UTS Hukum Perdata Islam di Indonesia (Amadhea RA - 212121047/HKI 4B)
Pengertian Hukum Perdata Islam di Indonesia
Hukum Perdata Islam di Indonesia adalah suatu hukum yang mengatur tentang aturan keperdataan Islam yang bersumber dari sumber hukum pokok yaitu Al-Quran dan Hadis, yang mana hukum tersebut hidup dan berlaku secara khusus bagi masyarakat Islam di Indonesia. Hukum Perdata Islam meliputi hukum : 1. Pernikahan, 2. Perceraian, 3. Waris, 4. Zakat Infak Sedekah, 5. Muamalah, dll.
Prinsip Pernikahan Menurut UU No 1 Tahun 1974 dan Kompilasi Hukum Islam (KHI)
Menurut UU No 1 Tahun 1974
- Tujuan pernikahan adalah untuk mencapai pernikahan yang kekal
- Pernikahan dikatakan sah bila kedua pasangan 1 agama
- Pernikahan harus mendapat persetujuan dari kedua belah pihak
- Monogami boleh dilakukan dengan syarat medapat izin dari pengadilan
- Batas usia pernikahan laki-laki dan perempuan adalah 19 tahun
- Perceraian dapat dilakukan dengan melalui proses persidangan di pengadilan, tujuannya untuk mempersulit terwujudnya perceraian
- Kedudukan antara suami dan istri adalah seimbang (sekufu) baik itu haknya maupun kewajibannya
Menurut Kompilasi Hukum Islam (KHI)
- Pernikahan dapat dilakukan atas persetujuan dan sukarela dari 2 belah pihak
- Terdapat larangan kawin dari pertalian nasab yaitu dari keturunan ayah, ibu, kekerabatan, dan sepersusuan
- Pernikahan sah bila terpenuhi syarat dan rukunnya
- Diwajibkan untuk memberikan mahar
- Tujuan dari pernikahan adalah mewujudkan pernikahan yang sakinah, mawadah, dan warahmah
- Tidak ada diskriminasi antara 2 belak pihak, hak dan kewajiban dari suami dan istri seimbang
- Terdapat masa iddah bagi wanita (janda) yang hendak menikah lagi
- Poligami diperketat
Pentingnya Pencatatan Pernikahan
Pencatatan pernikahan harus dilakukan oleh pasangan suami istri yang sudah sah menikah untuk menjamin perlindungan di mata hukum mengenai peristiwa yang terjadi setelah pernikahan.Â
Pencatatan pernikahan merupakan kewajiban administratif berdasarkan peraturan perundang-undangan yang bertujuan untuk memberikan jaminan perlindungan dan pemenuhan hak asasi manusia jika di kemudian hari timbul perbuatan hukum yang berimplikasi terjadinya akibat hukum sehingga dapat dibuktikan dengan bukti yang sempurna dengan suatu akta otentik sebagai suatu bentuk kepastian hukum. Bila suatu pernikahan tidak dicatatkan maka akan timbul beberapa dampak negatif dari berbagai aspek, seperti :
Dampak sosiologis pernikahan tidak dicatatkan yaitu akan timbul kecurigaan dan fitnah dalam masyarakat sosial. Manusia merupakan makhluk sosial yang tidak bisa hidup sendiri dan tanpa berinteraksi dengan orang lain, manusia selalu hidup berdampingan dengan orang lain untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Dalam hal melakukan pernikahan dan manusia sebagai makluk sosial yang hidup berdampingan dengan orang lain maka suatu pernikahan harus diumumkan kepada masyarakat umum untuk menghidari kesalah pahaman dan kecurigaan atas hubungan yang terjalin antara 2 pihak tersebut. Namun, pernikahan yang hanya diumumkan pada masyarakat tanpa dicatatkan belum dapat dikatakan sempurna, oleh karena itu bukti pernikahan harus diperkuat dengan dicatatkan sehingga terbentuk akta otentik yang sah.
Dampak religious pernikahan tidak dicatatkan adalah pernikahan tersebut hanya sah di mata agama tetapi tidak sah di mata hukum, sehingga sulit untuk mendapat hak-haknya, seperti kah mendapat warisan, hak diberi nafkah, dan hak mendapat harta gono-gini bila terjadi perceraianÂ