Mohon tunggu...
Kristoforus Arakian
Kristoforus Arakian Mohon Tunggu... Penulis - Perempuan Cerdas itu Sexi

Tidak ada yang menjadi miskin hanya karena memberi

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Buruh Mogok Kerja dan Konsekuensi Pelayanan Sosial

12 Oktober 2021   14:13 Diperbarui: 12 Oktober 2021   14:47 145
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Maret 2020 kemarin, kita dihebohkan dengan persoalan pelayanan soal di Lewotanah (baca; kampung halaman) dimana buruh dalam hal ini tenaga kontrak daerah di Rumah Sakit Herman Fernandez Larantuka Kabupaten Flores Timur mogok kerja dan melakukan protes massal terhadap kebijakan pemangku kepentingan dalan hal ini pemerintah daerah terkait insentif (upah) buruh yang masuk dalam tenaga kontrak daerah Kabupaten Flores Timur. 

Saya menyebutnya (tenaga kontrak daerah) sebagai  buruh sebab buruh memurut pemahaman saya berangkat dari paham Marxisme adalah orang-orang yang menjual tenaga dan pikirannya untuk mendapatkan uang. Tapi bagaimana dengan konsekuensi pelayanan sosial kepada masyarakat sebagai prinsipal (pemilik) negara berdasarkan kaca mata demokrasi ??? 

Apakah masyarakat juga menjadi bagian dari dampak mogok kerja massal karena upah yang dipersoalkan buruh ???

Lantas, apakah pola rekrutmen tenaga kontrak daerah yang dilakukan oleh pemerintah daerah Kabupaten Flores Timur adalah langkah-langkah selektif kompetensi ???

Saya  melihat persoalan ini sebagai persoalan pola dan budaya rekrutmen tenaga kontrak daerah yang berdampak pada budaya kerja. Maka, untuk mengupas persoalan ini saya akan memulai proposisi saya ini dari satu aksiom Marxis yang kebenarannya sudah terbukti oleh sejarah, bahwa satu-satu kelas yang bisa memimpin seluruh masyarakat untuk membebaskan dirinya dari penindasan kapitalisme adalah kelas buruh atau proletariat. 

Kita akan abaikan para tuan dan nyonya liberal terpelajar yang kerap menyangkal keberadaan kelas buruh dan potensi revolusioner mereka dengan berbagai alasan. Kehidupan para tuan nyonya kita yang terhormat tidak pernah bersinggungan dengan kaum buruh, sehingga dengan mudah mereka menyangkal keberadaan buruh. Seperti adagium klasik yang berbunyi ; tak kenal maka tak sayang. Kira-kira begitu!

"Bangkit melawan bukan karena hasutan tapi karena meneguk penderitaan secara beruntun sebagai konsekuensi kebijakan"

Pernyataan bahwa kelas buruh adalah kelas yang revolusioner tidak boleh disalahartikan kalau semua buruh dimanapun dan kapanpun selalu memiliki cara pandang revolusioner. 

Buruh tidak hidup dalam vakum, tetapi hidup dalam masyarakat yang didominasi oleh ideologi kapitalis serta semua prasangka-prasangka yang lahir dari kenyataan sosial yang mereka temui. 

Hanya dengan dominasi ideologi ini kelas kapitalis bisa mempertahankan kuasanya terhadap buruh. Dominasi ideologis ini dilanggengkan lewat sekolah, media, pemerintah, agama, keluarga, dan semua aspek yang menyentuh kehidupan buruh. Ini yang kerap disebut kesadaran palsu, yang menutup mata buruh dari penindasan yang dialaminya. 

Kesadaran palsu ini tidak hanya menutup matanya tetapi bahkan mendorongnya untuk membela sistem penindasan itu sendiri sebagai sesuatu yang kodrati. Benar-benar suatu penjajahan kesadaran yang sistemik.

Namun kesadaran kelas bukanlah sesuatu yang statis dan berdiri di luar realitas yang ada. Ia bergerak dan terus bergerak, berbenturan dan tarik menarik dengan kehidupan. 

Maka pertanyaanya adalah apakah tenaga kontrak daerah dalam ruang lingkup Kabupaten Flores Timur yang saya konotasikan sebagai buruh melakukan gerakan protes massal secara spasial ini motifnya bukan hanya karena upah kerja yang dipangkas atas dasar pertimbangan-pertimbangan politis, tapi secara komperensif menyangkut semua keluhan masyarakat yang datang sebagai pasien di rumah sakit ??? 

Dari persoalan yang ada, saya mengamini bahwa ketertindasan-ketertindasan dalam pergumulan sehari-harinya buruh menemui kesadaran. Namun ikhtiar sederhana, paling tidak ini bukan bersifat spasial dengan motif kepentingan yang provokatif ; dalam artian hanya menyorot pada satu persoalan yangg terbilang individualis person ataupun individualis kelompok yang berbau untung rugi. 

Lantas, bagaimana dengan keluhan-keluhan masyarakat yg datang sebagai pasien ??? Apakah itu hanya menjadi basis untuk memperkuat dasar argumentasi pemogokan dan protes ???

Secara historisotas buruh menjadi sadar akan eksploitasi yang dideritanya dan berangkat dari situ mereka mulai memikirkan bagaimana melawan penindasan tersebut. Awalnya mereka merespons dengan aksi-aksi yang bersifat individual dan terpencar-pencar. 

Tetapi kenyataan yang keras kepala bahwa mereka terlempar ke pabrik besar dalam jumlah ratusan atau ribuan mendorongnya ke arah perjuangan kolektif. Buruh mulai melihat pentingnya membentuk organisasi yang menyatukan kepentingan bersama mereka. 

Dari sini lahirlah serikat buruh, yang tugasnya adalah membela kepentingan buruh dalam hal-hal ekonomik (upah layak, kondisi kerja, dsb). Kesadaran buruh mesti dibangun dari ketertindasan kolektif bukan sepihak apalagi menyoal soal upah tanpa memperhatikan pola rekrutmen, budaya kerja  dan konsekuensi pemogokan terhadap pelayanan sosial kepada masyarakat.

Realitas persoalan ini bermula dari pola rekrutmen tenaga kontrak daerah yang sepihak atau spasial dilakukan oleh pemerintah daerah tanpa sosialisasi dan internalisasi program perekrutan dan indikator selektif kepada publick sebagai bentuk transparansi sistem. 

Alhasil tenaga kontrak daerah yang hari ini menuai protes karena upah itu disebabkan Oleh perekrutan spasial dimana politik etis atau politik balas budi masih saja menjadi muara subur nepotisme :  ada Jatah si A, ada Jatah si B, titipan si A, titipan si B yang akhirnya memberi dampak seperti yang terlihat hari ini. 

Ditambah lagi dengan konsekuensi kebijakan yang dinilai tidak ditinjau dari sisi urgensi pelayanan dan juga kesejatraan tapi lebih kepada citra lembaga. 

Kenapa demikian, karena jika kebijakan itu lahir berdasaran analisa urgensitas kenapa tidak dilakukan kepada semua instansi pemerintah yang juga menampung begitu banyak tenaga kontrak daerah (baik jatah, titipan dan juga seleksi murni) ???

Inilah persoalan mendasar kenapa kita susah berkembang kearah yang lebih baik karena persoalan management kita masih berkutat pada persoalan sistem rekrutmen dan sistem kerja yang berangsur-angsur hingga menjadi budaya rekrutmen dan budaya kerja tanpa fokus pada progress pembangunan yang menjadi cita-cita pemangku kepentingan. lihat Visi dan Misi besar Bupati dan Wakil Bupati yang telah diejahwantahkan dalam program-program kerja malah hanya terpajang melihat kita bersiteruh tanpa suara.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun