Mohon tunggu...
Ama Kewaman
Ama Kewaman Mohon Tunggu... Jurnalis - Penulis Lepas

Lahir di Lembata, NTT, pulau terpencil bagai kepingan surga di bumi pada awal oktober 1994. Sekarang mengembara dalam jejak-jeak rantau.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Oktober yang Sepi

31 Juli 2021   11:42 Diperbarui: 31 Juli 2021   11:58 267
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Oktober Yang Sepi


Ama Kewaman*

Aku masih membayangkan, betapa aku terlelap ketika awal September lalu. Aku masih menjadi seperti ini, seperti tahun-tahun sebelumnya. Satu tahun berlalu, belasan tahun berganti dan bahkan sampai duapuluan tahun usiaku yang aku jalani, aku masih menjadi seperti ini. Satu tahun yang lalu, aku ditelan kegelapan yang pekat hingga matahari membuka mataku pada awal oktober ini. 

Semuanya berlalu tanpa perhentian yang pasti, tanpa pengawasan yang berarti, dan bahkan tanpa kau disisiku, sayang. Seperti tahun-tahun sebelumnya, tak ada yang berubah dari hari istimewahku, tak ada yang baru dalam hidupku. Yang ada hanyalah derita kerinduan yang terus-menerus menghujat diriku. 

Pada hari ini, aku hanya ingin memperbaiki diri, menata hati, memperbaiki letak leher kemeja dan lengan kemejaku atau sekedar menambal sobekan pada jeans yang selalu kukenakan, agar bibirmu tak mencipta omelan, ibu. Aku melakukan semuanya untuk membuat hatimu senang. Aku ingin membayar semua kesalahanku dan kesibukan hari-hariku di ibu kota ini, yang kadangkala sampai lupa memberi kabar kepadamu atau aku sendiri mulai abai menanyakan kabarmu. 

Aku tak tahu pasti ibu, apakah engkau sudah pandai memencet tombol hanpone yang kukirimkan kepadamu saat gaji pertama dari pekerjaanku, atau engkau hanya bisa menerima telepon saat hanphonemu berdering. Aku berharap kali ini engkau sudah bisa menggunakan hanphone yang kukirim kemarin.

Tak ada yang lain dari hari-hariku. Semuanya berjalan seperti biasa. Pagi berangkat ke kampus dan malam masuk kerja. 

Kampus adalah kehidupan dan kantor adalah tempat aku bekerja. Mungkin saat ini teman-temanku begitu semangat bergelut dengan buku, huruf dan mungkin perdebatan yang tak masuk akal, tentang konsep sastra yang selalu membohongi masyarakat atau tentang konsep ketuhanan. Ceramah dosen hari ini membuatku benar-benar bosan. Tak ada yang diterima di kepalaku. Kalau saat ini aku juga semangat dan berdiskusi dengan mereka, aku akan katakana kepada mereka bahwa aku tak percaya tuhan dan aku tak menuruti ceramah dosen yang menuntu semua orang yang tamat dari perguruan tinggi harus mengabdi untuk masyarakat. Politisi yang punya kepentingan untuk rakyat banyak saja tidak peduli. Bagaimana mungkin saya melakukan hal yang demikian ?

Pokonya, aku tak akan terima.

Aku benar-benar bosan. Tak ada  semangat untuk perkuliahan hari ini. Ada sesuatu yang lain dari biasanya dalam diriku. Aku ingin mengisi waktu istimewahku ini bersama ibu. Hanya ibu. Atau aku ingin melepas nafsu pada sang kekasih. Dan memang beginilah kehidupannku. Apa lagi yang harus dilakukan. 

Kelas selesai, kusilangkan tas samping pada bahuku dan melangkah keluar. Lingkungan kampus begitu ramai dengan pergantian jam perkuliahan. Aku melangkah perlahan-lahan menuruni anakan tangga dari lantai enam. Ada mahasiswa yang menanyakan pergantian kelas kepada teman yang lainnya, ada yang berjalan sambil mengotak-atik telepon genggamnya tanpa melihat jalan dan hampir menabrak beberapa orang yang sedang berdiri, ada juga yang dengan senyuman malu-malu keluar dari ruangan karena salah masuk kelas. Dari pintu ruang kelas dosen saling bergantian keluar masuk, dan di sudut lobi lantai lima kudapati seorang lelaki sedang merayu pacarnya.

"to.... Rinto, tunggu aku !" teriak seorang perempuan sambil mengikutiku menuruni anakan tangga. "aku ikut ke kontrakan, ya ?" pintanya.

"aku ga mau, aku ingin sendiri sekarang. Untuk kali ini saja." Kataku datar. Aku tak ingin orang lain atau apapun selain ibu, untuk saat ini. kali ini aku benar-benar tak menganggapnya kekasih. Dan sebagai kekasih yang baik ia selalu menuruti permintaanku. 

"kamu kenapa, kok tiba-tiba berubah kaya gini ?" katanya sedikit merayu. Dan aku tak menjawabnya. "ya udah kalu gitu besok pagi aku jemput kamu di kontrakan, ya. Kita jalan-jalan sayang ?" pintanya.

Aku berjalan terus tanpa menghiraukannya. Tanpa menjawab pertanyaan darinya. Di lantai dua, Ia meraih lenganku seolah menuntunku menuruni anakan tangga menuju lantai satu. Kami melangkah perlahan melewati lobi, sambil aku mengeluarkan kretek dari saku bajuku. Aku meghirup dalam-dalam kretekku dan mengeluarkan asap yang pekat. Suara bising knalpot kendaraan mulai ramai dari parkiran kampus, pertanda siap menerobos kemacetan ibu kota.

"ddaaaaa sayang, see you next time." Katanya sambil melambaikan tangan setelah meninggalkan kecup pada pipi kiriku. Aku tak membalasnya. Sama sekali aku tak nafsu. Aku hanya membutuhkan ibu sekarang. Itu saja titik.

Suara adzan menutup senja yang kelabu dengan gemanya. Senja di bulan oktober. Aku terus melangkah keluar dari halaman kampus, melewati gang kecil menuju kontrakan. Sesekali aku menoleh kembali ke arah senja, barangkali senja di kampung halaman sama dengan senja di ibu kota ini, atau barangkali senja di kampungku lebih dahulu dua jam. Aku berharap, senja di desa kelahiranku kali ini akan mengajak ibu menyediakan lilin untuk hari ulangtahunku.

Tiba di depan pintu dengan kretek yang masih menyala dibibirku, aku membuka pintu. Tak ada yang baru dalam kamar ini. Masih seperti biasanya. Buku yang masih berserakan, ada yang masih dibiarkan terbuka begitu saja, ada juga yang mengeluarkan pita pembatasnya. Bantal guling bagai mayat-mayat serdadu, piring kotor, gelas bekas kopi yang belum sempat dicuci dan pakaian kotor. Bau pengap yang menyeruak dari kamar ini taka asing lagi bagiku. 

Aku melemparkan tasku ke lantai dan kurebahkan  tubuhku di kasur. Mataku kandas menatap langit-langit kamar. Sesekali aku membuang pandangan ke luar kamar menyaksikan senja yang menghilang di atas gedung kampus. Yang masih tersisa hanyalah awan-awan yang berlarian mengantar senja dan beberapa saat kemudian berubah dari jingga menjadi petang.

Sekarang aku sendiri disini, di dalam kamar yang berukuran 3 x 4. Aku benar-benar sendirian. Tanpa buku, tanpa kopi, tanpa kekasih, tanpa ibu dan tanpa tuhan. Apakah kekecewaanku menyingkirkan tuhan dari pikiranku, atau keberpikakan  tuhan sedang tidak ada di posisiku ? aku bertanya dan mungkin pertanyaanku tak terjawabkan. Banyak teman-teman yang menganggapku tak bertuhan karena selalu berdebat tentang tuhan. Aku bukan teolog atau filusuf. Aku hanya belajar tentang konsep ketuhanan. Atau mungkin aku tersesat. Aku tak tahu.

Cahaya bulan remang-remang membias dari kaca jendela, menusuk mataku. Udara begitu hangat. Mataku semakin perih. Aku meraba pipiku yang cekung. Air mataku terjatuh. Aku tak tahu apa sebabnya. Aku melihat jam di teleponku, pukul 6: 36. Tak ada pesan atau telepon yang masuk. Aku melihat layar ponselku tak ada yang berubah. Hanya waktu yang terus berjalan, saling bergantian detik ke detik merubah jarum panjang yang menunjukan menit dan menggeser jarum pendek sebagai penunjuk jam. Mereka saling bergantian. Begitu pun seterusnya.

Aku sama sekali tak mengharapkan ucapkan selamat darimu ibu, tetapi perhatian dari orang-orang yang kukasihi sepertimu yang aku butuhkan. Aku tak mengharapkan engkau menanyakan sudah sarapan atau belum, yang kuharapkan adalah kehadiranmu saat ini disisiku. Atau barangkali engkau lupa kalau hari ini adalah hari ulang tahunku, ibu. Aku sama sekali tak yakin akan hal itu. Kalaupun tak ada kabar darimu hari ini, atau engkau lupa ibu, aku akan mengatakan pada diriku sendiri, aku akan baik-baik saja. Lalu aku akan bercerita kepada waktu yang telah membeku dengan kerinduanku ini. Aku hanya menjalani kehidupan dengan cinta dan hanya untuk cinta. Dan dengan cinta kepada ibu aku merindu dan kepada kekasih aku melepas nafsu. Mungkin inilah pemahamanku dan caraku sendiri memaknai kehidupan.

