Mohon tunggu...
Amal Taufik
Amal Taufik Mohon Tunggu... pelajar/mahasiswa -

Pecinta masakan kambing garis keras.

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

Kerbau-Kerbau

7 Juli 2015   00:21 Diperbarui: 7 Juli 2015   00:21 158
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

KERBAU-KERBAU

Saat baru saja masuk kota kakek, Rani memperlambat kemudi mobilnya. Ia sengaja jalan pelan-pelan saat melewati jalan raya ini. Ada yang membuatnya penasaran. Konon, pada saat-saat tertentu di malam hari, akan ada puluhan kerbau menggerombol di tengah jalan.

Kakek bercerita “kerbau-kerbau itu tidak mengganggu warga maupun para pengendara yang sedang lewat. Mereka akan dengan sendirinya memisah jika ada klakson kendaraan, untuk kemudian bergerombol lagi. Wajah kerbau-kerbau itu pucat, mondar-mandir seperti sedang bingung mencari sesuatu, mereka melenguh lirih, tidak sebagaimana kerbau melenguh di pematang sawah.”

Suatu kali Rani pernah menanyakan cerita kerbau ini kepada seorang tukang tambal ban di sekitar jalan raya itu, “Saya tidak tahu mbak darimana datangnya kerbau-kerbau itu, karena setahu saya di daerah sini sudah tidak ada sawah. Mungkin mereka datang dari alam lain. hahaha…”

Mobil Rani berhenti di sebuah swalayan. Matanya yang bulat terasa seperti sedang di gantungi bandul timbangan satu kilo. Sembari menikmati kopi kalengnya di atas bangku depan swalayan, Rani masih terngiang cerita tentang kerbau itu. Sempat terbesit pikiran ingin meletakkan sebuah handycam di tempat tertentu, untuk merekam kehadiran kerbau-kerbau itu.

***

Siang itu begitu terik. Matahari seakan hanya berjarak satu jengkal dari kepala. Cahaya jingga membias di kaca depan kendaraan berat yang melintasi jalan raya. Tampak berkilat seperti sepuhan emas. Rani masih sibuk di perpustakaan daerah. Ia sedang mencari buku yang kata kakek mencatat kesaksian cerita tentang kerbau itu.

“Mbak, buku berjudul “Makelar Tebu” karangan Plongo di rak sebelah mana ya? saya dari tadi cari tidak ketemu”

“Sebentar mbak, saya cek” petugas perpustakaan itu kemudian mengetik keyword yang di maksud Rani. Kepalanya maju hampir menyentuh monitor, melihat dengan teliti hasil pencariannya di katalog perpustakaan.

“Maaf mbak, buku itu tidak ada. Disini datanya menyebutkan buku itu dua bulan yang lalu di pinjam oleh seseorang dan tidak kembali sampai sekarang”

“Siapa yang pinjam mbak? Ada identitasnya kan?”

“Sepertinya si peminjam memberi identitas palsu mbak. Kalau identitasnya asli, buku itu pasti kembali. Karena pihak perpus akan menagih ke alamatnya.”

Rani mendengus kecewa. Melengos begitu saja dari meja penjaga perpustakaan. Langkahnya menuju keluar tampak malas. Ia gelisah harus mencari buku itu dimana lagi. Kota ini hanya punya satu toko buku. Itu pun koleksi buku-bukunya sangat minim. Pernah dulu ada toko buku agak besar, tapi tidak bertahan lama. Bisa jadi karena tidak laku. Penduduk kota ini sepertinya punya minat baca yang amat sangat rendah.

Kata kakek, ada bagian buku itu yang bercerita tentang kerbau-kerbau yang bergerombol di jalan raya. Si penulis sepertinya pernah menyaksikan sendiri peristiwa itu.

“Dalam buku itu ran, si Plongo mengaku sempat bercakap-cakap dengan gerombolan kerbau. Ia mencatat kalau kerbau itu bisa bicara. Tapi  mereka bicara dengan hati, bukan dengan mulut. Karena hanya hati yang bisa mengerti bahasa makhluk selain manusia.”

“Lalu, apa yang mereka bicarakan kek?”

“Coba kamu cari sendiri bukunya ran.” ucap kakeknya sambil melontarkan senyum simpul kepada cucunya.

Sayang, rasa penasaran Rani tentang kerbau-kerbau itu sekarang sedang di tebang dengan kapak secara perlahan. Harapannya untuk mendapat buku itu di kota ini pupus. Sebenarnya Rani masih punya harapan satu lagi, yaitu kembali ke ibukota dan berburu buku itu di toko-toko buku besar maupun di pasar buku loak. Tapi jika ia mendapatkan buku itu di ibukota, maka ia tidak akan bisa mendiskusikannya dengan kakek. Percuma saja bagi Rani.

Setelah ini ia akan pulang ke rumah kakek dengan tangan hampa dan wajah lesu seperti wajah kepala negara yang tiada henti di demo oleh rakyatnya. Buku itu, cerita tentang kerbau itu….

***

Berhentilah aku di sebuah jalan raya. Tepat di depan mataku ada segerombolan kerbau. Mereka menatapku, kepalanya di geleng-gelengkan, matanya tampak sembab seperti mata seorang anak yang di tinggal mati orangtuanya. Aku datangi mereka, dan semakin dekat dengan mereka semakin tampak apa yang mereka lakukan. Mereka menginjak-injak aspal jalan, melenguh putus-putus, seperti ingin menangis tapi tak bisa. Jelas, karena mereka hanya kerbau. Aku mengajak mereka bicara. Jawaban mereka bersahut-sahutan “aku kerbau yang di rampas bupati…”, “aku mencari majikanku yang baik…”, “lihat itu, majikanku belum di kubur…”, “aku mendengar tangisan Narti di bawah aspal ini…”

Aku menyimpulkan mungkin di jalan ini pernah ada pembantaian. Banyak mayat-mayat tak terkuburkan dengan layak, banyak manusia kelaparan yang terkapar, laki-laki maupun perempuan. Bisa jadi kerbau-kerbau ini sedang menziarahi majikan-majikan mereka. Jika anda bertanya kerbau-kerbau ini asalnya darimana? saya akan menjawab: “mereka adalah jelmaan kerbau-kerbau yang sudah mati”

Dengan di bantu kacamata minus berantai, mata Rani membacai setiap paragraf dengan serius. Tangan lincahnya sesekali meraih teh tawar di sandingnya untuk di seruput. Rani membaca buku itu, kakek menyisipkan dengan diam-diam ke dalam ranselnya sebelum Rani pulang ke ibukota.

Tidak beberapa lama, Rani menutup buku itu, melepas kacamatanya, dan menyandarkan punggungnya ke kursi. Kepalanya menengadah ke atas, melihat bayangannya sendiri yang memantul buram di atap kamar kosnya. Kemudian ia pejamkan mata, bukan untuk tertidur, tapi mencoba membuka lorong waktu dan membayangkan sesuatu.

Membayangkan suami-istri yang kelaparan, anak-anak terserang malaria, kerbau-kerbau orang miskin di rampas pejabat desa demi kepentingan penguasa. Membayangkan mayat mereka bergelimpangan di jalan, membusuk, kemudian di sepak oleh mandor. Penguasa yang tidak segan-segan memberondong peluru kepada para pekerja yang malas-malasan, menyembelih warga yang memberontak, meratakan rumah-rumah warga dengan bazooka.

Membayangkan betapa mereka kini sedang melihat anak cucunya yang melupakannya. Mungkin di bawah aspal jalan ini mereka menangis, meraung, dan mungkin juga ada yang tersenyum. Tersenyum senang melihat anak cucunya hidup bahagia, tak menderita seperti dirinya dulu.

Dan tentu saja semua itu hanya sekedar bayangan Rani.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun