“Sepertinya si peminjam memberi identitas palsu mbak. Kalau identitasnya asli, buku itu pasti kembali. Karena pihak perpus akan menagih ke alamatnya.”
Rani mendengus kecewa. Melengos begitu saja dari meja penjaga perpustakaan. Langkahnya menuju keluar tampak malas. Ia gelisah harus mencari buku itu dimana lagi. Kota ini hanya punya satu toko buku. Itu pun koleksi buku-bukunya sangat minim. Pernah dulu ada toko buku agak besar, tapi tidak bertahan lama. Bisa jadi karena tidak laku. Penduduk kota ini sepertinya punya minat baca yang amat sangat rendah.
Kata kakek, ada bagian buku itu yang bercerita tentang kerbau-kerbau yang bergerombol di jalan raya. Si penulis sepertinya pernah menyaksikan sendiri peristiwa itu.
“Dalam buku itu ran, si Plongo mengaku sempat bercakap-cakap dengan gerombolan kerbau. Ia mencatat kalau kerbau itu bisa bicara. Tapi mereka bicara dengan hati, bukan dengan mulut. Karena hanya hati yang bisa mengerti bahasa makhluk selain manusia.”
“Lalu, apa yang mereka bicarakan kek?”
“Coba kamu cari sendiri bukunya ran.” ucap kakeknya sambil melontarkan senyum simpul kepada cucunya.
Sayang, rasa penasaran Rani tentang kerbau-kerbau itu sekarang sedang di tebang dengan kapak secara perlahan. Harapannya untuk mendapat buku itu di kota ini pupus. Sebenarnya Rani masih punya harapan satu lagi, yaitu kembali ke ibukota dan berburu buku itu di toko-toko buku besar maupun di pasar buku loak. Tapi jika ia mendapatkan buku itu di ibukota, maka ia tidak akan bisa mendiskusikannya dengan kakek. Percuma saja bagi Rani.
Setelah ini ia akan pulang ke rumah kakek dengan tangan hampa dan wajah lesu seperti wajah kepala negara yang tiada henti di demo oleh rakyatnya. Buku itu, cerita tentang kerbau itu….
***
“Berhentilah aku di sebuah jalan raya. Tepat di depan mataku ada segerombolan kerbau. Mereka menatapku, kepalanya di geleng-gelengkan, matanya tampak sembab seperti mata seorang anak yang di tinggal mati orangtuanya. Aku datangi mereka, dan semakin dekat dengan mereka semakin tampak apa yang mereka lakukan. Mereka menginjak-injak aspal jalan, melenguh putus-putus, seperti ingin menangis tapi tak bisa. Jelas, karena mereka hanya kerbau. Aku mengajak mereka bicara. Jawaban mereka bersahut-sahutan “aku kerbau yang di rampas bupati…”, “aku mencari majikanku yang baik…”, “lihat itu, majikanku belum di kubur…”, “aku mendengar tangisan Narti di bawah aspal ini…”
Aku menyimpulkan mungkin di jalan ini pernah ada pembantaian. Banyak mayat-mayat tak terkuburkan dengan layak, banyak manusia kelaparan yang terkapar, laki-laki maupun perempuan. Bisa jadi kerbau-kerbau ini sedang menziarahi majikan-majikan mereka. Jika anda bertanya kerbau-kerbau ini asalnya darimana? saya akan menjawab: “mereka adalah jelmaan kerbau-kerbau yang sudah mati”