Aku menarik nafas panjang dan menghembuskannya dengan sekuat tenaga. Air mataku pun terus berjatuhan. Kamarku gelap, diluar bulan semakin tinggi dan redup. Aku tak tahu apa yang harus aku lakukan lagi. Tak ada yang istimewah pada hari ulang tahunku. Ingatanku lenyap dalam lelah dan mengantarkan ragaku dalam tidur. Air mataku pun mongering begitu saja. Aku terkapar bagai serdadu yang mati terhunus pedang.

"kamu tahu nak, hari ulang tahun adalah bertepatan dengan hari kematianmu, hari dimana kamu akan kembali kepada-Nya dalam rupa roh. Hari dimana jiwamu akan lepas dari raga dan kosong.  

Hari ulang tahun adalah hari yang istimewa dimana kamu akan mendapatkan segalanya yang mungkin kau inginkan, tapi ingatlah nak, tidak sedikit yang meninggal saat merayakan ulang tahunnya. Tahukah engkau nak, kematian ada di setiap hari-hari hidupmu, tetapi hari ini kematian akan memburumu lebih kejam. Lebih dekat. Mungkin dibalik kesenanganmu.

Hari ini adalah hari dimana mautmu bertarung melawan doa ibumu, sebab mereka saling membutuhkan engkau. Doamu sendiri tak dapat mengalahkan maut. Ibumu membutuhkanmu dan maut juga membutuhkanmu. Maut adalah milik tuhan dan dia akan mengambilmu kapan pun dia kehendaki dan kamu adalah milik ibumu. Ibumu tak punya kuasa untuk menahan maut, sebab tidak hanya dirimu, ibumu juga sedang diburu maut.   

Oktober adalah doa berantai yang telah kau siapkan dari hari-hari sebelumnya. Oktober adalah kelahiran, oktober adalah kehidupan dan mungkin pula oktober adalah kematian.

Kelahiran telah  menghadirkan engkau dalam kehidupan dari palungan rahim ibumu, dan maut akan selalu mengawasi perjalananmu. Jika tuhan menghendaki kehidupanmu sampaai disini, maut akan menjemputmu. Tapi jika kehidupan masih menjagamu dengan doa ibumu, maka engkau harus memperbaiki kesalahanmu dan berbakti kepadanya." 

"Aku ingin hidup sekali lagi. Aku berjanji akan memperbaiki kesalahanku di masa lalu. Aku berjanji. Sumpah" Jawabku dengan terbata-bata. 

"Jikalau engkau mau, aku akan menuntunmu kesana, ke pangkuan waktu, ke hariban maut." Orang tua itu berusaha membujukku. "Kita akan berdiskusi disana lalu kita akan bertukar jiwa. Kau menjadi aku dan kita akan mati bersama. Berdua. Maukah kau ikut denganku, nak ?"

Aku terjaga dengan napas terengah-engah. Mataku masih berat untuk ku buka. Bayangan orangtua berjenggot putih dan panjang itu masih tergambar jelas dalam sisa kantukku. Ia memburuku bagai maut. Atau barangkali orangtua itu adalah rupa maut. Kamarku masih gelap. Aku menyalakan lampu. Aku melihat jam pada ponselku. Pukul 23: 46. Aku mengusap muka dengan kedua telapak tanganku. Aku menghadap cermin dan berharap semuanya tak akan terjadi. Wajahku begitu muram dan kusam. "hanya mimpi." Kataku sambil sekali lagi mengusap wajah dengan telapak tanganku. 

"Kematian atau kehidupan ? Kehidupan sedang kujalani saat ini, sedangkan kematian ? aaakkhhhh. Bagaimana rasanya ?" aku mendesah dan bertanya dalam hatiku.

Aku menyalakan lilin diatas meja belajar. Tak ada kue ulang tahun hari ini. Tak ada ucapan selamat hari ini. Aku tak tahu apa yang harus kulakukan setelahnya. aku hanya mengingat belasan tahun yang lalu, aku meniupkan lilin setelah ibu mengucapkan doa dan nyanyian dari teman-teman dan saudara-saudaraku beriringan. Kali ini aku menuruti kemauan hati. Aku ingin berdoa saja, seperti yang dilakukan ibu. Mungkin saja tuhan yang ibu tunjukan kemarin akan mendengarkan doaku. 

Dalam doa aku memohon agar kata-kata getir yang dituliskan maut, dihadang tuhan dengan perisai doa  dari ibu. Aku pernah menyadari kebenaran sebuah perasaan. Perasaan akan sesuatu yang getir melebur-lebur dalam dada, menggebu di dinding dada yang hampir saja menjadi maut. Pikirku tuhanlah dibalik semua ini. Kali  ini adalah waktunya menghadap tuhan, memohon ampun atas dosa masa lalu. 

Setelah semua doa kupanjatkan pada tuhan yang satu, yang pernah ibu tunjukan, aku meniupkan lilin. Kali ini tak ada lagu ulang tahun. 

Aku meraih telepon genggamku, berharap ada ucapan selamat dari ibu.

 

Jontona, 21 sept 2017 02: 47 AM

Kamar sepi, pinggir kali. Aku merindu dalam sendiri.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun