Kesadaran palsu ini tidak hanya menutup matanya tetapi bahkan mendorongnya untuk membela sistem penindasan itu sendiri sebagai sesuatu yang kodrati. Benar-benar suatu penjajahan kesadaran yang sistemik.
Namun kesadaran kelas bukanlah sesuatu yang statis dan berdiri di luar realitas yang ada. Ia bergerak dan terus bergerak, berbenturan dan tarik menarik dengan kehidupan.Â
Maka pertanyaanya adalah apakah tenaga kontrak daerah dalam ruang lingkup Kabupaten Flores Timur yang saya konotasikan sebagai buruh melakukan gerakan protes massal secara spasial ini motifnya bukan hanya karena upah kerja yang dipangkas atas dasar pertimbangan-pertimbangan politis, tapi secara komperensif menyangkut semua keluhan masyarakat yang datang sebagai pasien di rumah sakit ???Â
Dari persoalan yang ada, saya mengamini bahwa ketertindasan-ketertindasan dalam pergumulan sehari-harinya buruh menemui kesadaran. Namun ikhtiar sederhana, paling tidak ini bukan bersifat spasial dengan motif kepentingan yang provokatif ; dalam artian hanya menyorot pada satu persoalan yangg terbilang individualis person ataupun individualis kelompok yang berbau untung rugi.Â
Lantas, bagaimana dengan keluhan-keluhan masyarakat yg datang sebagai pasien ??? Apakah itu hanya menjadi basis untuk memperkuat dasar argumentasi pemogokan dan protes ???
Secara historisotas buruh menjadi sadar akan eksploitasi yang dideritanya dan berangkat dari situ mereka mulai memikirkan bagaimana melawan penindasan tersebut. Awalnya mereka merespons dengan aksi-aksi yang bersifat individual dan terpencar-pencar.Â
Tetapi kenyataan yang keras kepala bahwa mereka terlempar ke pabrik besar dalam jumlah ratusan atau ribuan mendorongnya ke arah perjuangan kolektif. Buruh mulai melihat pentingnya membentuk organisasi yang menyatukan kepentingan bersama mereka.Â
Dari sini lahirlah serikat buruh, yang tugasnya adalah membela kepentingan buruh dalam hal-hal ekonomik (upah layak, kondisi kerja, dsb). Kesadaran buruh mesti dibangun dari ketertindasan kolektif bukan sepihak apalagi menyoal soal upah tanpa memperhatikan pola rekrutmen, budaya kerja  dan konsekuensi pemogokan terhadap pelayanan sosial kepada masyarakat.
Realitas persoalan ini bermula dari pola rekrutmen tenaga kontrak daerah yang sepihak atau spasial dilakukan oleh pemerintah daerah tanpa sosialisasi dan internalisasi program perekrutan dan indikator selektif kepada publick sebagai bentuk transparansi sistem.Â
Alhasil tenaga kontrak daerah yang hari ini menuai protes karena upah itu disebabkan Oleh perekrutan spasial dimana politik etis atau politik balas budi masih saja menjadi muara subur nepotisme : Â ada Jatah si A, ada Jatah si B, titipan si A, titipan si B yang akhirnya memberi dampak seperti yang terlihat hari ini.Â
Ditambah lagi dengan konsekuensi kebijakan yang dinilai tidak ditinjau dari sisi urgensi pelayanan dan juga kesejatraan tapi lebih kepada citra lembaga.Â