perkara dan wilayahnya. Kompetensi ini sering disebut dengan kompetensi absolute dan kompetensi relative.
Dalam hukum acara perdata, kewenangan mengadili disebut dengan kompetensi. Kompentensi yaitu kewenangan Pengadilan untuk mengadili  berdasarkan jenisKewenangan absolute di Indonesia yang berada di bawah naungan Mahkamah Agung yaitu  ada empat :  Peradilan Umum, Peradilan Agama, Peradilan Tata Usaha Negara dan Peradilan Militer.
Peradilan Umum adalah salah satu pelaksanaan kekuasaan kehakiman bagi rakyat yang mencari keadilan pada umumnya, atau perkara-perkara yang biasanya bersifat umum. Pengadilan Negeri memiliki wewenang  sebagaimana disebutkan dalam Undang-Undang Nomor 50 Tahun 1986 pasal 50 yang menyebutkan bahwa Pengadilan Negeri  yang bertugas dan berwenang, memeriksa, mengadili, memutuskan dan menyelesaikan perkara pidana dan perdata di tingkat pertama. Sehingga wewenangnya adalah mengadili seperti perkara pidana contohnya kasus pencurian, perampokan, pembunuhan, penganiayaan, penipuan dan tindak pidana lainnya. Sedangkan perdata umum contohnya prestasi atas perjanjian, sengketa jual beli, sengketa tanah, dan lain sebagainya.
Untuk tiga Lembaga peradilan lainnya Peradilan Agama, Peradilan Tata Usaha Negara dan Peradilan Militer mempunyai kewenanganan khusus. Peradilan Agama berperan dalam wewenang perkara khusus yang menyangkut  masyarakat yang menganut agama Islam. Peradilan Tata Usaha Negara berwenang dalam perkara yang menyangkut adminitrasi tata negara dan Peradilan Militer berwenang untuk perkara yang menyangkut personel anggota militer.
Kewenangan ini khususnya untuk Pengadilan Agama dari masa ke masa ada perkembangan sampai akhirnya kewenangan  Pengadilan Agama menangani  perkara yang lebih luas.
Pada zaman pra kolonial dan zaman kolunial, cikal bakal peradilan agama itu sudah muncul seiring dengan masuknya Islam ke Indonesia yang dibawa oleh orang-orang muslim melalui jalur perdagangan dan pada perkembangannya melahirkan kerajaan kerajaan Islam yang otomatis memberi warna hukum pada wilayah kerajaan Islam tersebut.
Masyarakat yang sudah berada dibawah kerajaan Islam yang mayoritasnya telah memeluk agama Islam, menegakkan hukum-hukum Syariat terkait dengan muamalat dan  ibadah-ibadah yang tunduk kepada aturan-aturan Islam yang sudah ditentukan. Dalam penegakan tersebut ketentuan-ketentuan yang berlaku itu biasanya bertahkim kepada para ulama besar dan  ulama yang secara khusus diangkat atau ditunjuk oleh kerajaan untuk memberikan fatwa atas sengketa yang terjadi di masyarakat. Oleh karena itu para ulama zaman dulu sudah menjalankan fungsi menyelesaikan persengketaan yang terjadi pada masyarakat dan selain itu  masyarakat juga biasanya meminta petunjuk bukan hanya perkara hukum saja, tetapi masalah-masalah umum seperti pertanian dan perdagangan. Mereka  bisa meminta saran atau petunjuk para ulama tersebut yang biasa di sebut dengan qadhi atau tuan guru. Masalah waris yang menjadi perkara utama pada zaman dulu yang ditanyakan kepada para ulama dari siapa yang menjadi ahli waris, yang menghijabnya ketika ia tidak mendapatkan bagian dan berapa bagiannya jika ia mendapat warisan. Atas petunjuk para ulama ini masyarakat zaman dulu dengan sukarela untuk mentaati dan menjalankannya.
Pada zaman kolonial pola penyelesaian sengketa untuk Masyarakat yang beragama Islam ini menjadi perhatian pemerintah kolonial dan ada usaha untuk menghapus pola penyelesaian perkara melalui para ulama, karena penyelesaian hukum seperti itu  diidentifikasi oleh pemerintah kolonial sebagai hukum islam yang berlaku di Indonesia, padahal Pemerintah kolunial ingin menerapkan hukum sendiri yang dibuat oleh Pemerintah Hindia Belanda. Dengan tujuan untuk menguasai secara utuh negeri jajahannya yaitu Indonesia.
Setelah merdeka tahun 1945 dinyatakan bahwa Negara Republik Indonesia adalah negara hukum yang termuat dalam Undang-Undang Dasar 1945 yang mempunyai tujuan untuk mewujudkan tata kehidupan bangsa yang sejahtera, aman, tentram dan tertib.
Implikasi Indonesia sebagai hukum adalah negara mempunyai peran yudikatif, disamping peran eksekutif dan legeslatif yang dituangkan dalam konstitusi negara pada Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 24 ayat (1) yang menyebutkan bahwa kekuasaan kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan lain-lain badan kehakiman menurut Undang-Undang. Kemudian melahirkan Undang-undang nomor 14 tahun 1948 yang mengatur susunan kekuasaan badan kehakiman sebagai wujud amanat terhadap Undang-Undang Dasar 1945 dalam perkembangannya yang mengalami beberapa kali amandemen.