1. Pengerian civil society
Seiring berjalannya waktu, definisi masyarakat madani telah berevolusi untuk mencerminkan perubahan dalam wacana ilmiah dan keadaan seputar bidang penerapannya. Sejauh ini, setidaknya ada lima model makna, yaitu: Negara sama dengan masyarakat madani. Thomas Hobbes dan John Locke, selain Aristoteles dan Cicero, melihatnya sebagai kemajuan dalam pengembangan masyarakat alamiah, yang pada hakikatnya sama dengan negara. Hobbes berpendapat bahwa masyarakat madani totaliter diperlukan untuk menghilangkan konflik sosial dan mempertahankan kendali penuh atas cara warga negara berinteraksi satu sama lain. Locke berpendapat bahwa pembentukan masyarakat madani dimaksudkan untuk menjaga kebebasan dan hak mmilik warga negara.
Akibatnya, masyarakat madani harus memiliki peran terbatas dalam bidang-bidang yang tidak dapat dikendalikan oleh masyarakat dan ruang yang cukup untuk memungkinkan negara melaksanakan hak-haknya secara adil. Menurut Adam Ferguson, masyarakat madani adalah pandangan etis tentang kehidupan komunal yang menjunjung tinggi tanggung jawab sosial. Masyarakat madani dicirikan oleh solidaritas sosial, perasaan moral, dan sikap kasih sayang bawaan antara warga negara. Untuk mengatakannya dengan lebih jelas, peradaban madani dianggap sebagai antitesis dari masyarakat primitif atau barbar.
2. Islam dan Masyarakat madaniÂ
disempurnakan. Dalam tulisan berjudul "Islam wa Nashraniyyah ma'al Ilmu wa al-Madaniyyah" (Islam dan Kristen tentang Sains dan Peradaban), Muhammad Abduh menjelaskan bahwa istilah "masyarakat madani" dan "masyarakat beradab" memiliki etimologi yang berbeda. Definisi aslinya, "masyarakat madani," tampaknya terkait erat dengannya. Sebelumnya, frasa masyarakat madani diterjemahkan sebagai "masyarakat warga negara", "masyarakat madani", "masyarakat modern", "masyarakat keluarga" dan mungkin ada terjemahan tambahan. Meskipun masih ada kelebihan dan kekurangan, kata "masyarakat madani" dianggap lebih dapat diterima, terutama jika digunakan di Indonesia.
Secara ilmiah, Dato Seri Anwar Ibrahim, yang saat itu menjabat sebagai Wakil Perdana Menteri dan Menteri Keuangan Malaysia, memperkenalkan istilah tersebut ke Indonesia dalam Simposium Nasional di Festival Islam. Frasa "mujtama madani" berasal dari bahasa Arab dan pertama kali digunakan oleh Prof. Naquib al-Attas, seorang sarjana sejarah dan peradaban Islam asal Malaysia dan pendiri Institut Pemikiran dan Peradaban Islam (ISTAC), sebuah organisasi yang didukung oleh Anwar Ibrahim.
Apa yang penulis maksud dengan masyarakat madani dalam karya ini adalah sama dengan masyarakat sipil, meskipun tidak dapat dikatakan sama persis dan pasti ada beberapa perbedaan yang spesifik. Hal ini dimaksudkan agar lebih mudah memahami apa yang dimaksud dengan masyarakat madani dalam konteks Indonesia atau Islam. Penerapan pengertian masyarakat madani pada hakikatnya sarat dengan beberapa masalah. Hal ini menunjukkan bahwa pemahaman dan penafsiran berkembang seiring waktu. Makna yang ditunjukkan oleh frasa tersebut bervariasi di antara para intelektual modern di masa lalu dan masa kini, selain berubah seiring waktu. Orang-orang masih memiliki pendapat yang berbeda tentang masyarakat sipil karena hal ini. Asosiasi dan persepsi yang serupa mungkin muncul dari penggunaan frasa tertentu. Informasi dan pengetahuan individu atau kelompok yang bersangkutan akan menentukan hal ini.
Islam, menurut Bahtiar Effendy, pada hakikatnya hanya berfungsi sebagai kode nilai, moralitas, dan etika yang berlaku di seluruh dunia. Islam tidak membahas sistem pemerintahan lainnya secara rinci. Begitu pula ketika membahas hubungan Islam dengan masyarakat madani, politik, dan demokrasi. Al-Qur'an tidak memberikan pemahaman yang rinci tentang masyarakat madani; Al-Qur'an hanya memberikan wawasan. Karena itu, arsitektur bangunan masyarakat madani suatu negara niscaya akan berbeda dengan arsitektur bangunan masyarakat madani negara lain. Meskipun demikian, penting untuk dicatat bahwa gagasan-gagasan mendasar ini berfungsi sebagai landasan bagi struktur pemerintahan yang demokratis dan organisasi masyarakat madani.
3. Islam memiliki batasan yang ketat terhadap nilai-nilai yang ditemukan dalam masyarakat madani, khususnya nilai-nilai kesetaraan, keadilan, dan wacana demokrasi. Di sinilah hubungan antara Islam dan masyarakat madani dapat dikaitkan dengan jelas. Penerapan lebih lanjut dari gagasan keadilan, kesetaraan, dan musyawarah mencakup kebebasan relatif yang dinikmati oleh perkembangan masyarakat madani dan fungsi kontrol yang ditetapkan oleh organisasi-organisasi yang dapat disebut sebagai lembaga-lembaga masyarakat madani.
4. Konsep ummah
Ummah adalah istilah menarik yang digunakan dalam terminologi Islam yang tidak ada dalam bahasa Islam. Ummah diperlukan untuk membantu keinginan Allah SWT terwujud. Ummah mencakup waktu dan ruang untuk menjalani kehidupan yang bahagia baik di Bumi maupun di akhirat, atau mungkin dari semua kombinasi ini. Batas geografis bukanlah fondasi ummah; begitu pula suku bangsa, budaya, bahasa, atau kombinasi dari faktor-faktor ini.
Lebih tepat jika umat dikonseptualisasikan sebagai entitas keagamaan yang terpisah dari dimensi teritorial dan spasial kebangsaan. Akan tetapi, dimensi sosial politik yang tercatat dalam sejarah tidak menjelaskan perlunya kesatuan sosial politik tunggal. Padahal, Al-Qur'an menawarkan pemahaman bahwa keberagaman dan perbedaan merupakan hal yang baik bagi pembangunan manusia, termasuk negara-bangsa. Sementara itu, di sisi lain, negara-bangsa justru memperkuat keterikatan entitas yang serba spasial.
Peneliti di sini akan memberikan penjelasan singkat tentang ummah, yang hakikatnya adalah kumpulan masyarakat yang beraneka ragam, baik etnis, ras, budaya, maupun sejarah, yang disatukan oleh suatu ideologi yang kuat dan menyeluruh serta memiliki tujuan bersama, yakni terpenuhinya kehendak Allah.
5. Profil masyarakat madani dan relevansinya dengan konsep ummah masyarakat madani
A . Profil masyarakat madani
Ada beberapa karateristik yang bisa dikatakan sebagai ciri-ciri dari
masyarakat yang dicita-citakan (masyarakat madani). Karateristik tersebutÂ
   a.  masyarakat demokratis
   b.  masyarakat yang menjunjung dan menghargai tinggi HAM
   c.  masyarakat yang mempunyai komitmen tinggi bagi tegaknya hukum
   d.  masyarakat yang profesional
   Dengan demikian, aspirasi masyarakat untuk masa depan terwujud dalam masyarakat madani ini. Konsep "masyarakat beradab" (masyarakat berbudaya) sangat penting untuk mewujudkan masyarakat madani. Ini menyiratkan bahwa pola pikir dan tingkat budaya tertentu harus ditunjukkan oleh masyarakat secara keseluruhan. Poin pentingnya adalah bahwa kekuatan masyarakat yang beragam juga berkontribusi pada warnanya, bukan hanya pemerintah atau kepemimpinannya. Tidak diragukan lagi ada banyak toleransi dalam masyarakat seperti itu terhadap perilaku orang lain, diperkuat oleh pemahamannya yang luas serta sikap dan perilakunya terhadap aturan-aturan yang mengatur struktur sosial. Hal ini menunjukkan perlunya standar moral yang tinggi dalam masyarakat madani. Kesombongan dan keinginan terus-menerus untuk menampilkan diri sebagai yang terbaik harus dihilangkan karena sifat-sifat ini hanya akan memberi tekanan pada orang lain.
Gagasan masyarakat madani bukan hanya merupakan gagasan yang ideal, tetapi juga memiliki dukungan empiris. Jelas bahwa masyarakat madani adalah masyarakat yang menjunjung tinggi moralitas, memastikan keseimbangan antara stabilitas masyarakat dan kebebasan individu, serta dapat mendukung inisiatif mandiri dan kewirausahaan. Investasi dapat didorong dalam masyarakat seperti itu.
B. Â Relevansinya dengan konsep ummah masyarakat madani
Ada beberapa persamaan dan perbedaan antara wacana civil society dan konsep ummah yang diterapkan oleh Rasulullah saw yaitu:
  1. Dari segi watak dasar, kedua konsep tersebut mempunyai kesamaan sifat, yakni terbuka, dinamis dan berorientasi nonutopis. Bedanya, sifat keterbukaan dan dinamika makna ummah jauh lebih luas ketimbang civil society, sementara watak non-utopis civil society lebih menonjol karena umumnya ia terbentuk dari realitas empirik, sementara ummah tidak sepenuhnya empirik karena mengandung muatan-muatan normatif yang terderivasi dari ajaran agama.
  2. Dilihat dari latar belakang munculnya konsep, civil society muncul dari latar belakang yang beragam dari situasi masyarakat yang terancam kacau akibat menguatnya individualisme dan tajamnya benturan kepentingan. Sementara ummah, situasi konflik yang terjadi antar suku di Madinah, krisis moral dan spiritual masa itu sangat melatarbelakangi munculnya konsep ummah. Ini merupakan kesamaan antara kedua konsep tersebut yang sama-sama berakar dari konflik dalam masyarakat. Perbedaannya pada keberadaan dan fungsi negara. Dalam konsep ummah, institusi negara yang dibentuk masih sederhana, dan kinerja masyarakat dinilai lebih penting daripada kinerja negara. Sementara negara menurut Hobbes, keberadaannya dipandang sebagai suatu keharusan yang mempunyai kekuatan absolut dan memegang peranan penting dalam mengelola masyarakat.
  3. Hubungannya dengan Agama, civil society merupakan konsep sekuler yang dalam perjalanannya mendapat sentuhan dan legitimasi agama. Sedangkan ummah adalah konsep normatif keagamaan yang dalam prakteknya dicoba diobjektivikasikan dalam realitas empirik.
  4.Â
Unsur Perekat kesatuan civil society adalah kewarganegaraan. Sedangkan perekat ummah cukup beragam, bisa kesamaan agama, kesamaan generasi, kesamaan karakter etik, kesamaan bangsa dan sebagainya. Hanya saja, dimensi agama lebih dominan mewarnainya.
KESIMPULAN
    Secara mendasar dapat dikatakan, bahwa civil society dan konsep ummah masyarakat Madinah, sesungguhnya lahir dari keragaman situasi dan kondisi masyarakat yang ada. Bentuk keragaman tersebut terbangun di atas carut marutnya suatu masyarakat yang terkungkung individualisme, kekerasan dan ketidakadilan dalam suatu masyarakat, sehingga mengharuskan munculnya suatu konsep yang didasarkan atas kemanusiaan universal. Konsep tentang civil society pada dasarnya mengandung beberapa masalah dalam penerapannya. Artinya, pengertian dan interpretasi ini berubah dari waktu ke waktu. Tidak hanya berubah dalam dimensi waktu, tetapi pengertian yang dimaksud oleh istilah itu berbeda pada berbagai pemikir kontemporer di masa lalu dan dewasa ini. Itulah sebabnya mengapa persepsi orang tentang civil society berbeda-beda sampai sekarang. Demikian pula pengggunaan istilah tertentu bisa menimbulkan asosiasi dan persepsi yang berbeda. Hal ini tergantung pada informasi dan pengetahuan orang atau kelompok yang bersangkutan. Perbedaan-perbedaan konsep yang ada dalam civil society dan ummah tidak terjadi dalam aspek yang krusial berkaitan dengan demokratisasi. Perbedaan-perbedaan tersebut lebih bersifat fungsional dan kontradiksional. Kalau mungkin bisa berpotensi konflik, terutama yang berkaitan dengan agama, dalam sejarahnya hal itu masih bisa dikelola menjadi kekuatan simbiotik.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H