Pembicaraan tentang 'uang' kerap mengarah kepada mereka yang 'ber-uang'. Tak dimungkiri, orang kaya alias Crazy Rich memang selalu menjadi topik diskursus yang hangat lagi menarik. Hal ini semakin didorong oleh fakta bahwa satu persen masyarakat kelas kakap Tanah Air mampu menguasai hampir setengah dari total kekayaan penduduk di seluruh penjuru negeri (Credit Suisse Research, 2019).
Pada hakikatnya, pajak tidak pernah ditujukan untuk memiskinkan orang kaya. Namun, hal yang perlu digarisbawahi adalah pajak sebagai instrumen penting negara akan selalu melekat dengan fungsinya sebagai alat redistribusi pendapatan antara Si Kaya dan Si Miskin.Â
Maka dari itu, ketika kita berbicara terkait pemajakan atas High Net-Worth Individuals (HNWI), equality of tax akan selamanya menjadi 'bumbu' penyerta.
Terdapat argumen bahwa High Net-Worth Individuals (HNWI) memiliki akses yang lebih besar terhadap sumber daya ekonomi sehingga mereka WAJIB memberikan kontribusi yang lebih besar kepada negara melalui sistem perpajakan yang progresif.Â
Pendukung opini ini tentu akan mengusulkan peningkatan tarif pajak serta penutupan celah-celah perpajakan yang memungkinkan High Net-Worth Individuals (HNWI) untuk 'kabur' dari kewajiban perpajakan yang melekat kepadanya.Â
Di sisi lain, terdapat juga aliran yang memiliki kecenderungan untuk berpendapat bahwa membebani High Net-Worth Individuals (HNWI) dengan pajak yang terlalu tinggi dapat mengurangi motivasi mereka untuk berinvestasi dan berkontribusi pada pembangunan ekonomi sehingga pada akhirnya, para Crazy Rich ini akan mencari peluang investasi di luar negeri dan mengurangi aktivitas ekonomi mereka di dalam negeri.Â
Dengan hilangnya 'sumber mata air' dari High Net-Worth Individuals (HNWI) tersebut, maka dapat memberikan efek domino pada keringnya pertumbuhan ekonomi dan lapangan kerja di Indonesia.
Atas problematika tersebut, Pemerintah (dalam kasus ini khususnya Direktorat Jenderal Pajak) perlu memberikan perhatian lebih kepada High Net-Worth Individuals (HNWI), sejalan dengan kompleksitas karakter yang dimilkinya.Â
Hal ini tentu menjadi tantangan tersendiri bagi Direktorat Jenderal Pajak untuk dapat mewujudkan skema kebijakan yang kompetitif dan tepat sasaran.Â
Perlu dicatat bahwa inisiasi pemajakan kepada orang kaya (High Net-Worth Individuals /HNWI) harus digaungkan sebagai bentuk upaya strategis dalam urgensi penguatan redistribusi pendapatan yang optimal.Â
Apalagi, Knight Frank Wealth Report  memproyeksikan akan ada peningkatan High Net-Worth Individuals (HNWI) di Indonesia dalam beberapa tahun ke depan dengan pertumbuhan mencapai 110%.
Peluang Kontradiksi
Pada laporan yang tertuang dalam Henley Global Citizens (2022), pengenaan pajak yang tinggi pada orang kaya dapat memicu perpindahan kewarganegaraan serta relokasi kekayaan ke tempat yang lebih 'ramah' di luar Indonesia.Â
Dengan begitu, investable asset yang dimiliki oleh High Net-Worth Individuals (HNWI) akan sulit untuk diarahkan ke sektor produktif dalam negeri.Â
Dalam Millionaire Migration Trends for 2022, terkuak pula fakta bahwa Indonesia masuk ke dalam daftar negara yang berisiko untuk kehilangan High Net-Worth Individuals (HNWI) Â yang disebabkan oleh emigrasi.
Alih-alih menjadi sebuah solusi, skema pemajakan High Net-Worth Individuals (HNWI) yang kurang tepat justru akan memberikan efek kontradiktif. Belum lagi jika kita berbicara tentang besarnya potensi penghindaran pajak (tax avoidance) yang mungkin terjadi.Â
Direktorat Jenderal Pajak harus benar-benar jeli dalam mengulik keberadaan celah kebijakan antarnegara seperti Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda (P3B) dan tax treaty.Â
Apalagi, skema pemajakan High Net-Worth Individuals (HNWI) memiliki potensi yang sangat besar untuk membangkitkan resistensi Wajib Pajak akibat hadirnya isu double taxation.
Upaya Optimalisasi
Direktorat Jenderal Pajak yang sedang bertransformasi menuju data-driven organization tentu akan memperkuat basis data dari seluruh sumber yang tersedia.Â
Langkah teranyar terkait pemajakan High Net-Worth Individuals (HNWI) ini adalah mengenai integrasi Nomor Induk Kependudukan (NIK) sebagai Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP) serta penerapan sistem coretax melalui fungsi Compliance Risk Management (CRM).Â
Hal ini mendorong pemetaan Wajib Pajak High Net-Worth Individuals (HNWI) yang lebih efektif dan terstruktur demi terciptanya multiplier effect yang diharapkan.
Kebijakan perpajakan serta regulasi yang diberlakukan di Indonesia saat ini dipercaya telah memberikan dukungan yang memadai bagi High Net-Worth Individuals (HNWI) untuk melakukan investasi di Indonesia. Salah satu bentuk kebijakan tersebut terdapat dalam klaster perpajakan dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja (UU Ciptaker).Â
Berdasarkan UU Ciptaker, sistem perpajakan di Indonesia alih-alih mengadopsi rezim worldwide, lebih mengarah pada sistem hybrid atau biasa juga disebut semi-territorial.Â
Dengan begitu, UU Ciptaker mengakomodasi pengecualian terhadap pengenaan pajak atas dividen luar negeri dengan mempertimbangkan syarat-syarat khusus tertentu.Â
Selain itu, ketentuan ini juga menetapkan persyaratan untuk mengalihkan kembali aset yang dimiliki oleh High Net-Worth Individuals (HNWI) ke dalam negeri, seraya mencegah penumpukan dana di luar negeri.
Sejalan dengan hal tersebut di atas, Kementerian Keuangan juga telah berhasil mengamankan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP) yang di dalamnya mencakup penetapan tarif khusus untuk individu dengan pendapatan tahunan melebihi lima miliar rupiah.Â
Langkah ini dianggap sebagai upaya untuk meratakan distribusi kekayaan dengan menarik kontribusi lebih besar dari individu yang memiliki pendapatan di atas rata-rata.Â
Meskipun beberapa analis berpendapat bahwa tarif baru tersebut belum sepenuhnya mencerminkan golongan High Net-Worth Individuals (HNWI), namun langkah ini dianggap telah menjadi sebuah titik awal yang positif atas skema pemajakan Crazy Rich yang lebih optimal.
Selain itu, optimalisasi pemajakan High Net-Worth Individuals (HNWI) juga terus digalakkan oleh Direktorat Jenderal Pajak dengan menjalin kerja sama antara pemerintah dan sektor swasta, termasuk di dalamnya melibatkan perusahaan-perusahaan besar dan lembaga keuangan.Â
Hal ini tentunya dilakukan oleh Direktorat Jenderal Pajak dalam rangka mengembangkan kebijakan yang lebih efektif untuk memastikan bahwa kekayaan yang dihasilkan oleh Crazy Rich berkontribusi secara adil terhadap pembangunan negara.Â
Bersamaan dengan itu, Direktorat Jenderal Pajak juga perlu memastikan adanya sistem yang mengakomodir penegakan hukum yang kuat dan tegas untuk menindak segala bentuk pelanggaran oleh High Net-Worth Individuals (HNWI) dalam memenuhi kewajiban perpajakannya.Â
Dengan menunjukkan bahwa tidak ada toleransi terhadap 'kenakalan', pemerintah dapat mendorong voluntary tax compliance dari para Crazy Rich tersebut.
Berdasarkan pembahasan di atas, pusaran pundi-pundi yang dimiliki oleh High Net-Worth Individuals (HNWI) Â tentu perlu diamati secara serius.Â
Selain upaya penggalian potensi, optimalisasi pemajakan juga dapat didongkrak dengan pengawasan dan pemeriksaan yang lebih agresif, edukasi publik yang gencar serta tak lupa sinergi dengan berbagai pihak yang berkepentingan.Â
Bagaimanapun, memajaki High Net-Worth Individuals (HNWI)  -- Crazy Rich -- tak bisa semena-mena. Diperlukan pengkajian mendalam untuk 'meracik' skema dan mekanisme terbaik yang strategis dan berkeadilan.Â
Maka selain untuk mendongkrak pertumbuhan ekonomi dan mempersempit ketimpangan masyarakat, pemajakan atas High Net-Worth Individuals (HNWI) Â ini juga diharapkan dapat menegaskan bahwa: "orang kaya bukan hanya sekadar berada, tetapi juga kontributif membangun negara."
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H