Ketentuan Hukum Pendapatan Non Halal
Pendapatan Non Halal bersumber dari usaha yang tidak halal (al-kasbu al-ghairi al-masyru')
Fatwa Dewan Syariah Nasional (DSN) MUI menjelaskan beberapa kegiatan usaha yang bertentangan dengan prinsip syariah tersebut, yaitu:
A. Usaha Lembaga keuangan konvensional, seperti usaha perbankan konvensional dan asuransi konvensional. Â
B . Melakukan investasi pada emiten (perusahaan) yang pada saat transaksi, tingkat (nisbah) utang perusahaan kepada lembaga keuangan ribawi lebih dominan dari modalnya.Â
C. Perjudian dan permainan yang tergolong judi atau perdagangan yang terlarang, karena termasuk maisir/judi yang dilarang dalam Islam. Â
D. Â Produsen, distributor, serta pedagang makanan dan minuman yang haram.Â
E.  Produsen, distributor dan atau penyedia barang-barang ataupun jasa yang merusak moral atau bersifat mudarat. Â
Fatwa DSN menjelaskan jenis-jenis kegiatan usaha dalam Konteks investasi saham di perusahaan yang melakukan usaha yang tidak halal. Â Oleh karena itu, kelima unsur tersebut adalah lain-lain.
Dari penjelasan di atas, bisa dikatakan, bahwa pendapatan tidak halal adalah pendapat dari usaha yang tidak halal seperti:
A. Bunga atas transaksi kredit. Â
B.  Pendapatan dari usaha perjudian, jual beli minuman keras dan barang yang merusak moral dan atau menimbulkan mudharat. Â
C. Â Pendapatan dari usaha dengan persentase utang non halal lebih dominan dari modalnya.
Pendapat-pendapat tersebut diharamkan menurut Islam sebagai mana nash-nash yang melarang transkasi ribawi, maisir, khamr dan lain sebagainya. Â
Begitu pula dari aspek maqashid, ketiga hal di atas adalah hal yang diharamkan karena mengakibatkan madharat terhadap pasar dan kredit pinjaman berbunga agar kepemilikan atas harta terlindungi (hifdzul amwal), begitu pula khamr diharamkan agar akal dan kemampuan berpikir manusia terlindungi.
Oleh karena itu, para ulama mewajibkan bahwa setiap hal tersebut diharamkan. Â para pelakunya baik dari aspek ekonomi dan sosial. Â
Hukum Pendapatan Halal yang Bercampur dengan Pendapatan Non HalalÂ
Para ulama berbeda pendapat tentang masalah ini, yaitu sebagai berikut:
Pendapat pertama: sebagian ulama berpendapat, bahwa pendapatan halal yang bercampur dengan pendapatan non halal itu hukumnya haram, berdasarkan Kaidah fikih berikut:Â
"ada dana halal dan haram bercampur, maka menjadi dana haram".
Maka, pendapatan halal yang bercampur dengan pendapatan  haram itu lebih tepat dihukumi haram sesuai kaidah fikih di atas sesuai dengan sikap kehati-hatian (ihtiyath).
Pendapat kedua, sebagian ulama berpendapat, bahwa jika pendapatan yang halal lebih dominan daripada pendapatan non halal.
Mereka berargumen dengan dalil-dalil berikut:
a. Â Kaidah fikih:
"Hukum yang mendominasi sama seperti hukum keseluruhan".
Hal yang dibolehkan karena pelengkap, itu tidak boleh dibolehkan karena sifatnya independen.
b. Â Mashlahat (al-Hajah asy-syar'iyah)Â
Kebutuhan perusahaan syariah untuk melakukan usaha tersebut hingga bisa bertahan melanjutkan misinya menghindari praktik bisnis ribawi bagi kaum muslimin. Â
Kedua kaidah fikih dan dalil mashlahat di atas menjelaskan bahwa yang menjadi standar adalah bagian yang lebih dominan, jika yang dominan adalah pendapatan halal, maka seluruh dana tersebut menjadi halal, dan begitu pula sebaliknya, karena hukum mayoritas seperti hukum keseluruhan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H