya. Ini berarti mengatasi masalah dengan masalah.
Orang yang sedang kecanduan, berapa pun harganya ya tetap saja dibeli. Jadi menaikkan pungutan cukai rokok sama saja dengan memeras orang yang sedang sakit parah dan kecanduan. Apa bedanya dengan bandar narkoba?
Ironisnya, si perokok ini kebanyakan justru dari golongan ekonomi menengah ke bawah. Dalam himpitan ekonomi dan harga rokok yg mencekik, mereka disuguhi tontonan pejabat-pejabat yg menghambur-hamburkan uang negara yg diantaranya bersumber dari cukai yg dipungut dari mereka, dan jumlahnya terus naik tiap tahun.
Jadi, sasaran kebijakan pemerintah yg sebenarnya baik ini adalah perokok. Yang jadi masalah adalah manusia perokok, bukan rokok. Si Racun adalah perokok bukan rokok. Si Sampah adalah orang yang merokok bukan rokok.
Maka si perokok berhak untuk diperas dengan menaikkan harga rokok, pada saat perokok sakit mereka tidak mendapat apapun dari cukai yang mereka sumbang untuk pemerintah. Seharusnya di dalam KTP tertulis status perokok atau tidak, sehingga bisa mengklaim uang cukai yang diantaranya diperuntukkan untuk menjamin kesehatan mereka.
Solusinya
Sasaran pemerintah harusnya fokus pada sumber masalah, yaitu rokok. Kurangi jumlah ketersediaan rokok di pasaran, sehingga dengan sendirinya perokok juga akan berkurang. Toh rokok ini bukan bahan pokok.