Mohon tunggu...
Ama Kewaman
Ama Kewaman Mohon Tunggu... Jurnalis - Penulis Lepas

Lahir di Lembata, NTT, pulau terpencil bagai kepingan surga di bumi pada awal oktober 1994. Sekarang mengembara dalam jejak-jeak rantau.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Oktober yang Sepi

31 Juli 2021   11:42 Diperbarui: 31 Juli 2021   11:58 267
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Aku benar-benar bosan. Tak ada  semangat untuk perkuliahan hari ini. Ada sesuatu yang lain dari biasanya dalam diriku. Aku ingin mengisi waktu istimewahku ini bersama ibu. Hanya ibu. Atau aku ingin melepas nafsu pada sang kekasih. Dan memang beginilah kehidupannku. Apa lagi yang harus dilakukan. 

Kelas selesai, kusilangkan tas samping pada bahuku dan melangkah keluar. Lingkungan kampus begitu ramai dengan pergantian jam perkuliahan. Aku melangkah perlahan-lahan menuruni anakan tangga dari lantai enam. Ada mahasiswa yang menanyakan pergantian kelas kepada teman yang lainnya, ada yang berjalan sambil mengotak-atik telepon genggamnya tanpa melihat jalan dan hampir menabrak beberapa orang yang sedang berdiri, ada juga yang dengan senyuman malu-malu keluar dari ruangan karena salah masuk kelas. Dari pintu ruang kelas dosen saling bergantian keluar masuk, dan di sudut lobi lantai lima kudapati seorang lelaki sedang merayu pacarnya.

"to.... Rinto, tunggu aku !" teriak seorang perempuan sambil mengikutiku menuruni anakan tangga. "aku ikut ke kontrakan, ya ?" pintanya.

"aku ga mau, aku ingin sendiri sekarang. Untuk kali ini saja." Kataku datar. Aku tak ingin orang lain atau apapun selain ibu, untuk saat ini. kali ini aku benar-benar tak menganggapnya kekasih. Dan sebagai kekasih yang baik ia selalu menuruti permintaanku. 

"kamu kenapa, kok tiba-tiba berubah kaya gini ?" katanya sedikit merayu. Dan aku tak menjawabnya. "ya udah kalu gitu besok pagi aku jemput kamu di kontrakan, ya. Kita jalan-jalan sayang ?" pintanya.

Aku berjalan terus tanpa menghiraukannya. Tanpa menjawab pertanyaan darinya. Di lantai dua, Ia meraih lenganku seolah menuntunku menuruni anakan tangga menuju lantai satu. Kami melangkah perlahan melewati lobi, sambil aku mengeluarkan kretek dari saku bajuku. Aku meghirup dalam-dalam kretekku dan mengeluarkan asap yang pekat. Suara bising knalpot kendaraan mulai ramai dari parkiran kampus, pertanda siap menerobos kemacetan ibu kota.

"ddaaaaa sayang, see you next time." Katanya sambil melambaikan tangan setelah meninggalkan kecup pada pipi kiriku. Aku tak membalasnya. Sama sekali aku tak nafsu. Aku hanya membutuhkan ibu sekarang. Itu saja titik.

Suara adzan menutup senja yang kelabu dengan gemanya. Senja di bulan oktober. Aku terus melangkah keluar dari halaman kampus, melewati gang kecil menuju kontrakan. Sesekali aku menoleh kembali ke arah senja, barangkali senja di kampung halaman sama dengan senja di ibu kota ini, atau barangkali senja di kampungku lebih dahulu dua jam. Aku berharap, senja di desa kelahiranku kali ini akan mengajak ibu menyediakan lilin untuk hari ulangtahunku.

Tiba di depan pintu dengan kretek yang masih menyala dibibirku, aku membuka pintu. Tak ada yang baru dalam kamar ini. Masih seperti biasanya. Buku yang masih berserakan, ada yang masih dibiarkan terbuka begitu saja, ada juga yang mengeluarkan pita pembatasnya. Bantal guling bagai mayat-mayat serdadu, piring kotor, gelas bekas kopi yang belum sempat dicuci dan pakaian kotor. Bau pengap yang menyeruak dari kamar ini taka asing lagi bagiku. 

Aku melemparkan tasku ke lantai dan kurebahkan  tubuhku di kasur. Mataku kandas menatap langit-langit kamar. Sesekali aku membuang pandangan ke luar kamar menyaksikan senja yang menghilang di atas gedung kampus. Yang masih tersisa hanyalah awan-awan yang berlarian mengantar senja dan beberapa saat kemudian berubah dari jingga menjadi petang.

Sekarang aku sendiri disini, di dalam kamar yang berukuran 3 x 4. Aku benar-benar sendirian. Tanpa buku, tanpa kopi, tanpa kekasih, tanpa ibu dan tanpa tuhan. Apakah kekecewaanku menyingkirkan tuhan dari pikiranku, atau keberpikakan  tuhan sedang tidak ada di posisiku ? aku bertanya dan mungkin pertanyaanku tak terjawabkan. Banyak teman-teman yang menganggapku tak bertuhan karena selalu berdebat tentang tuhan. Aku bukan teolog atau filusuf. Aku hanya belajar tentang konsep ketuhanan. Atau mungkin aku tersesat. Aku tak tahu.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun