Mohon tunggu...
Amadhea Rahma
Amadhea Rahma Mohon Tunggu... Mahasiswa - UIN Raden Mas Said Surakarta

Hukum

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Mengenal Hukum Perdata Islam di Indonesia

22 Maret 2023   00:00 Diperbarui: 23 Maret 2023   21:29 262
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

UTS Hukum Perdata Islam di Indonesia (Amadhea RA - 212121047/HKI 4B)

Pengertian Hukum Perdata Islam di Indonesia

Hukum Perdata Islam di Indonesia adalah suatu hukum yang mengatur tentang aturan keperdataan Islam yang bersumber dari sumber hukum pokok yaitu Al-Quran dan Hadis, yang mana hukum tersebut hidup dan berlaku secara khusus bagi masyarakat Islam di Indonesia. Hukum Perdata Islam meliputi hukum : 1. Pernikahan, 2. Perceraian, 3. Waris, 4. Zakat Infak Sedekah, 5. Muamalah, dll.

Prinsip Pernikahan Menurut UU No 1 Tahun 1974 dan Kompilasi Hukum Islam (KHI)

Menurut UU No 1 Tahun 1974

  • Tujuan pernikahan adalah untuk mencapai pernikahan yang kekal
  • Pernikahan dikatakan sah bila kedua pasangan 1 agama
  • Pernikahan harus mendapat persetujuan dari kedua belah pihak
  • Monogami boleh dilakukan dengan syarat medapat izin dari pengadilan
  • Batas usia pernikahan laki-laki dan perempuan adalah 19 tahun
  • Perceraian dapat dilakukan dengan melalui proses persidangan di pengadilan, tujuannya untuk mempersulit terwujudnya perceraian
  • Kedudukan antara suami dan istri adalah seimbang (sekufu) baik itu haknya maupun kewajibannya

Menurut Kompilasi Hukum Islam (KHI)

  • Pernikahan dapat dilakukan atas persetujuan dan sukarela dari 2 belah pihak
  • Terdapat larangan kawin dari pertalian nasab yaitu dari keturunan ayah, ibu, kekerabatan, dan sepersusuan
  • Pernikahan sah bila terpenuhi syarat dan rukunnya
  • Diwajibkan untuk memberikan mahar
  • Tujuan dari pernikahan adalah mewujudkan pernikahan yang sakinah, mawadah, dan warahmah
  • Tidak ada diskriminasi antara 2 belak pihak, hak dan kewajiban dari suami dan istri seimbang
  • Terdapat masa iddah bagi wanita (janda) yang hendak menikah lagi
  • Poligami diperketat

Pentingnya Pencatatan Pernikahan

Pencatatan pernikahan harus dilakukan oleh pasangan suami istri yang sudah sah menikah untuk menjamin perlindungan di mata hukum mengenai peristiwa yang terjadi setelah pernikahan. 

Pencatatan pernikahan merupakan kewajiban administratif berdasarkan peraturan perundang-undangan yang bertujuan untuk memberikan jaminan perlindungan dan pemenuhan hak asasi manusia jika di kemudian hari timbul perbuatan hukum yang berimplikasi terjadinya akibat hukum sehingga dapat dibuktikan dengan bukti yang sempurna dengan suatu akta otentik sebagai suatu bentuk kepastian hukum. Bila suatu pernikahan tidak dicatatkan maka akan timbul beberapa dampak negatif dari berbagai aspek, seperti :

Dampak sosiologis pernikahan tidak dicatatkan yaitu akan timbul kecurigaan dan fitnah dalam masyarakat sosial. Manusia merupakan makhluk sosial yang tidak bisa hidup sendiri dan tanpa berinteraksi dengan orang lain, manusia selalu hidup berdampingan dengan orang lain untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Dalam hal melakukan pernikahan dan manusia sebagai makluk sosial yang hidup berdampingan dengan orang lain maka suatu pernikahan harus diumumkan kepada masyarakat umum untuk menghidari kesalah pahaman dan kecurigaan atas hubungan yang terjalin antara 2 pihak tersebut. Namun, pernikahan yang hanya diumumkan pada masyarakat tanpa dicatatkan belum dapat dikatakan sempurna, oleh karena itu bukti pernikahan harus diperkuat dengan dicatatkan sehingga terbentuk akta otentik yang sah.

Dampak religious pernikahan tidak dicatatkan adalah pernikahan tersebut hanya sah di mata agama tetapi tidak sah di mata hukum, sehingga sulit untuk mendapat hak-haknya, seperti kah mendapat warisan, hak diberi nafkah, dan hak mendapat harta gono-gini bila terjadi perceraian 

Dampak yuridis pernikahan tidak dicatatkan, pada Pasal 6 ayat (2) KHI yang menegaskan bahwa "pernikahan di bawah tangan tidak memiliki kekuatan hukum", kemudian apabila dihubungkan dengan Pasal 7 ayat (1) KHI, maka terlihat jelas maksudnya. Penafsiran yang tepat terhadap maksud "tidak memiliki kekuatan hukum" bukan berarti pernikahan tersebut tidak sah di mata hukum, akan tetapi "tidak bisa dibuktikan di hadapan hukum." Oleh karena itu pernikahan yang tidak dicatatkan tidak dapat dilindungi oleh hukum. Jadi apabila di kemudian hari terjadi konflik dalam pernikahan yang tidak dicatatkan, hukum tidak bisa membantu untuk menyelesaikan permasalahan tersebut.

Pendapat Ulama dan KHI tentang Perikahan Wanita Hamil (zina)

Para ulama berbeda pendapat mengenai menikahi wanita pezina, perbedaan tersebut karena sebuah pemahaman pada larangan menikahi wanita pezina dalam Q.S An-Nur ayat 3.  Terdapat beberapa pendapat ulama mengenai hal tersebut :

  • Menurut Sayyid Sabiq, boleh menikahi wanita pezina dengan catatan wanita tersebut telah bertaubat terlebih dahulu.
  • Menurut Abu Hanifah dan Asy Syafi'I berpendapat, boleh menikahi wanita dengan tidak menunggu habisnya masa iddahnya (sampai melahirkan). Asy Syafi'I membolehkan akad nikah tersebut meskipun dalam keadaan hamil, karena tidak adanya keharaman.
  • Menurut M. Quraish Shihab pada dasarnya, pria yang menikahi wanita yang pernah dizinai hukumnya sah sah saja.
  • Menurut Hanabilah berpendapat bahwa hukumnya tidak sah menikahi wanita telah berbuat zina, baik dengan laki laki yang bukan menzinainya terlebih laki laki yang menzinainya, kecuali telah dengan 2 syarat yaitu setelah masa iddahnya dan bertaubat
  • Menurut Malikiyyah berpendapat bahwa menikahi wanita hamil akibat zina tidak sah, apabila akad nikah tersebut dilangsungkan maka akad tersebut menjadi fasid

Berdasarkan KHI pasal 53 ayat (1), (2), (3) dapat dijadikan acuan dalam sebuah Hukum pernikahan wanita hamil, dan hal tersebut sah apabila melangsungkan perkawinan dalam keadaan hamil dan tidak perlu melakukan pernikahan ulang. Menurut KHI pasal 53 pada ayat (1) ini menyatakan bahwa yang boleh menikahi adalah lelaki yang menghamilinya, dan tidak boleh lelaki yang bukan menghamilinya. Mengenai nasab anak yang dilahirkan dari perkawinan tersebut, KHI berpendapat bahwa anak yang sah adalah anak yang dilahirkan dari perkawinan yang sah terdapat pada KHI pasal 99, walaupun akad yang dilaksanakan dalam keadaaan si wanita tersebut dalam keadaan hamil diluar nikah (baik karena zina maupun diperkosa) asalkan yang menikahinya lelaki yang menghamilinya. Jadi anak yang lahir di luar perkawinan tersebut tetap dapat menerina nasab dari ayahnya.

Cara menghindari perceraian

  • Suami istri sama-sama sadar akan tujuan suatu pernikahan yaitu untuk mewujudkan keluarga Sakinah, mawadah, warahmah
  • Saling menghargai dan menghormati hak dan kewajiban antar pasangan. Ketika suami istri paham akan hal tersebut pasti tidak akan ada yang namanya saling menuntut satu sama lain karena hak dan kewajiban dari masing-masing pasangan sudah terpenuhi terlebih dahulu
  • Menjalin komunikasi yang baik dalam keluarga. Permasalahan dalam kelurga sering kali timbul karena cara komunikasi yang buruk antar pasangan, seperti karena nada bicara yang kadang tinggi dari salah satu pikah sehingga menyakiti pihak lain. Kesalahan saat komunikasi juga dapat menyebabkan kesalahpahaman yang berujung pertengkaran, oleh kerena itu penting untuk menjaga komunikasi dalam berkeluarga
  • Mengasihi dan menyayangi satu sama lain. Keluarga yang dihiasi dengan kehangatan kasih saying akan meminimalisir terjadinya konflik rumah tangga, jika keluarga 'adem ayem' dapat dipastikan keluarga tersebut bahagia
  • Bersikap terbuka dan jujur. Keterbukaan dalam rumah tangga sangat diperlukan, mengingat rumah tangga adalah tempat menyatukan 2 insan yang pastinya berbeda pemikiran maka diperlukan keterbukaan bagi keduanya agar dapat memahami satu sama lain. Kejujuran juga sangat penting karena kejujuran merupakan kunci dari setiap hubungan.

Book Review

Judul                     : Hukum Perkawinan Islam di Indonesia

Penulis                  : Umar Haris Sanjaya dan Aunur Rahim Faqih

Buku Tulisan Umar Haris Sanjaya dan Aunur Rahim Faqih yang berjudul "Hukum Perkawinan Islam di Indonesia" mendiskripsikan dengan lengkap dan rinci tentang hukum yang mengatur bagaimana hukum perkawinan Islam di Indonesia, mulai dari sejarah hukum perkawinan di Indonesia, proses menuju perkawinan, pelaksanaan perkawinan, berakhirya perkawinan, hingga kajian mengenai permasalahan hukum perkawinan masa kini. Oleh karena itu pengkajian hukum perkawinan Islam dalam buku ajar ini akan menitikberatkan persoalan perkawinan dengan mendasarkan pada Undang-Undang No. 1 tahun 1974 dan Kompilasi Hukum Islam yang kemudian akan ditambahkan dengan kajian perkawinan Islam kontemporer. Hal ini menjadi penting, karena konteks buku ajar ini memang diperuntukan bagi mereka mahasiswa program studi ilmu hukum di fakultas hukum.

Dari membaca buku ini pembaca dapat mengetahui kompetensi kompetensi yang dihadirkan penulis pada setiap babnya. Seperti pada bab I, pembaca akan dapat memahami dan mengetahui tentang sejarah lahir nya undang-undang perkawinan. Pada Bab II pembaca akan memahami pengertian perkawinan,tujuan perkawinan, prinsip yang ada pada perkawinan, alasan melakukan perkawinan, hukum dan sumber perkawinan di Indonesia. Pada Bab III penulis ingin menjelaskan tentang rukun dan syarat perkawinan, tentang perjanjian kawin, tentang harta kekayaan dalam perkawinan, tentang hukum walimah. Pada Bab IV dijelaskan sebab-sebab putusnya perkawinan, rujuk dan masa iddah, hadhonah dan akibat hukumnya. dan pada Bab yang terakhir atau Bab V penulis cenderung menjelaskan beberapa permasalahan dalam perkawinan seperti perkawinan beda agama, nikah siri, status hukum anak luar kawin, poligami, dispensasi nikah, nikah mut'ah, dan nikah muhallil.

Buku ini mengkaji hukum perkawinan islam dari perspektif hukum sama dengan mengkaji pelaksanaan Undang-undang No. 1 tahun 1974 tentang perkawinan dilihat dari perspektif Islam. Persepektif Islam dalam hukum perkawinan di Indonesia ini telah direpresentasikan dengan lahirnya Kompilasi Hukum Islam.

Kehadiran buku ini sangat membantu mahasiswa terkhusus mahasiswa program studi Hukum Keluarga Islam dan juga layak untuk dibaca oleh masyarakat umum yang ingin mengetahui lebih dalam mengenai hukum perkawinan Islam di Indonesia, dan saya harap kehadiran buku ini dapat menggapai maksud dan tujuannya

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun